SELAMAT DATANG KAWAN DI BLOG YANG SEDERHANA INI. J U A N D A
banner islam photo: islam is my faith ISLAM-BANNER.gif

Wacana



ANALSIS WACANA KRITIS
Pengertian
Analisa adalah pengematan terhadap sesuatu objek dengan menggunakan kerangka berbikir yang rasional.
Analisis bersifat menganlisa yang merupakan kata kerja aktif.
Wacana adalah suatu objek masalah yang merupakan bahan deskripsi (pembicaraan), baik berupa objek social, budayaan, ekonomi, dan politik, maupun hal – hal yang berhubungan dengan khalayak banyak (masyarakat).
Kritis adalah sikap skeptis terhadap suatu objek.

Perbedaan antara Wacana dan Gosip.
Wacana menyangkut khalayak banyak sedang Gosip bersifat parsial.
Wacana realita yang terjadi sedang Gosip belum tentu realita.
Wacana melalui kerangka berfikir rasional sedang Gosip melalu kerangka berfikir asal-asalan. dll

Untuk dapat menganalisa dengan benar kita harus terlebih dahulu mengerti dan terhidar terhadap kesalahan-kesalahan berfikir (intellectual cul-de-sac).
Secara umum intellectual cul-de-sac terbagi atas:

1. Fallacy of Dramatic Instance. Kesalahan berfikir ini berawal dari kecenderungan orang untuk melakukan apa yang dikenal dengan over generalization. Yaitu, mengambil kesimpulan dari satu dua kasus untuk mengambil sebuah kesimpulan yang bersifat general atau umum.
2. Fallacy of Retrospective Determinism. Hal ini merupakan konsep pemikiran dari kaum jabaria atau yang lebih dikenal dengan kaum determinis, dimana menganggap segala sesuatu yang ada pada saat ini merupakan suatu hal yang secara histories memang selalua ada, merupakan takdir yang tidak bias dihindari, dan merupakan akibat dari sejarah yang cukup panjang. Determinism selalu saja lebih memperhitungkan masa lalu ketimbang masa mendatang.
3. Post Hoc Ergo Propter Hoc. Istilah ini yang bersal dari bahasa latin: post artinya sesudah; hoc artinya demikian; ergo artinya karena itu; propter artinya disebabkan; dan hoc artinya demikian. Singkatnya: sesudah itu- karena itu- oleh sebab itu.
4. Fallacy of Misplaced Concretness. Misplaced berarti salah letak. Concretness artinya kekonkretan. Jadi, kesalahan berpikir ini muncul karena kita mengkonkretkan sesuatu yang pada hakikatnya abstrak. Misalanya, mengapa orang islam secara ekonomi dan politik lemah? Mengapa kita tidak bias menjalankan syariat Islam dengan baik? Lalu ada orang menjawab: “Kita hancur karena kita berada pada satu system jahiliyah. Kita hancur karena ada thaghut yang berkuasa. “Tetapi, system jahiliyah dan thaghut itu adalah dua hal yang abstarak. Sehingga jika jawabanya seperti itu, lalu apa yang bisa kita lakukan? Kita harus mengubah system! Tetapi, “ siapa “ system itu? Sistem yang abstrak itu kita pandang sebagai suatu yang konkret.
5. Argumentum ad Verecundiam. Berargumentasi dengan menggunakan otoritas tertentu, walaupun otoritas itu tidak relevan atau ambigu. Seorang dosen menggunakan otoritasnyanya guna mendotrin maba untuk tidak terlibat organisais kemahasiswaan bahwa organisais kemahaswaan itu tidak penting karena kita tidak digaji hanya mencari cape saja, dalam artian orang yang percaya dengan argumentasi dosen tersebut karena yang menyampaikan argumentasi itu adalah dosen pasti benar, maka orang tersebut telah terjebak dengan kesalahan berfikir argumentum ad verecundiam.
6. Circular Reasoning. Circular Reasoning artinya pemikiran yang berputar-putar; menggunakan konklusi (kesimpulan) untuk mendukung asumsi yang digunakan lagi untuk menuju konklusi semula.

Tehnik-tehnik dalam menganalisa.
1. Dengan analisis 5W+H
a. What = apa
b. When = kapan
c. Where = dimana
d. Why = mengapa
e. Who = siapa
f. How = bagaimana

2. Dengan analisis SWOT
a. Strong = Kekuatan
b. Weakness = Kelemahan
c. Opportunity = Hambatan/Ancaman
d. T = Peluang

3. Dengan Brain Storming
a. Apa realitas yang terjadi.
b. Kumpulkan data/fakta sebanyak-banyaknya.
c. Apa/Bagaimana solusinya.

4. Dengan scenario Building
a. Apa-apa yang harus dilakukan Sebelum terjadi.
b. Apa-apa yang harus dilakukan Sesudah terjadi.



MATERI ANALISA WACANA


“ Tiada ilmu lebih baik dari hasil tafakkur “
( Ali bin Abi Thalib , Nahjul Balaghah )


DASAR FALSAFAH

Esensi paling orisinil seorang makhluk adalah kamampuan berpikirnya. Bahkan sejak ia lahir, misal menangis sekalipun tidak lain adalah bentuk-bentuk aktifitas kesadaran berpikir, yang memang meskipun masih dalam tingkatan rendah. Tugas manusia atau makhluk apapun di dunia ini, yakni menjaga sisi-sisi fitrawi kita sebagai makhluk yang berpikir. Al-insan al-hayawan an- natiq. Orang yang sengaja tidak menjaga potensi fitrawinya ditulis dalam Alqur’an sebagai seekor binatang yang buruk bahkan lebih buruk dari itu, disebabkan mereka tidak menggunakan mata mereka untuk mengamati, hati untuk meresa, telinga untuk mendengar singkatnya mereka tidak menggunakan akal mereka

Menurut Arkoun dalam kajian pemikiran kita biasanya terbagi menjadi dua ; Wilayah thinkable (seseuatu yang bisa dan biasa dipikirkan) dan Wilayah Unthinkable (sesuatu yang tidak biasa kita pikirkan). Pada point terakhir, mungkin kita merasa takut atau merasa asing atau bahkan kita siap memasang kuda-kuda terhadap apapun yang tidak biasa kita pikirkan. Kita cenderung menutup diri atau menghindar terhadap semua hal yang ‘diluar’ pemikiran kita. Salah satu ciri apatisme di wilayah unthinkable adalah tiba-tiba dalam diri muncul sikap fanatik dan tidak empati pada sesuatu yang dianggap baru tersebut.
Keyakinan seseorang muncul dari hasil tafakkur. Tafakkur terjadi ketika kita merasa ragu terhadap suatu hal lalu mencoba melakukan verifikasi. Verifikasi digunakan sebagai alat memilah-milah kebenaran dan kesalahan, kemudian kita menghadapi problem alat verifikasi seperti apa yang menjamin kebenaran ini ..? Siapa yang menjamin bahwa alat verifikasi ini benar adanya..? lalu bukankah alat verifikasi ini masih membutuhkan verifikasi lain yang menunjang kebenarannya…?. Jadilah petualangan intelektual kita semakin asyik dan sedikit membingungkan. Dengan kata lain, keyakinan itu didapat dulu dari dari keraguan. Jawaban diperoleh dari berbagai pertanyaan dan ketetapan itu diperoleh dari kebimbangan.
Pertanyaan mendasarnya adalah Kita mulai dari mana ? …. Sebenarnya kita dapat memulainya kapan saja dan dari mana saja kita maui, yang jelas harus ada niat tulus dalam hati untuk tidak membidas keraguan. Kita tidak perlu merasa malu untuk bertanya, tak perlu takut akan suatu aliran sesat ini atau itu atau membaca “buku-buku asing“ yang menghasut dan dianggap tidak sesuai dengan tradisi pemikiran kita. Kita tidak perlu mengeluarkan energi terlalu banyak pada rasa takut biarlah sejarah dan logika yang mengukuhkanya.
Karena hakikat kebenaran adalah proses mencari bukan sesuatu yang final. Kebenaran Mutlak-Abstrak hanyalah milik Allah SWT, oleh karenanya muncul multi interpretasi. Tugas kita mencari jejak-jejak petunjuk yang datangnya dari Allah SWT. Komitmen tauhid yang kita miliki mengharuskan untuk bebas melakukan uji coba dan meragukan ala Cogito-an. Mungkin disinilah hidup ini jadi lebih bersemangat.
KORELASI DENGAN MAHASISWA
Menyandang status kemahasiswaan tidaklah mudah. Sebab ketika status mahasiswa ada dalam diri kita maka secara otomatis melekat padanya label-label. Label-label dapat diartikan serangkaian penamaan, atribut, gagasan dan identitas diri yang inheren dalam suatu individu. Tanpa memiliki label, eksistensi makhluk akan hilang arahnya.
Seorang mahasiswa yang sadar akan tugasnya, Dia tak akan menyia-nyiakan waktu dan umurnya. Setiap aktivitas intelektual yang ia kerjakan pastilah bisa membawa pengaruh baik bagi dirinya lebih-lebih bagi masyarakat nantinya. Sebab bagi mahasiswa, perubahan zaman harus direspon. Tidak bisa ditolak ataupun direkayasa. Terlepas apakah zaman itu, menurutnya, menuju pada perbaikan, lebih-lebih kemunduran….
ANALISA WACANA BARAT :
Barat disatu sisi adalah tantangan kita. Realitas barat bertentangan dengan realitas kontemporer kita. Teori-teori Barat melalui methode rethorisme dan kesombongan ilmiahnya tidak ada relevansinya dengan kebutuhan kita.
Barat adalah simbol kemajuan peradaban yang sekularis-materialis. Suatu simbolteknologis –saintifik yang tercerabut dari akar-akar spiritualitas. Jiwa mereka terpecah-pecah (an-Nafs al- Mujarrad) karena mereka menghilangkan peranan agama dalam kehidupan.
Setiap kali mereka berbicara, dengan sepihak, menamakan diri sebagai entitas peradaban maju. Superioritasnya selalu menyertai setiap sisi kehidupan kita dan kenyataan ini semakin diperparah dari sebagian kita yang membantu internasionalisasi peradaban Barat, kita secara tidak langsung turut mempopulerkan Barat lewat pola kehidupan kita sehari-hari
ANALISA WACANA TRADISIONAL
Di sisi lain, kita juga mewarisi Agama dalam bentuk paket-paket tradisi lama. Bahkan semua paket-paket siap pakai, tinggal membuka dan mengkonsumsinya saja. Didalam paket-paket itu kerapkali di kemas dengan mitos-mitos menipu.
Tradisi yang dimaksudkan disini adalah warisan nenek moyang kita. Suatu bentuk kehidupan dan pemahaman yang rigid-jumud, penuh dengan tindak-tindak irrasionalitas dan kadang kekerasan.
Kita cukup sulit menentukan sikap frontal karena warrisan semacam ini sudah berbentuk lembaga-lembaga masyarakat dan di topang oleh para penjaga-penjaga tradisi yang siap pedang ditangan. Akibatnya Warisan leluhur kita nyaris tanpa sikap kritik dan tidak peduli terhadap realitas kekinian.
Meskipun begitu, ada segelintir manusia yang sadar kedua pola itu. Mereka mengelompok sendiri-sendiri, berdiri ditengah-tengah antara dua kutub modernitas Barat dan tradisi masa lalu.
Bagi mereka, berpihak pada salah satu kutub dan membela pemikiran mereka bukanlah cara yang tepat untuk memecahkan masalah mendasar umat. Mereka di sebut ‘ Rausyan Fikr ‘ mereka membuat langkah-langkah raksasa yang cepat kedepan.
Saat orang ditanya, apa ideologi anda ? Mungkin anda menjawab ; Ideologi saya tidak Barat dan tidak Timur. Tengah-tengah saja. Ideologi saya liberalisme Atau ada yang menjawab ; Ideologi saya Alquran dan al Hadits. Pada jawaban seperti ini tidak bisa menyadarkan anda, menumbuhkan ide-ide kritis dan pada akhirnya belum dapat mengerakkan masyarakat. Perlu penafsiran filosofis tentangnya dari segi epistemologi dan aksiologis

ANALISIS WACANA
ANALISIS wacana muncul sebagai suatu pendekatan ilmu-ilmu sosial sekurang-kurangnya dalam sepuluh tahun terakhir. Sampai tingkat tertentu, dia merupakan penerapan praktis dari apa yang dikenal sebagai epistemologi dalam studi filsafat. Pertanyaan yang diajukan bukanlah mengenai apa yang sesungguhnya terjadi, melainkan justru mengenai bagaimana orang memandang apa yang terjadi, dan mengapa pula dia memandang kejadian tersebut dalam perspektif yang satu dan bukannya dalam perspektif lainnya.
Dalam arti itu, analisis wacana (discourse analysis) tidak terlalu mempersoalkan apakah benar Dr. Syahril Sabirin, misalnya, telah ditawari berbagai jabatan lain oleh Presiden Gus Dur kalau saja dia bersedia mundur dari jabatannya sebagai Gubernur BI. Yang dipersoalkan adalah apakah seorang presiden yang telah mengetahui kesalahan seorang pejabat tinggi (yang menurut pertimbangan presiden merupakan alasan cukup untuk memecatnya) dapat dan boleh menawarkan jabatan lain kepada pejabat tinggi tersebut sebagai substitusi bagi pengunduran dirinya dari jabatannya. Taruhlah hal itu, misalnya, dilakukan Presiden Gus Dur demi alasan kemanusiaan agar yang bersangkutan jangan terlalu kehilangan muka, seorang analis wacana masih akan tetap bertanya apakah tindakan menawarkan jabatan lain tersebut merupakan tindakan yang dapat dibenarkan?
Apakah manusiawi kalau setiap orang yang telah melakukan kejahatan tidak diberi hukuman yang pantas menurut hukum, tetapi dicoba disembunyikan kesalahannya agar dia tidak kehilangan muka? Bukankah lebih manusiawi menghukum seseorang yang bersalah, supaya kesalahan yang sama tidak terulang pada pejabat lainnya dan masyarakat umum mendapat pegangan mengenai apa yang dimaksud dengan clean government ?
Kalau logika itu diteruskan, pada akhirnya seorang pembunuh tidak usah dihukum asal saja dia mengakui perbuatannya dan kemudian meminta maaf. Pada titik itu, keadilan telah diabaikan karena yang menjadi perhatian dan yang diselamatkan adalah pihak pembunuhnya, sedangkan pihak yang mengalami pembunuhan itu sama sekali tidak dijamin haknya dan tidak dipulihkan kerugiannya kecuali cuma dengan permintaan mitu semakin mudah diprovokasi dari hari ke hari)? Mengapa mereka tidak diberi hak untuk sedikit berharap atas perlindungan negara? Kebingungan kita rupanya sudah berkembang luas karena wacana politik mengenai kasus Ambon ini tidak pernah diuji secara serius dalam suatu analisis wacana.
Demikian pula persoalan hak interpelasi DPR dapat ditempatkan dalam analisis wacana yang sama. Persoalannya bukanlah apakah DPR dapat memakai hak tersebut atau tidak (karena hak tersebut dijamin oleh undang-undang), melainkan apakah pencopotan dua orang menteri (Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla) dapat menjadi alasan cukup bagi DPR untuk menggunakan hak tersebut. Mengapa DPR tidak memakai hak tersebut untuk menanyakan kepada pemerintah mengapa masalah Ambon menjadi demikian berlarut-larut dan tidak dapat diatasi pada tingkat tertentu? Apakah yang akan dipersoalkan wewenang presiden untuk memecat kedua menteri tersebut ataukah tingkat kelayakan alasan presiden dalam memecat mereka?
Pertanyaan pertama bersifat formal-legal dan jawabannya sudah jelas pula, yaitu hak prerogatif untuk memilih dan mengganti menteri-menteri yang membantunya. Pertanyaan kedua menyangkut kebijakan politik, yaitu mengapa gerangan presiden merasa perlu memakai hak prerogatif tersebut, dan mengapa pula justru kedua menteri tersebut yang menjadi sasaran hak prerogatifnya.
Dalam analisis wacana akan segera terlihat kecenderungan dalam penggunaan hak interpelasi ini. Pertama, politisi kita ternyata lebih peka terhadap persoalan yang menyangkut elite politik (dua orang menteri) daripada persoalan yang menyangkut rakyat banyak (masyarakat Ambon). Kedua, politisi kita ternyata lebih peka terhadap masalah politik yang menyangkut anggota partai mereka daripada yang menyangkut kepentingan umum. Politik Indonesia tetap saja elitis dan eksklusif dalam orientasinya, dan tiadanya analisis wacana akan menyebabkan konstruksi elitis dari politik ini akan tetap dilestarikan. Rakyat hanya menjadi bahagian dari suatu nomenklatur dalam bahasa politik, tetapi praktis tersingkir dari wacana, sambil dibiarkan ditelan bencana




KATA PENGANTAR
Nilai Dasar Perjuangan adalah sebuah landasan filosofis dan ideologis sekaligus sebagai spirit perjuangan dari organisasi sehingga setiap kader HMI harus mampu memahami nilai dasar perjuangan bukan hanya pada tataran yang formal tapi juga secara substansial sehingga tidak ada kontradiksi pada tataran konsep dan taktis melainkan sebuah keserasian antara landasan konseptual yang diterjemahkan pada wilayah starategis dan kebijakan yang taktis atau operasional.
Setiap generasi bertanggung jawab pada sejarah yang yang menyertainya, dan progressifitas perubahan menjadi keniscayaan dari setiap sejarah. Begitu halnya dengan sebuah organisasi ataupun suatu lembaga pasti diwarnai dengan perubahan, dan organisasi yang tidak mampu mengikuti pola perubahan yang terjadi pada zamannya, maka dia akan tertinggal jauh dan menjadi organisasi yang terbelakang, sehingga wacana perubahan adalah identik dengan parsialitas perubahan yang niscaya harus direspon. Tuntutan inilah yang mendorong keterbukaan dan progresifitas, karena wacana yang anti kepada perubahan adalah kejumudan, ketertutupan terhadap realitas yang mengalami perubahan dan cenderung bersifat status quo dalam memapankan kekuasaan. Bakornas LPL HMI dalam melihat wacana perubahan yang terjadi dalam spirit organisasi perlu mengadakan sebuah perubahan dalam pengkaderan yang tentunya berlandaskan dengan nilai-nilai yang ada dalam organisasi Himpunan Mahsiswa Islam (HMI), maka dengan itu kami mencoba memfasilitasi kader-kader HMI yang masih tetap eksis dalam dunia perkaderan untuk memformat ulang materi-materi dalam Nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang menjadi rekomendasi kongres. Sebagai langkah kongkrit maka kami dari Bakornas LPL HMI mengadakan semiloka Pendalaman NDP di Mataram, yang kemudian menghasilkan draf materi dan pembentukan tim 8 untuk kemudian menggodok lebih lanjut materi NDP. Proses penyempurnaan draft narasi yang menjadi kelanjutan forum di mataram selanjutnya digelarlah pendalaman dan finalisasi penulisan draft NDP yang diadakan oleh Bakornas yang bekerja sama dengan tim 8 di cabang Makasar Timur.
Dari hasil materi tersebut sepenuhnya nilai dasar perjuangan HMI tidaklah mengalami perubahan yang radikal kecuali hanya beberapa tema yang mengalami perubahan dan terdapat beberapa tema-tema tambahan khususnya materi landasan dan kerangka Berpikir dan dasar-dasar kepercayaan. Materi ini dianggap penting karena secara substansial materi ini dapat mengantarkan kita berpikir induktif yang ukuran kebanaran hanya dalam batas yang material dan mengarahkan kita kepada tidak meyakini hal-hal yang sifatnya metafisika dan hal itu mengingkari landasan ideologis organisasi yang berbasis Islam. Dan materi dasar-dasar kepercayaan yang selama ini bersifat dogmatis karena pembuktian wujud melalui pemahaman teks yang justru membawa paradigma determenistik dan jauh dari prinsip-prinsip rasionalitas. Olehnya itu terjadi pengayaan pendekatan dalam membuktikan esensialitas ajaran islam secara logis dengan pendekatan deduktif.
Adapun pengayaan lanjut dalam materi nilai dasar perjuangan adalah pertama: Hakikat penciptaan dan eskatologi, materi ini mengurai tentang hakikat penciptaan manusia dan pembuktian secara rasional akan adanya hari kebangkitan dengan argumentasi yang logis dengan prinsip-prinsip yang rasional, kedua: manusia dan nilai kemanusiaan, materi ini mengurai tentang manusia sebagai khalifah dalam alam makrokosmos dilihat dari berbagai persfektip tentunya dalam kaca mata Qur,an melihat manusia, apa ukuran manusia itu dikatakan sempurna apakah dalam dimensi fisiologis atau dalam dimensi sprtitual, Al-qur’an melihat bahwa ukuran kesempuraan terletak dalam dimensi spritualitas bukan fisiologis seperti yang banyak diungkapkan oleh pemikir-pemikir barat yang berbasis materialistik. Selanjutnya penjabaran meteri dari kemerdekaan manusia dan keniscyaan universal, individu dan masyarakat, keadilan ekonomi dan keadilan sosial dan sains islam mengalami perubahan pada materi yang secara substansial adalah turunan dan penjabaran lebih jauh dari perubahan meteri dari hakikat penciptaan dan eskatologi dan manusia dan nilai-nilai kemanusiaan, yang tentunya dengan uraian materi yang saling terkait antara sub-sub bab masing-masing dalam kerangka yang sistematis.
Pada kesempatan ini secara khusus Bakornas LPL HMI mengucapkan terima kasih kepada Kanda Muhammad Anwar (Cak Konyak) selaku Kabid PA PB HMI Priode 2003-2005 yang telah memberikan support penuh sehingga terlaksananya penulisan pengayaan materi NDP ini. Selain itu kepada Badko HMI Nusra dan HMI Cabang Makasar Timur yang telah memfasilitasi proses penulisan teks NDP, serta pihak-pihak lain yang turut membantu proses pengayaan materi NDP ini, semoga Allah SWT membalas dengan setimpal.
Demikianlah pengantar dari Bakonas LPL PB HMI, mudah-mudahan kerja keras dan niat yang tulus ini mendapatkan Ridho dan Berkah-NYA serta bermanfaat buat kader-keder HMI dalam menata lebih jauh format pengkaderan di organisasi yang tercinta ini.
Yakin Usaha Sampai.


BAGAN ALUR KONSEP
NILAI-NILAI DASAR PERJUANGAN (NDP)

POKOK BAHASAN TIAP BAB NDP

1. LANDASAN DAN KERANGKA BERPIKIR
Sumber Epistimologi
Teori Pengetahuan
Landasan Penilaian
Metode Berfikir

2. DASAR-DASAR KEPERCAYAAN
Dilema Kepercayaan
Argumen Teologi
Esensi Ajaran Islam ( Tauhid, Falsafah Kenabian, dan Falsafah Syariat)

3. HAKIKAT PENCIPTAAN DAN ESKATOLOGI
Memahami Prinsip Kausalitas
Hakikat Penciptaan
Pahaman Terhadap Realitas dan Hubungan Jiwa dengan Jasad
Keadaan Jiwa Setelah Penciptaan

4. MANUSIA DAN NILAI-NILAI KEMANUSIAAN
Hakikat Manusia Sempurna
Hakikat Moral (Falsafah Akhlak)

5. KEMERDEKAAN MANUSIA DAN KENISCAYAAN UNIVERSAL
Konsep Free Will dan Determinis
Keadilan Ilahi
Takdir dan Ikhtiar Serta Hubungannya

6. INDIVIDU DAN MASYARAKAT
Hakikat Manusia Sebagai Makhluk Individu dan Sosial (Status Ontologisnya)
Esensi Masyarakat
Hubungan antara Individu Dan Masyarakat

7. KEADILAN SOSIAL DAN KEADILAN EKONOMI
Falsafah Keadilan
Mengenal Prinsip Keadilan Idiologi-idiologi Besar
Mengenal Sistem Kerja Masing-masing Idiologi
Konsepsi Islam Tentang Prinsip Keadilan Sosial dan Ekonomi

8. SAINS ISLAM
Status Ontologis
Metodologi
Hakikat Ilmu

NILAI DASAR PERJUANGAN HMI
(Hasil Pengayaan Terhadap NDP Hasil Kongres HMI XXIV)


BAB I : LANDASAN DAN KERANGKA BERFIKIR

Dalam benak/pikiran manusia terdapat sejumlah gagasan-gagasan baik yang bersifat tunggal (seperti gagasan kita tentang Tuhan, Dewa, malaikat, surga, neraka, kuda, batu, putih, gunung dan lain-lain) maupun majemuk (seperti gagasan kita tentang Tuhan Pengasih, Dewa Perusak, Malaikat pembawa wahyu, kuda putih, gunung batu dan lain-lain). Bentuk pengetahuan-pengetahuan ini disebut pengetahuan tasawwur (konsepsi). Seluruh bentuk-bentuk proposisi keyakinan atau kepercayaan apapun pada awalnya hanyalah merupakan bentuk konsepsi sederhana ini. Mengapa bisa demikian? Hal ini karena adalah mustahil seseorang dapat meyakini atau menpercayai sesuatu jika sesuatu itu pada awalnya bukan merupakan sebuah konsepsi baginya.
Tetapi pengetahuan tasawwur (Konsepsi) sebagaimana telah diketahui hanyalah merupakan gagasan-gagasan sederhana yang di dalamnya belum ada penilaian maka itu ia dapat saja benar atau salah. Oleh karenanya seseorang tidak diperkenankan untuk merasa puas hanya dengan pengetahuan konsepsi. tetapi ia harus melangkah untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat yakin yaitu pengetahuan-pengetahuan tasdhiqi. Dalam artian bahwa ia harus melakukan suatu proses penilaian terhadap setiap gagasan-gagasan (baik tunggal maupun majemuk) atau konsepsinya itu agar dapat diyakini. Lantas, pertanyaannya adalah apa landasan pokok penilaian kita di dalam menilai seluruh gagasan-gagasan kita yang mana kebenarannya mestilah bersifat mutlak dan pasti?
Dalam kanca perdebatan filosofis ketika para pemikir mencoba menjawab hal pokok ini terbentuklah tiga mazhab berdasarkan doktrinnya masing-masing. Ketiga mazhab itu adalah pertama, mazhab ‘metafisika Islam’ dengan doktrin aqliahnya, kedua, mazhab emperisme dengan doktrin emperikalnya dan ketiga, mazhab skriptualisme dengan doktrin tekstualnya. Metafisika Islam dalam hal ini menjadikan prima principia dan kausalitas serta metode deduktif sebagai kerangka berfikirnya. Adapun mazhab emperisme menjadikan pengalaman inderawi atau eksperimen sebagai landasan dalam menilai segala sesuatu dimana induktif sebagai kerangka berfikirnya. Sementara mazhab skriptualisme menjadikan teks-teks kitab suci sebagai landasan dalam menilai segala sesuatu serta tekstual dalam kerangka berfikirnya.
 tetapi yang ditolaknya adalah bila keduanya (pengalaman dan teks-teks kitab) itu merupakan landasan atau kriteria dasar dalam setiap penilaian hal-hal ilmiah filosofis maupun teologis.-yang dijadikan landasan berfikir bagi kedua mazhab yang lain-Mazhab kedua (empirisme) menolak seluruh bentuk landasan dan kerangka berfikir kedua mazhab yang lain. Begitu pula bagi mazhab ketiga (skriptualisme), mereka skeptis terhadap landasan dan kerangka berfikir kedua mazhab yang lain. Adapun bagi mazhab pertama (metafisika Islam), mereka tidak menolak sumbangsih-informasi dari teks-teks kitab suci dan pengalaman inderawi atau eksperimen
Bagi mazhab pertama (‘metafisika Islam’) pengalaman inderawi atau data eksperimen merupakan informasi-informasi yang sangat perlu dalam upaya kita mengetahui aspek sekunder dari alam materi. Atau dengan kata lain data eksperimen atau pengalaman inderwi sangatlah dibutuhkan bila obyek pembahasan kita adalah khusus mengenai hal-hal yang sebagian bersifat ilmiah dan sebagian lagi bersifat filosofis. Adapun teks-teks kitab suci sangatlah dibutuhkan dalam upaya kita mengetahuai aspek sekunder dari keadaan-keadaan (kondisi objektif) seperti alam gaib, akhirat, kehendak-kehendak suci Tuhan atau dengan kata lain jika obyek pembahasan kita berkenaan dengan sebagian dari obyek filosofis (metafisika dan teologi) yang dalam hal ini pengalaman inderawi atau eksperimen tak dibutuhkan sama sekali. Karena itu dalam kerangka berfikir Islam, kedua data di atas (data pengalaman inderawi atau eksperimen dan teks-teks kitab suci) merupakan premis-premis minor dalam sistematika deduktif.
Pada akhirnya tak dapat diingkari bahwa dari mazhab metafisika Islam yang berlandaskan prima principia dan hukum objektif kausalitas serta kerangka deduktifnya merupakan satu-satunya landasan berfikir di dalam menilai segala sesuatu. Tanpa pengetahuan dasar tersebut mustahil ada pengetahuan tasawwur (konsepsi) maupun tasdhiq (assent) apapun. Tak dapat dibayangkan apa yang terjadi bila doktrin dari metafisika Islam ini bukan merupakan watak wujud (realitas objektif) yang mengatur segala sesuatu termasuk pikiran? Maka kebenaran dapat menjadi sama dengan kesalahannya, bahwa setiap peristiwa dapat terjadi tanpa ada sebabnya. Bila demikian adanya maka tentu meniscayakan mustahilnya penilaian. Mengapa demikian? Karena watak penilaian adalah ingin diketahuinya “sesuatu itu (konsepsi) apakah ia benar atau salah” atau ingin diketahuinya “mengapa dan kenapa sesuatu itu dapat terjadi”. Artinya, jika pengetahuan dasar tersebut bukan merupakan watak dan hukum realitas yang mengatur segala sesuatu termasuk pikiran maka seluruh bangunan pengetahuan manusia baik di bidang ilmiah, filosofis dan teologi menjadi runtuh dan tak bermakna.


BAB II: DASAR-DASAR KEPERCAYAAN

Manusia adalah mahluk percaya. Pada kadarnya masing-masing, setiap mahluk telah memiliki kepercayaan/kesadaran berupa prinsip-prinsip dasar yang niscaya lagi rasional yang diketahui secara intuitif (common sense) yang menjadi Kepercayaan utama makhluk sebelum ia merespon segala sesuatu diluar dirinya. Dengan bekal ini, manusia memiliki potensi untuk mengetahui dan mempercayai pengetahuan-pengetahuan baru melalui aktivitas berpikir. Berpikir adalah aktivitas khas manusia dalam upaya memecahkan masalah-masalah dengan modal prinsip-prinsip pengetahuan sebelumnya.
Memiliki sebuah kepercayaan yang benar, yang selanjutnya melahirkan tata nilai, adalah sebuah kemestian bagi perjalanan hidup manusia. pada hakikatnya, perilaku manusia yang tidak peduli untuk berkepercayaan benar dan Manusia yang berkepercayaan salah atau dengan cara yang salah tidak akan mengiringnya pada kesempurnaan. Maka mereka tidak ubahnya seperti binatang. Manusia harus menelaah secara objektif sendi-sendi kepercayaannya dengan segala potensi yang dimilikinya.
Kajian yang mendalam tentang kepercayaan sebagai sebuah konsep teoritis akan melahirkan sebuah kesadaran bahwa manusia adalah maujud yang mempunyai hasrat dan cita-cita untuk menggapai kebenaran dan kesempurnaan mutlak, bukan nisbi. Artinya, ia mencari Zat Yang Mahatinggi dan Mahasempurna (Al-Haqq).
Ada berbagai macam pandangan yang menjelaskan tentang ketiadaan kebenaran dan kesempurnaan mutlak (Zat yang maha sempurna) tersebut sehingga mereka menganggap bahwa alam ini terjadi dengan sendirinya (kebetulan) tidak ada yang mengadakannya.
Metafisika Islam dengan Prima principianya sebagai prinsip dasar dalam berpikir mampu menyelesaikan perdebatan itu dengan penjelasan Kemutlakan WUJUD(ADA)nya, dimana Wujud adalah sesuatu yang jelas keberadaannya dan Tunggal karena selain keberadaan adalah ketiadaan sehingga apabila ada sesuatu selain ADA maka itu adalah ketiadaan dan itu sesuatu yang mustahil karena ketiadaan tidak memiliki keberadaan.
Manusia - yang terbatas - tidak sempurna – tergantung - memerlukan sebuah sistem nilai yang sempurna dan tidak terbatas sebagai sandaran dan pedoman hidupnya. Sistem nilai tersebut harus berasal dari ke-ADA-an (Zat Yang Mahasempurna) yang segala atributnya berbeda dengan mahluk. Konsekuensi akan kebutuhan asasi manusia pada sosok Mahasempurna ini menegaskan bahwa sesuatu itu harus dapat dijelaskan oleh argumentasi-argumentasi rasional, terbuka, dan tidak doktriner. Sehingga, semua lapisan intelektual manusia tidak ada yang sanggup menolak eksistensi-Nya.
Sekalipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa Sang Mahasempurna itu diklaim oleh berbagai lembaga kepercayaan (agama) di dunia ini dengan berbagai konsep, istilah dan bentuk. Simbol-simbol agama yang berbeda satu sama lain tersebut menyiratkan secara tersurat beberapa kemungkinan: semua agama itu benar; semua agama itu salah; atau, hanya ada satu agama yang benar.
Agama-agama yang berbeda mustahil memiliki sosok Mahasempurna yang sama, walau memiliki kesamaan etimologis. Sebab, bila sosok tersebut sama, maka agama-agama itu identik. Namun, kenyataan sosiologis menyebutkan adanya perbedaan pada masing-masing agama. Demikian pula, menilai semua agama itu salah adalah mustahil, sebab bertentangan dengan prinsip kebergantungan manusia pada sesuatu yang mahasempurna (Al-Haqq/Tuhan). Maka dapatlah disimpulkan bahwa hanya satu agama saja yang benar. Dengan argumentasi diatas, manusia diantarkan pada konsekwensi memilih dan mengikuti agama yang telah terbukti secara argumentatif.
Diantara berbagai dalil yang dapat diajukan, membicarakan keberadaan Tuhan adalah hal yang paling prinsipil. Keberadaan dan perbedaan agama satu dengan yang lainnya di tentukan oleh sosok “Tuhan“ tersebut. yang pasti, ciri-ciri keberadaan Tuhan (pencipta / khaliq). Bertolak belakang dengan ciri-ciri khas manusia (Yang diciptakan/ makhluq). Bila manusia adalah maujud tidak sempurna, bermateri, tersusun, terbatas, terindera, dan bergantung, maka tuhan adalah zat yang mahasempurna, immateri, tidak tersusun, sederhana, tidak terdiri dari bagian, tidak terindera secara material, dan tunggal (Esa/Ahad).
Dengan demikian diketahuilah bahwa manusia dapat mengetahui ciri-ciri umum Tuhan, namun mustahil dapat mengetahui materi Zat-Nya. Manusia mengklaim dapat menjangkau zat Tuhan, sesungguhnya telah membatasi Tuhan dengan Rasionya (reason). Segala sesuatu yang terbatas, pasti bukan Tuhan. Ketika manusia menyebut “Dia Mahabesar“. Sesungguhnya Ia lebih besar dari seluruh konsepsi manusia tentang kebesaran-Nya. Berdasarkan hal tersebut, potensialitas akal (Intelect) manusia dalam mengungkap hakikat zat-Nya menyiratkan bahwa pada dasarnya seluruh makhluk diciptakan oleh-Nya sebagai manifestasi diri-Nya (inna lillahi) yang kemudian akan kembali kepada-Nya (wa inna ilaihi raji’un) sebagai realisasi kerinduan manusia akan keabadian kesempurnaaan, kebahagiaan mutlak.
Keinginan untuk merefleksikan ungkapan terima kasih dan beribadah kepada Tuhan Yang Mahaesa menimbulkan kesadaran bahwa Ia Yang Mahaadil mesti membimbing umat manusia tentang cara yang benar dan pasti dalam berhubungan dengan-Nya. Pembimbing Tuhan kepada setiap mahluk berjalan sesuai dengan kadar potensialitasnya dalam suatu cara perwujudan yang suprarasional (wahyu) diberikan khusus kepada hamba-hamba-Nya yang memiliki ketinggian spritual.
Relasi konseptual tentang ke-Mahabijaksana-an Tuhan untuk membimbing makhluk secara terus menerus dan kebutuhan abadi makhluk akan bimbingan memestikan kehadiran sosok pembimbing yang membawa risalah-Nya (rasul), yang merupakan hak prerogatif-Nya. Rasul adalah cerminan Tuhan di dunia. Kepatuhan dan kecintaan makhluk kepada mereka adalah niscaya. Pengingkaran kepada mereka identik dengan pengingkaran kepada Tuhan.
Bukti kebenaran rasul untuk manusia ditunjukkan pula oleh kejadian-kejadian kasat mata (empiris) luar biasa (mu’jizat bagi orang-orang awwam) maupun bukti-bukti rasional(mu’jizat bagi para intelektual) yang mustahil dapat dilakukan oleh manusia lain tanpa dipelajari. Pemberian tanda istimewa kepada rasul akan semakin menambah keimanan seseorang. Mu’jizat juga sebagai bukti tambahan bagi siapa saja yang tidak mau beriman kepada Tuhan dan pesuruh-Nya, kecuali bila diperlihatkan kepadanya hal-hal yang luar biasa.
Kepatuhan dan keyakinan manusia kepada rasul melahirkan sikap percaya terhadap apa pun yang dikatakan dan diperintahkannya. Keyakinan tentang kitab suci (bacaan atau kumpulan firman Tuhan, disebut Al-quran) yang dibawanya adalah konsekuensi lanjutan. Di dalam kitab suci terdapat keterangan-keterangan tentang segala sesuatu sejak dari alam sekitar dan manusia, sampai kepada hal-hal gaib yang tidak mungkin dapat diterima oleh pandangan saintifik dan empiris manusia.
Konsepsi fitrah dan ‘rasio’ tentang Realitas Mutlak (Tuhan) diatas ternyata selaras dengan konsep teoritis tentang Tuhan dalam ajaran-ajaran Muhammad yang mengaku rasul Tuhan yang disembah selama ini. Muhammad mengajarkan kalimat persaksian/keimanan (syahadatan) bahwa tidak ada (la) Tuhan (ilah) yang benar kecuali (illa) Tuhan yang merupakan kebenaran Tunggal/Esa/Ahad (Allah, dari al-ilah). Ia (Muhammad) juga menerangkan bahwa dialah rasul Allah (rasulullah). Menurut agama yang mengajarkan ketundukan dan kepatuhan pada kebenaran (Islam) pada ummatnya ini (muslim). Proses pencarian kebenaran dapat ditempuh dengan berbagai jalan, baik filosofis, intuitif, ilmiah, historis, dan lain-lain dengan memperhatikan ayat-ayat Tuhan yang terdapat di dalam Kitab suci maupun di alam ini.
Konsukuensi lanjut setelah manusia melakukan pencarian ketuhanan dan kerasulan adalah kecendrungan fitrah dan kesadaran rasionalnya untuk meraih kebahagiaan. Keabadian, dan kesempurnaan. ketidak mungkinan mewujudkan keinginan-keinginan ideal tersebut didalam kehidupan dunia yang bersifat temporal ini melahirkan konsep tentang keberadaan hari akhirat -yang sebelumnya dimulai dengan terjadinya kehancuran alam secara besar-besaran (qiyamah/ kiamat/ hari agama/ yaum al-din)- sebagai konsekuensi logis keadilan Tuhan. Kiamat merupakan permulaan bentuk kehidupan yang tidak lagi bersifat sejarah atau duniawi. Disana tidak ada lagi kehidupan historis seperti kebebasan, usaha dan tata masyarakat yang menimbulkan ganjaran dosa/pahala.
 Kehidupan akhirat merupakan refleksi perbuatan berlandaskan iman, ilmu, dan amal selama di dunia. Dengan kata lain, ganjaran di akhirat adalah kondisi objektif dari relasi manusia terhadap Tuhan dan alam.

BAB III: HAKEKAT PENCIPTAAN DAN EKSKATOLOGI (MA’AD)

Salah satu prinsip dasar pandangan dunia yang merupakan pondasi penting dari keimanan Islam adalah kepercayaan akan adanya kebangkitan dihari akhirat (kehidupan sesudah mati). Beriman kepadanya karena merupakan suatu persyaratan hakiki untuk dapat disebut muslim. Mengingkari kepercayaan ini dapat dipandang sebagai bukan muslim.
Sebelum masuk ke bahasan tentang kehidupan sesudah mati maka masalah tujuan dari penciptaan harus terlebih dahulu kita selesaikan, apakah yang memiliki tujuan dalam penciptaan itu Tuhan ataukah Makhlukh? Dan kemanakah tujuannya?.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut haruslah bersandar pada landasan-landasan metafisika Islam sehingga konsekwensi-konsekwensi yang dilahirkan dari pilihan jawaban kita akan dapat terselesaikan dengan tanpa keraguan. Jawaban ini juga yang akan menjelaskan kepada kita bahwa Tujuan dari seluruh ciptaan adalah bergerak menuju sesuatu yang sempurna dan Kesempurnaan Tertinggi adalah Tuhan maka Dia lah yang menjadi tujuan dari seluruh gerak ciptaan.
Bahasan tujuan penciptaan itulah yang akan menjadi awal untuk selanjutnya kita masuk dalam pembahasan kehidupan sesudah mati (Eskatologi).
Asal dan sumber dari kepercayaan tentang adanya hari akhirat ini mestilah dibuktikan melalui argumen-argumen filosofis sehingga tidak ada sedikitpun alasan yang dapat dikemukakan (oleh mereka yang belum mempercayai wahyu Ilahi) untuk meragukannya. Kesungguhan beragama terpacu dengan sendirinya bila kesadaran akan adanya hari akhirat (kehidupan kekal) sebagai sesuatu yang mutlak atau pasti terjadi. Sehingga oleh para nabi dan rasul kepercayaan kepada Ekskatologi (Ma’ad) merupakan prinsip kedua setelah Tauhid.
Tema-tema yang membicarakan masalah kehidupan akhirat ini atau kehidupan sesudah mati dari segi pandangan islam berkenaan dengan maut, kehidupan sesudah mati, alam barzakh, hari pengadilan besar, hubungan antara dunia sekarang dan dunia akan datang, manifestasi dan kekekalan perbuatan manusia serta ganjaran-ganjarannya, kesamaan dan perbedaan anatara kehidupan dunia sekarang dan didunia akan datang, argumen-argumen al-Qur’an dan bukti-bukti tentang dunia akan datang, keadilan tuhan, kebijaksanaan tuhan.
Sepanjang kehidupan baik didunia ini maupun diakhirat, kebahagiaan kita sangat tergantung pada keimanannya pada hari tersebut. Karena ia mengingatkan manusia akan akibat-akibat dari tindakan-tindakannya. Dengan cara ini manusia menyadari bahwa perbuatan-perbuatan, perilaku, pemikiran-pemikiran, perkataan dan akhlak manusia mulai dari yang paling besar hingga kepada yang paling kecil, mempunyai awal dan akhir, sebagaimana mahluk manusia itu sendiri.
Tetapi manusia hendaknya tidak berfikir bahwa semuanya itu berakhir pada masa kehidupan dunia ini atau periode ini saja. Sebab segalanya itu tetap ada dan akan dimintai pertanggung jawaban pada hari periode kedua.
Kebahagiaan manusia pada hari itu ¯bergantung pada kepercayaan pada hari atau periode kedua tersebut. Karena pada hari kedua (periode kedua tersebut) manusia akan diganjar atau dihukum sesuai perbuatan-perbuatannya. Itulah sebabnya maka menurut islam beriman kepada hari kebangkitan dipandang sebagai tuntutan yang hakiki bagi kebahagiaan manusia.

BAB IV: MANUSIA DAN NILAI-NILAI KEMANUSIAAN

Satu hal yang mesti dilakukan sebelum kita membicarakan hal-hal lain dari manusia adalah sebuah pertanyaan filosofis yang senantiasa hadir pada setiap manusia itu sendiri, yakni apa sesungguhnya manusia itu? Dari segi aspek apakah manusia itu mulia atau terhina? Dan apa tolak ukurnya? Tentu manusia bukanlah makhluk unik dan sulit untuk dipahami bila yang ingin dibicarakan berkenaan dengan aspek basyariah (fisiologis)nya. Karena cukup dengan menpelajari anatomi tubuhnya kita dapat mengetahui bentuk atau struktur terdalamnya. Tetapi manusia selain merupakan makhluk basyariah (dimensi fisiologis) dan Annaas (dimensi sosiologis) ia juga memiliki aspek insan (dimensi psikologis) sebuah dimensi lain dari diri manusia yang paling sublim serta memiliki kecenderungan yang paling kompleks. Dimensi yang disebut terakhir ini bersifat spritual dan intelektual dan tidak bersifat material sebagaimana merupakan kecenderungan aspek basyarnya.
Dari aspek inilah nilai dan derajat manusia ditentukan dengan kata lain manusia dinilai dan dipandang mulia atau hina tidak berdasarkan aspek basyar (fisiologis). Sebagai contoh cacat fisik tidaklah dapat dijadikan tolak ukur apakah manusia itu hina dan tidak mulia tetapi dari aspek insanlah seperti pengetahuan, moral dan mentallah manusia dinilai dan dipahami sebagai makhluk mulia atau hina.
Dalam beberapa kebudayaan dan agama manusia dipandang sebagai makhluk mulia dengan tolak ukurnya bahwa manusia merupakan pusat tata surya. Pandangan ini didasarkan pada pandangan Plotimius bahwa bumi merupakan pusat seluruh tata surya.seluruh benda-benda langit ‘berhikmat’ bergerak mengitari bumi. Mengapa demikian? Karena di situ makhluk mulia bernama manusia bercokol. Jadi pandangan ini menjadikan kitaran benda-benda langit mengelilingi bumi sebagai tolak ukur kemulian manusia. Namun seiring dengan kemajuan sains pandangan ini kemudian ditinggalkan dengan tidak menyisakan nilai mulia pada manusia. Para ahli astronomi justru membuktikan hal sebaliknya bahwa bumi bukanlah pusat tata surya tetapi matahari.
Manusia tidak lagi dipandang sebagai makhluk mulia bahkan dianggap tak ada bedanya dengan binatang adapun geraknya tak ada bedanya dengan mesin yang bergerak secara mekanistis. Bahkan lebih dari itu dianggap tak ada bedanya dengan materi, ada pun jiwa bagaikan energi yang di keluarkan oleh batu bara. Karena itu wajar bila manusia dan nilai-nilai kemanusiaan tak lagi dihargai. Maka datanglah kaum humanisme berupaya mengangkat harkat manusia, dengan memandang bahwa kekuatan, kekuasaan, kekayaan, pengetahuan ilmiah dan kebebasan merupakan hal esensial yang membedakan manusia dengan selainnya.
Tetapi bila itu tolak ukurnya, lantas haruskah orang seperti Fira’un atau Jengis Khan yang dapat melakukan apa saja terhadap bangsa-bangsa yang dijajahnya dipandang mulia? Jika berilmu pengetahuan merupakan tolak ukurnya. Lantas, apakah dengan demikian orang-orang seperti Einstein yang paling berilmu tinggi abad 20 atau para sarjana-sarjana itu lebih mulia dari seorang Paulus Yohanes paus II, ibu Tereisa atau Mahadma Ghandi bagi ummatnya masing-masing? Sungguh semua itu termasuk ilmu pengetahuan – sepanjang peradaban kemanusiaan manusia – tidak mampu mengubah dan memperbaiki watak jahat manusia untuk kemudian mengangkatnya menjadi mulia. Lantas, apa sesunguhnya tolak ukur kemanusian itu? Sungguh dari seluruh bentuk-btik, sosial dan spritual individu dan masyarakat). Maka itu berarti bahwa pada proses kejadian fenomena alam, panas dapat membuat air menjadi beku dan sekaligus mendidih. Berbuat baik akan mendapat surga dan sekaligus neraka, atau pujian sekaligus cacian. Bila demikian adanya maka yang terjadi adalah disatu sisi akan terjadi kehancuran pada alam, individu dan masyarakat, disisi lain memustahilkan adanya pengetahuan pasti tentang mengininkan mendidih atau beku, surga atau neraka dan karenanya pula meniscayakan mustahilnya ikhtiar.
Artinya ikhtiar itu menjadi berarti hanya bila pada realitas terdapat hukum-hukum yang pasti (takdir) atau dengan kata lain ikhtiar pada awalnya berupa potensial dan ia menjadi aktual bila terdapat adanya dan diketahuinya takdir tersebut. Karena itu pula dapat dikatakan tanpa takdir tidak ada ikhtiar.
Sebaliknya ketiadaan potensi ikhtiar pada manusia meniscayakan takdir menjadi tidak bermakna/berlaku. Bagi orang-orang gila dan yang belum baligh (bayi) tidak dapat memanfaatkan hukum-hukum penciptaan untuk membuat suatu teknologi apapun. Bagi mereka hukum-hukum syariat tak diberlakukan. Dengan demikian takdir ilahi itu sendiri mengharuskan adanya iktiar bagi manusia agar dengan begitu takdir-takdir pada alam dapat dipergunakan, dimanfaatkan atau secara umum dapat dikatakan bahwa keadilan Ilahi sebagai keharusan universal itu sendiri meniscayakan adanya ikhtiar dan takdir. Tanpa ikhtiar maka takdirpun tidak bermanfaat dan tidak berlaku, sebaliknya tanpa takdir meniscayakan ketiadaan ikhtiar pada manusia, tiada ikhtiar meniscayakan ketiadaan kebebasan dan ketiadaan kebebasan memustahilkan terwujudnya kemerdekaan.
Kebebasan dan kemerdekaan tidaklah bermakna sama. Kemerdekaan tidak dipredikatkan kepada binatang kecuali pada manusia tetapi sebaliknya manusia dan binatang dapat dipredikatkan bebas atau mendapatkan kebebasan. Kebebasan pada manusia mesti bukanlah sebagai tujuan akhir bagi manusia. Sebab bila kebebasan merupakan sebagai tujuan akhir maka kebebasan menjadi deterministik itu sendiri, dalam arti bahwa ia tidak lagi berbeda dengan sebuah ranting ditengah lautan yang bergerak kekiri dan kekanan dikarenakan arus dan bukan berdasarkan pilihannya. Kebebasan hanya merupakan syarat (mesti) awal dalam menggapai cita-cita ideal (Kesempurnaan Tuhan) sebagai tujuan akhir dan inilah yang dimaksud dengan kemerdekaan.
Kebebasan individu bukan berarti kebebasan mutlak yang mana kebebasannya hanya dibatasi oleh kebebasan orang atau individu yang lain. Sebab defenisi kebebasan itu tersebut adalah sistem etik yang hanya menguntungkan orang - orang kuat dan mendeskreditkan orang-orang lemah. Ini karena bagi orang kuat kebebasannya itu sendiri telah dapat membungkam orang-orang lemah, dengan kata lain eksisten orang-orang lemah tidak memiliki daya untuk membatasi kebebasan orang kuat. Sistem ini hanya berlaku bagi individu-individu yang sama-sama memiliki kekuatan. Atau kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain karena kebebasan orang lain tersebut lebih kuat.
Sesungguhnya kebebasan individu tidaklah demikian. Kebebasan individu berarti bahwa secara sosial dalam interaksinya dengan orang lain ia tidak berada pada posisi tertindas dan secera spiritual ia tidak berada dalam posisi menindas. Kebebasan bukan berarti memanfaatkan kekuatan dan kekuasaan dalam melakukan apa saja tetapi dalam arti kemampuan untuk tidak memanfaatkan kekuatan dan kekuasaan (menahan diri) untuk membalas menindas ketika ia berada pada posisi memiliki kesempatan untuk itu, dan ini adalah satu pengertian kemerdekaan manusia dan keharusan universal.

BAB VI: INDIVIDU DAN MASYARAKAT

Salah satu sifat khas manusia sebagai makhluk dan karenanya ia berbeda dengan binatang adalah bahwa ia merupakan makhluk yang diciptakan selain sebagai makluk berjiwa individual, bermasyarakat merupakan kecenderungan alamiah dari jiwanya yang paling sublim. Kedua aspek ini mesti dipahami dan di letakkan pada porsinya masing-masing secara terkait. Sebab yang pertama melahirkan perbedaan dan yang kedua melahirkan kesatuan. Karena itu mencabut salah satunya dari manusia itu berarti membunuh kemanusiaananya. Dengan kata lain bahwa perbedaan-perbedaan (bukan pembedaan-pembedaan) yang terjadi di antara setiap individu-individu (sebagai identitas dari jiwa individual) merupakan prinsip kemestian bagi terbentuknya masyarakat dan dinamikanya. Sebab bila sebuah masyarakat, individu-individu haruslah memiliki kesamaan, maka ini berarti dinamisasi, dalam arti, saling membutuhkan pastilah tak terjadi dan karenanya makna masyarakat menjadi kehilangan konsep. Di sisi lain dengan adanya perbedaan-perbedaan di antara para individu meniscayakan adanya saling membutuhkan, memberi dan kenal-mengenal dan karena itu konsep kemanusiaan memiliki makna.
Di sisi lain kecenderungan manusia untuk hidup bermasyarakat merupakan kecenderungan yang bersifat fitri. Ia tidak bedanya hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan yang berkeinginan secara fitri untuk membentuk sebuah keluarga. Jadi Ia membentuk masyarakat karena adanya hubungan individu-individu yang terkait secara fitrah dan alamiah untuk membentuk sebuah komunitas besar. Bukan terbentuk berdasarkan sebuah keterpaksaan, sebagimana beberapa individu berkumpul dikarenakan adanya serangan dari luar. Bukan juga bedasarkan proses kesadaran sebagai langka terbaik dalam memperlancarkan keinginan bersama, sebagaimana sejumlah individu berkumpul dan sepakat bekerja sama sebagai langka terbaik dalam mencapai tujuannya masing-masing. Karena itu masyarakat didefenisikan sebagai adanya kumpulan-kumpulan dari beberapa individu-individu secara fitri maupun suka dan duka dalam mencapai tujuan dan cita-cita bersama adalah membetuk apa yang kita sebut sebagai masyarakat. Kumpulan dari sejumlah individu adalah “badan” masyarakat ada pun kesepakatan atau tidak dalam mencapai cita-cita dan tujuan idealnya adalah merupakan “jiwa” masyarakatnya. Karena itu selain bumi (daerah/tempat tinggal) dan sistem sosial (ikatan psikologis antara individu-individu), individu merupakan salah satu unsur terbentuknya sebuah masyarakat. Tanpa manusia (individu) maka masyarakat pun tidak ada.
Masyarakat itu sendiri merupakan senyawa sejati, sebagaiman senyawa alamiah. Yang disentesiskan di sini adalah jiwa, pikiran, cita-cita serta hasrat. Jadi yang bersintesis adalah bersifat kebudayaan. Jadi, individu dan masyarakat memiliki eksistensi (kemerdekaan) masing-masing dan memiliki kemampuan mempengaruhi yang lain. Bukan kefisikan. Walaupun begitu eksistensi individu dalam kaitannya terhadap masyarakat mendahului eksistensi masyarakat. Memandang bahwa eksistensi masyarakat mendahului individu berati kebebasan dan kemanusiaannya telah dicabut dari manusia (individu) itu sendiri.
Walaupun manusia memiliki kualitas-kualitas kesucian, potensi tersebut dapat saja tidak teraktual secara sempurna dikarenakan adanya kekuatan lain dalam diri manusia berupa hawa nafsu yang dapat saja merugikan orang lain dan diri sendiri. Sebab hawa nafsu ini mulai teraktual di kala interaksi antara individu dengan individu lain dalam kaitannya dengan bumi (sumber harta benda). Bahkan keserakahan ini dapat saja berkembang dalam bentuk yang lebih besar, sebagaimana sebuah bangsa menjajah bangsa lain. Fenomena ini dapat mengancam kehidupan manusia dan kelestarian alam. Dengan demikian, pertanggung-jawaban ini bagi setiap individu, selain bersifat individual juga bersifat kolektif. Ini karena, pertanggung-jawaban individual terjadi ketika sebuah perbuatan memiliki dua dimensi, yaitu: si pelaku (sebab aktif) dan sasaran yang disiapkan oleh pelaku (sebab akhir). Apabila dalam perbuatan tersebut terdapat dimensi ketiga, yaitu sarana atau peluang yang berikan untuk terjadinya perbuatan tersebut dan lingkup pengaruhnya (sebab material), maka tindakan tersebut menjadi tindakan kolektif. Jadi Masyarakat adalah pihak yang memberikan landasan bagi tindakan kolektif dan membentuk sebab material. Ini berarti, individu memiliki andil besar dalam mengubah wajah bumi atau mengarahkan perjalanan sebuah masyarakat kearah yang sempurna atau kehancuran.
Tidak ada jalan lain bahwa untuk menghadapi ancaman-ancaman ini, manusia memerlukan adanya sebuah sistem sosial yang adil yang memiliki nilai sakralitas dan kesucian dan berdasarkan tauhid (Ketuhanan Yang Maha Esa). Mengajarkan sebuah pandangan dunia bahwa segala sesuatu milik Tuhan. Dihadapan Tuhan tidak ada kepemilikan manusia, kecuali apa yang dititipkan dan diamanahkan kepadanya untuk mengatur dan mendistribusikan secara adil. Kesadaran akan sakralitas dan kesucian sistem tersebut memberikan implikasi kehambaan terhadap Tuhan. Berdasarkan kesadaran dan pertimbangan seperti itu maka interaksi antara individu dengan individu lainnya dalam hubungannya terhadap alam akan berubah dari watak hubungan antara tuan/raja dan budak menjadi hubungan antara hamba Tuhan dengan hamba Tuhan yang lain dengan mengambil tugas dan peran masing-masing berdasarkan kapasitas-kapasitas yang diberikan dalam menjaga, mengurus, mengembangkan, mengelolah, mendistribusikan dan lain-lain. Karena itu berdasarkan fitrah/ruh Allah seorang manusia (individu) diciptakan dan ditugaskan sebagai khalifah/nabi/rosul (wakil/ utusan Tuhan) oleh Allah di muka bumi (QS.2:30) untuk memakmurkan bumi dan membangun dan masyarakatnya untuk mewujudkan sistem sosial.

BAB VII: KEADILAN SOSIAL DAN KEADILAN EKONOMI

Keadilan menjadi sebuah konsep abstrak yang sering diartikan secara berbeda oleh setiap orang utamnya mereka - mereka yang pernah mengalami suatu ketidakadilan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini menuntut secara tegas perlu dilakukan redefenisi terhadap apa yang dimaksud dengan keadilan.
Bila keadilan diartikan sebagai tercipta suatu keseimbangan dan persamaan yang proporsional maka pemecahan permasalahan keadilan sosial dan ekonomi hanya dapat teratasi dengan menemukan jawaban terhadap sebab - sebab terjadinya ketidak adilan sosial dan ekonomi serta bagaimana agar dalam distribusi kekayaan dapat terbagi secara adil sehingga terhindar dari terjadinya diskriminasi dan pengutuban, atau kelas dalam masyarakat.
Jelas terlihat dari problem yang dihadapi bahwa kasus keadilan sosial dan ekonomi bukanlah merupakan wilayah garapan ilmu ilmiah (positif). Karena masalah keadilan bukanlah fenomena empiris yang dapat diukur secara kuantitatif. Namun ia merupakan konsep abstrak yang berkenaan dengan aspek kebijakan-kebijakan praksis, karena itu ia merupakan garapan filosofis dan bersifat ideologis. Itulah sebabnya mengapa dalam menjawab masalah diatas setiap orang atau kelompok memiliki jawaban dan konsep yang berbeda sesuai dengan ideologi, kandungan batinnya serta kapasitas pengetahuannya.
Kapitalisme sesuai dengan konsepnya tentang manusia yang berkenaan dengan karakter dasar dan tujuan akhir manusia yaitu bahwa manusia pada dasarnya bersifat baik dan lemah, cenderung meyakini bahwa penyebab terjadinya diskriminasi serta tidak terjadinya distribusi kekayaan secara tidak adil dikarenakan dipasungnya kebebasan individu oleh baik masyarakat, pemerintah, individu lain disatu sisi dan di sisi lain tidak adanya aturan-aturan yang menjamin kepentingan-kepentingan individu. Berdasarkan ini upaya menciptakan keadilan sosial maupun ekonomi bisa terwujud hanya dengan cara memberikan kebebasan secara mutlak, yakni kesempatan ekonomi yang seluas-luasnya kepada setiap individu dimana kebebasannya hanya dibatasi oleh kebebasan orang lain, meskipun kebebasan ini justru dapat menyebabkan perbedaan pendapatan dan kekayaan individu (dengan asumsi bahwa orang menggunakan kebebasannya secara sama dalam sistem kapitalis).
Sebaliknya sosialisme yang didasarkan pada konsepnya tentang manusia dan pandangan hidupnya yang melihat bahwa penyebab terjadinya diskriminasi sosial dan ekonomi sehingga terciptanya kelas - kelas dalam masyarakat dimana yang satu semakin miskin dan yang lain semakin kaya dikarenakan adanya kekuatan yang menghambat proses berubahnya kesadaran kolektif dari kesadaran kesadaran kepemilikan pribadi ke kepemilikan sosial (bersama). Karena itu untuk menciptakan keadilan sosial dan ekonomi, maka tidak ada cara lain kecuali diperlukan suatu sistem sosial yang berfungsi mengatur atau manyak, QS.72:16).
Artinya menurut Islam bahwa prinsip dari hubungan khusus antara bertindak sesuai dengan perintah-peritah Tuhan di satu sisi dengan kemakmuran disisi lain atau dalam bahasa modernnya, hubungan antara distribusi yang adil dengan peningkatan produksi, yakni bahwa tidak akan terjadi kekurangan produksi dan kemiskinan bila distribusi yang adil dilaksanakan. Dengan kata lain distribusi yang adil akan mendongkrak kekayaan dan meningkatkan kemakmuran sebagai bukti “berkat dari langit dan bumi” telah tercurahkan.
Dengan persfektif yang demikian inilah selanjutnya akan melahirkan kesadaran kemanusiaan yang tinggi sebagai bentuk manifestasi dari pengabdian serta kecintaan kita kepada Allah SWT.
Disamping itu, guna menegakkan nilai keadilan sosial dan ekonomi dalam tataran praktis diperlukan kecakapan yang cukup. Orang-orang yang memiliki kualitas inilah yang layak memimpin masyarakat. Memimpin adalah menegakkan keadilan, menjaga agar setiap orang memperoleh hak asasinya dan dalam jangka waktu yang sama menghormati kemerdekaan orang lain dan martabat kemanusiaannya sebagai manifestasi kesadarannya akan tanggung jawab sosial. Lebih jauh lagi, negara dan pemerintah sebagai bentuk yang terkandung didalamnya adalah untuk menciptakan masyarakat yang berkeadilan, baik berupa keadilan sosial maupun keadilan ekonomi. Dan hanya setelah terpenuhinya pra-syarat inilah negara ideal sebagai dicita-citakan bersama (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur) dapat diwujudkan.
Tidak diragukan lagi dari kajian yang konprehensif dan holistik dapat mengantar kita pada satu kebenaran rasional ideologi (syariat) Islam yang telah mengajarkan akan persaudaraan, keadilan dan kesamaan hak untuk diamalkan oleh setiap kaum muslimin khususnya, sampai kepada sektor-sektor produksi sosio-ekonomi dan pembagian kekayaan. Atau hukum-hukum yang lebih bersifat spesifik menyangkut hal-hal yang memerlukan rincian, seperti pemanfaatan lahan pertanian, penggalian mineral, sewa-menyewa, bunga, zakat, khumus (yakni mengeluarkan 20-30% dari keuntungan bersih) dan pembelanjaan umum dan lain sebagainya yang dikelola langsung oleh negara, atau lembaga sosial di bawah kontrol masyarakat dan negara yang berlandaskan pada prinsif-prinsif keadilan.



BAB VIII: SAINS ISLAM
Sains dalam sejarah perkembangan seringkali dinaturalisasikan sebagai sebuah upaya pencocokan terhadap nilai-nilai budaya, agama atau pandangan - pandangan tertentu suatu masyarakat. Asimilasi dan akulturasi inilah yang kemudian menjadi bentuk baru (khas) sebuah peradaban, rasionalisme di yunani dan positivisme di Eropa adalah contoh-contahnya.
Naturalisasi terhadap sains itu sendiri dilakukan sebab sains diakui memiliki kekuatan yang ambigu. Disatu sisi ia dapat mengembangkan suatu masyarakat karena kemampuannya mengatasi masalah-masalah praktis dan prakmatis manusia serta kemampuannya yang dapat merubah konstruk berfikir manusia itu sendiri sehingga membawa mereka ke arah peradaban baru yang lebih maju, disisi lain dengan kemampuan yang sama, ia juga memiliki sifat destruktif untuk menghancurkan atau merombak nilai-nilai budaya, agama maupun spiritualitas suatu masyarakat.
Positivisme misalnya merupakan hasil sebuah naturalisasi sains didunia masyarakat Eropa dan telah dipandang sebagai kebenaran. Sains ini (positivisme) adalah sebuah sains yang memiliki watak atau karakter yang bersifat materealistik yaitu sains yang menolak hal - hal yang bersifat metafisis, spiritual maupun mistis, karenanya dalam karakternya yang demikian sains ini dapat menghancurkan atau melunturkan konsep-konsep teologi dan nilai - nilai keagamaan lainnya.
Sehingga bukanlah hal yang berlebihan bila beberapa pemikir muslim melakukan islamisasi sains terhadap sains-sains modern (sains positivisme) sebagai sebuah bentuk keseriusan mereka dalam menjawab hal ini dan sekaligus sebagai wujud dari naturalisasi sains didunia Islam, sehingga pengaruhnya yang negatif terhadap gagasan metafisis (Teologi dan Ekskatologi) dan nilai-nilai agama Islam lainnya dapat dihindari. Hasil dari upaya islamisasi sains inilah yang kita sebut sains islam.
Islamisasi sains atau sains Islam dapat dimulai dengan menggagas untuk meletakkan dasar bagi landasan epistimologinya yaitu dengan membuat klasifikasi ilmu pengetahuan berdasarkan basis ontologinya serta metodologinya yang sesuai dengan semangat (Spirit) Islam itu sendiri, yakni teologi (Tauhid), Ekskatologi (Ma’ad), serta Kenabiaan.
Islamisasi sains dengan pelabelan ayat-ayat Al-Qur’an atau hadits yang dipandang sesuai dengan penemuan sains mestilah dihindari, karena kebenaran-kebenaran al-Qur’an bersifat abadi dan universal, sementara kebenaran-kebenaran sains modern selain bersifat temporer dan hanya benar dalam lingkup ruang dan waktu tertentu, sains ini juga bersifat materealistik atau positivistik.
Pendekatan demikian akan mengalami jalan buntu dengan berubahnya teori-teori sebelumnya dengan ditemukannya teori-teori baru. Dengan demikian ayat-ayat yang tadinya dipandang relevan dengan teori-teori sebelumnya, alau menjadi dipertanyakan relevansinya.
Begitupula islamisasi sains tidak dengan upaya mendengungkan ayat-ayat al-Qur’an tentang kewajiban berilmu pengetahuan ke telinga generasi muslim. Hal ini karena upaya tersebut berkaitan dengan sumberdaya manusia (SDM) muslim yang mayoritas telah atau akan berkembangg tidak sesuai dengan sains islam.
Namun pendekatan yang mesti dilakukan adalah dengan membuat klasifikasi ilmu pengetahuan dengan menetapkan status dan basis ontologinya, sebab ia merupakan basis bagi sebuah epistimologi. Perbedaan dalam menetapkan status ontologis meniscayakan perbedaan pada status epistimologi berikut metodologinya. Perbedaan ini dapat terlihat pada epistimologi modern dengan epistimologi yang telah dicanangkan oleh para filosof muslim yang telah ditinggalkan oleh mayoritas kaum muslim itu sendiri.
Epistimologi barat berbasis pada status ontologi materealistik dan menolak adanya realitas (ontologi) metafisis. Epistimologi ini hanya memusatkan perhatiannya pada objek fisik.
Adapun sains islam bukan hanya berbasis kepada status ontologis alam materi (objek-objek fisika) tetapi lebih dari itu ia tetapkan pula bahwa selain status ontologi alam materi terdapat pula objek ontologi alam mitsal (objek-objek matematika) dan objek ontologi alam akal (objek-objek metafisika).
Berdasarkan klasifikasi sains seperti ini, sains Islam menawarkan beberapa metodologi ilmiahnya sesuai dengan status ontologinya, yaitu; intuisi dan penyatuan jiwa (metode kaum irfan), untuk mengetahui objek-objek nonmateri murni atau objek-objek metafisika dengan cara langsung, deduksi rasional untuk mengetahui objek metafisika secara tidak langsung maupun objek-objek matematika dan Induksi (Observasi dan eksperimen) untuk mengetahui objek-objek fisika.
Sains metafisika mengkaji objek-objek atau wujud yang secara niscaya bersifat nonmateri murni yang tidak dipengaruhi oleh materi dan gerak. Seperti Teologi, Kosmologi, Ekskatologi.
Sains matematika mengkaji objek-objek atau wujud yang meskipun bersifat nonmaterial namun berhubungan dengan materi dan gerak. Seperti aretimetika, geometri, optika, astronomi, astrologi, musik, ilmu tentang gaya, keteknikan dan lain sebagainya.
Sains fisika mengkaji objek-objek atau wujud yang secara niscaya terkait dengan materi dan gerak. Seperti unsur-unsur (atom-atom), mineral, tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia (secara fisik).
Dalam klasifikasi sains islam karena status objek-objek metafisika merupakan realitas ontologis yang berada dipuncak (yang paling tertinggi) yang menjadi sebab segala sesuatu dibawahnya, dimana objek-objek fisika merupakan objek realitas terbawah dan terendah dari hirarki objek ontologi, maka secara berturut-turut sains metafisika merupakan sains tertinggi dan sains fisika merupakan sains terendah setelah sains matematika.

http://img1.blogblog.com/img/icon18_email.gif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar