ANALSIS WACANA KRITIS
Pengertian
Analisa adalah pengematan terhadap sesuatu objek dengan
menggunakan kerangka berbikir yang rasional.
Analisis bersifat menganlisa yang merupakan kata kerja
aktif.
Wacana adalah suatu objek masalah yang merupakan bahan
deskripsi (pembicaraan), baik berupa objek social, budayaan, ekonomi, dan
politik, maupun hal – hal yang berhubungan dengan khalayak banyak (masyarakat).
Perbedaan antara Wacana dan Gosip.
Wacana menyangkut khalayak banyak sedang Gosip bersifat
parsial.
Wacana realita yang terjadi sedang Gosip belum tentu
realita.
Wacana melalui kerangka berfikir rasional sedang Gosip
melalu kerangka berfikir asal-asalan. dll
Untuk dapat menganalisa dengan benar kita harus terlebih
dahulu mengerti dan terhidar terhadap kesalahan-kesalahan berfikir
(intellectual cul-de-sac).
Secara umum intellectual cul-de-sac terbagi atas:
1. Fallacy of Dramatic Instance. Kesalahan berfikir ini
berawal dari kecenderungan orang untuk melakukan apa yang dikenal dengan over
generalization. Yaitu, mengambil kesimpulan dari satu dua kasus untuk mengambil
sebuah kesimpulan yang bersifat general atau umum.
2. Fallacy of Retrospective Determinism. Hal ini merupakan
konsep pemikiran dari kaum jabaria atau yang lebih dikenal dengan kaum
determinis, dimana menganggap segala sesuatu yang ada pada saat ini merupakan
suatu hal yang secara histories memang selalua ada, merupakan takdir yang tidak
bias dihindari, dan merupakan akibat dari sejarah yang cukup panjang.
Determinism selalu saja lebih memperhitungkan masa lalu ketimbang masa
mendatang.
3. Post Hoc Ergo Propter Hoc. Istilah ini yang bersal dari
bahasa latin: post artinya sesudah; hoc artinya demikian; ergo artinya karena
itu; propter artinya disebabkan; dan hoc artinya demikian. Singkatnya: sesudah
itu- karena itu- oleh sebab itu.
4. Fallacy of Misplaced Concretness. Misplaced berarti salah
letak. Concretness artinya kekonkretan. Jadi, kesalahan berpikir ini muncul
karena kita mengkonkretkan sesuatu yang pada hakikatnya abstrak. Misalanya,
mengapa orang islam secara ekonomi dan politik lemah? Mengapa kita tidak bias
menjalankan syariat Islam dengan baik? Lalu ada orang menjawab: “Kita hancur
karena kita berada pada satu system jahiliyah. Kita hancur karena ada thaghut
yang berkuasa. “Tetapi, system jahiliyah dan thaghut itu adalah dua hal yang
abstarak. Sehingga jika jawabanya seperti itu, lalu apa yang bisa kita lakukan?
Kita harus mengubah system! Tetapi, “ siapa “ system itu? Sistem yang abstrak
itu kita pandang sebagai suatu yang konkret.
5. Argumentum ad Verecundiam. Berargumentasi dengan
menggunakan otoritas tertentu, walaupun otoritas itu tidak relevan atau ambigu.
Seorang dosen menggunakan otoritasnyanya guna mendotrin maba untuk tidak terlibat
organisais kemahasiswaan bahwa organisais kemahaswaan itu tidak penting karena
kita tidak digaji hanya mencari cape saja, dalam artian orang yang percaya
dengan argumentasi dosen tersebut karena yang menyampaikan argumentasi itu
adalah dosen pasti benar, maka orang tersebut telah terjebak dengan kesalahan
berfikir argumentum ad verecundiam.
6. Circular Reasoning. Circular Reasoning artinya pemikiran
yang berputar-putar; menggunakan konklusi (kesimpulan) untuk mendukung asumsi
yang digunakan lagi untuk menuju konklusi semula.
Tehnik-tehnik dalam menganalisa.
1. Dengan analisis 5W+H
a. What = apa
b. When = kapan
c. Where = dimana
d. Why = mengapa
e. Who = siapa
f. How = bagaimana
2. Dengan analisis SWOT
a. Strong = Kekuatan
b. Weakness = Kelemahan
c. Opportunity = Hambatan/Ancaman
d. T = Peluang
3. Dengan Brain Storming
a. Apa realitas yang terjadi.
b. Kumpulkan data/fakta sebanyak-banyaknya.
c. Apa/Bagaimana solusinya.
4. Dengan scenario Building
a. Apa-apa yang harus dilakukan Sebelum terjadi.
b. Apa-apa yang harus dilakukan Sesudah terjadi.
MATERI ANALISA WACANA
“ Tiada ilmu lebih baik dari hasil tafakkur “
( Ali bin Abi Thalib , Nahjul Balaghah )
DASAR FALSAFAH
Esensi paling orisinil seorang makhluk adalah kamampuan
berpikirnya. Bahkan sejak ia lahir, misal menangis sekalipun tidak lain adalah
bentuk-bentuk aktifitas kesadaran berpikir, yang memang meskipun masih dalam
tingkatan rendah. Tugas manusia atau makhluk apapun di dunia ini, yakni menjaga
sisi-sisi fitrawi kita sebagai makhluk yang berpikir. Al-insan al-hayawan an-
natiq. Orang yang sengaja tidak menjaga potensi fitrawinya ditulis dalam
Alqur’an sebagai seekor binatang yang buruk bahkan lebih buruk dari itu,
disebabkan mereka tidak menggunakan mata mereka untuk mengamati, hati untuk
meresa, telinga untuk mendengar singkatnya mereka tidak menggunakan akal mereka
Menurut Arkoun dalam kajian pemikiran kita biasanya terbagi
menjadi dua ; Wilayah thinkable (seseuatu yang bisa dan biasa dipikirkan) dan
Wilayah Unthinkable (sesuatu yang tidak biasa kita pikirkan). Pada point
terakhir, mungkin kita merasa takut atau merasa asing atau bahkan kita siap
memasang kuda-kuda terhadap apapun yang tidak biasa kita pikirkan. Kita
cenderung menutup diri atau menghindar terhadap semua hal yang ‘diluar’
pemikiran kita. Salah satu ciri apatisme di wilayah unthinkable adalah
tiba-tiba dalam diri muncul sikap fanatik dan tidak empati pada sesuatu yang
dianggap baru tersebut.
Keyakinan seseorang muncul dari hasil tafakkur. Tafakkur
terjadi ketika kita merasa ragu terhadap suatu hal lalu mencoba melakukan
verifikasi. Verifikasi digunakan sebagai alat memilah-milah kebenaran dan
kesalahan, kemudian kita menghadapi problem alat verifikasi seperti apa yang
menjamin kebenaran ini ..? Siapa yang menjamin bahwa alat verifikasi ini benar
adanya..? lalu bukankah alat verifikasi ini masih membutuhkan verifikasi lain
yang menunjang kebenarannya…?. Jadilah petualangan intelektual kita semakin
asyik dan sedikit membingungkan. Dengan kata lain, keyakinan itu didapat dulu
dari dari keraguan. Jawaban diperoleh dari berbagai pertanyaan dan ketetapan
itu diperoleh dari kebimbangan.
Pertanyaan mendasarnya adalah Kita mulai dari mana ? ….
Sebenarnya kita dapat memulainya kapan saja dan dari mana saja kita maui, yang
jelas harus ada niat tulus dalam hati untuk tidak membidas keraguan. Kita tidak
perlu merasa malu untuk bertanya, tak perlu takut akan suatu aliran sesat ini
atau itu atau membaca “buku-buku asing“ yang menghasut dan dianggap tidak
sesuai dengan tradisi pemikiran kita. Kita tidak perlu mengeluarkan energi
terlalu banyak pada rasa takut biarlah sejarah dan logika yang mengukuhkanya.
Karena hakikat kebenaran adalah proses mencari bukan sesuatu
yang final. Kebenaran Mutlak-Abstrak hanyalah milik Allah SWT, oleh karenanya
muncul multi interpretasi. Tugas kita mencari jejak-jejak petunjuk yang
datangnya dari Allah SWT. Komitmen tauhid yang kita miliki mengharuskan untuk
bebas melakukan uji coba dan meragukan ala Cogito-an. Mungkin disinilah hidup
ini jadi lebih bersemangat.
KORELASI DENGAN MAHASISWA
Menyandang status kemahasiswaan tidaklah mudah. Sebab ketika
status mahasiswa ada dalam diri kita maka secara otomatis melekat padanya
label-label. Label-label dapat diartikan serangkaian penamaan, atribut, gagasan
dan identitas diri yang inheren dalam suatu individu. Tanpa memiliki label,
eksistensi makhluk akan hilang arahnya.
Seorang mahasiswa yang sadar akan tugasnya, Dia tak akan
menyia-nyiakan waktu dan umurnya. Setiap aktivitas intelektual yang ia kerjakan
pastilah bisa membawa pengaruh baik bagi dirinya lebih-lebih bagi masyarakat
nantinya. Sebab bagi mahasiswa, perubahan zaman harus direspon. Tidak bisa
ditolak ataupun direkayasa. Terlepas apakah zaman itu, menurutnya, menuju pada
perbaikan, lebih-lebih kemunduran….
ANALISA WACANA BARAT :
Barat disatu sisi adalah tantangan kita. Realitas barat
bertentangan dengan realitas kontemporer kita. Teori-teori Barat melalui
methode rethorisme dan kesombongan ilmiahnya tidak ada relevansinya dengan
kebutuhan kita.
Barat adalah simbol kemajuan peradaban yang
sekularis-materialis. Suatu simbolteknologis –saintifik yang tercerabut dari
akar-akar spiritualitas. Jiwa mereka terpecah-pecah (an-Nafs al- Mujarrad)
karena mereka menghilangkan peranan agama dalam kehidupan.
Setiap kali mereka berbicara, dengan sepihak, menamakan diri
sebagai entitas peradaban maju. Superioritasnya selalu menyertai setiap sisi
kehidupan kita dan kenyataan ini semakin diperparah dari sebagian kita yang
membantu internasionalisasi peradaban Barat, kita secara tidak langsung turut
mempopulerkan Barat lewat pola kehidupan kita sehari-hari
ANALISA WACANA TRADISIONAL
Di sisi lain, kita juga mewarisi Agama dalam bentuk
paket-paket tradisi lama. Bahkan semua paket-paket siap pakai, tinggal membuka
dan mengkonsumsinya saja. Didalam paket-paket itu kerapkali di kemas dengan
mitos-mitos menipu.
Tradisi yang dimaksudkan disini adalah warisan nenek moyang
kita. Suatu bentuk kehidupan dan pemahaman yang rigid-jumud, penuh dengan
tindak-tindak irrasionalitas dan kadang kekerasan.
Kita cukup sulit menentukan sikap frontal karena warrisan
semacam ini sudah berbentuk lembaga-lembaga masyarakat dan di topang oleh para
penjaga-penjaga tradisi yang siap pedang ditangan. Akibatnya Warisan leluhur
kita nyaris tanpa sikap kritik dan tidak peduli terhadap realitas kekinian.
Meskipun begitu, ada segelintir manusia yang sadar kedua
pola itu. Mereka mengelompok sendiri-sendiri, berdiri ditengah-tengah antara
dua kutub modernitas Barat dan tradisi masa lalu.
Bagi mereka, berpihak pada salah satu kutub dan membela
pemikiran mereka bukanlah cara yang tepat untuk memecahkan masalah mendasar
umat. Mereka di sebut ‘ Rausyan Fikr ‘ mereka membuat langkah-langkah raksasa
yang cepat kedepan.
Saat orang ditanya, apa ideologi anda ? Mungkin anda
menjawab ; Ideologi saya tidak Barat dan tidak Timur. Tengah-tengah saja.
Ideologi saya liberalisme Atau ada yang menjawab ; Ideologi saya Alquran dan al
Hadits. Pada jawaban seperti ini tidak bisa menyadarkan anda, menumbuhkan ide-ide
kritis dan pada akhirnya belum dapat mengerakkan masyarakat. Perlu penafsiran
filosofis tentangnya dari segi epistemologi dan aksiologis
ANALISIS WACANA
ANALISIS wacana muncul sebagai suatu pendekatan ilmu-ilmu
sosial sekurang-kurangnya dalam sepuluh tahun terakhir. Sampai tingkat
tertentu, dia merupakan penerapan praktis dari apa yang dikenal sebagai
epistemologi dalam studi filsafat. Pertanyaan yang diajukan bukanlah mengenai
apa yang sesungguhnya terjadi, melainkan justru mengenai bagaimana orang
memandang apa yang terjadi, dan mengapa pula dia memandang kejadian tersebut
dalam perspektif yang satu dan bukannya dalam perspektif lainnya.
Dalam arti itu, analisis wacana (discourse analysis) tidak
terlalu mempersoalkan apakah benar Dr. Syahril Sabirin, misalnya, telah
ditawari berbagai jabatan lain oleh Presiden Gus Dur kalau saja dia bersedia
mundur dari jabatannya sebagai Gubernur BI. Yang dipersoalkan adalah apakah
seorang presiden yang telah mengetahui kesalahan seorang pejabat tinggi (yang
menurut pertimbangan presiden merupakan alasan cukup untuk memecatnya) dapat
dan boleh menawarkan jabatan lain kepada pejabat tinggi tersebut sebagai
substitusi bagi pengunduran dirinya dari jabatannya. Taruhlah hal itu,
misalnya, dilakukan Presiden Gus Dur demi alasan kemanusiaan agar yang
bersangkutan jangan terlalu kehilangan muka, seorang analis wacana masih akan
tetap bertanya apakah tindakan menawarkan jabatan lain tersebut merupakan
tindakan yang dapat dibenarkan?
Apakah manusiawi kalau setiap orang yang telah melakukan
kejahatan tidak diberi hukuman yang pantas menurut hukum, tetapi dicoba
disembunyikan kesalahannya agar dia tidak kehilangan muka? Bukankah lebih
manusiawi menghukum seseorang yang bersalah, supaya kesalahan yang sama tidak
terulang pada pejabat lainnya dan masyarakat umum mendapat pegangan mengenai
apa yang dimaksud dengan clean government ?
Kalau logika itu diteruskan, pada akhirnya seorang pembunuh
tidak usah dihukum asal saja dia mengakui perbuatannya dan kemudian meminta
maaf. Pada titik itu, keadilan telah diabaikan karena yang menjadi perhatian
dan yang diselamatkan adalah pihak pembunuhnya, sedangkan pihak yang mengalami
pembunuhan itu sama sekali tidak dijamin haknya dan tidak dipulihkan
kerugiannya kecuali cuma dengan permintaan mitu semakin mudah diprovokasi dari
hari ke hari)? Mengapa mereka tidak diberi hak untuk sedikit berharap atas
perlindungan negara? Kebingungan kita rupanya sudah berkembang luas karena
wacana politik mengenai kasus Ambon ini tidak pernah diuji secara serius dalam
suatu analisis wacana.
Demikian pula persoalan hak interpelasi DPR dapat
ditempatkan dalam analisis wacana yang sama. Persoalannya bukanlah apakah DPR
dapat memakai hak tersebut atau tidak (karena hak tersebut dijamin oleh
undang-undang), melainkan apakah pencopotan dua orang menteri (Laksamana
Sukardi dan Jusuf Kalla) dapat menjadi alasan cukup bagi DPR untuk menggunakan
hak tersebut. Mengapa DPR tidak memakai hak tersebut untuk menanyakan kepada
pemerintah mengapa masalah Ambon menjadi demikian berlarut-larut dan tidak
dapat diatasi pada tingkat tertentu? Apakah yang akan dipersoalkan wewenang
presiden untuk memecat kedua menteri tersebut ataukah tingkat kelayakan alasan
presiden dalam memecat mereka?
Pertanyaan pertama bersifat formal-legal dan jawabannya
sudah jelas pula, yaitu hak prerogatif untuk memilih dan mengganti
menteri-menteri yang membantunya. Pertanyaan kedua menyangkut kebijakan
politik, yaitu mengapa gerangan presiden merasa perlu memakai hak prerogatif
tersebut, dan mengapa pula justru kedua menteri tersebut yang menjadi sasaran
hak prerogatifnya.
Dalam analisis wacana akan segera terlihat kecenderungan
dalam penggunaan hak interpelasi ini. Pertama, politisi kita ternyata lebih
peka terhadap persoalan yang menyangkut elite politik (dua orang menteri)
daripada persoalan yang menyangkut rakyat banyak (masyarakat Ambon). Kedua,
politisi kita ternyata lebih peka terhadap masalah politik yang menyangkut
anggota partai mereka daripada yang menyangkut kepentingan umum. Politik
Indonesia tetap saja elitis dan eksklusif dalam orientasinya, dan tiadanya
analisis wacana akan menyebabkan konstruksi elitis dari politik ini akan tetap
dilestarikan. Rakyat hanya menjadi bahagian dari suatu nomenklatur dalam bahasa
politik, tetapi praktis tersingkir dari wacana, sambil dibiarkan ditelan
bencana
KATA PENGANTAR
Nilai Dasar Perjuangan adalah sebuah landasan filosofis dan
ideologis sekaligus sebagai spirit perjuangan dari organisasi sehingga setiap
kader HMI harus mampu memahami nilai dasar perjuangan bukan hanya pada tataran
yang formal tapi juga secara substansial sehingga tidak ada kontradiksi pada
tataran konsep dan taktis melainkan sebuah keserasian antara landasan
konseptual yang diterjemahkan pada wilayah starategis dan kebijakan yang taktis
atau operasional.
Setiap generasi bertanggung jawab pada sejarah yang yang
menyertainya, dan progressifitas perubahan menjadi keniscayaan dari setiap
sejarah. Begitu halnya dengan sebuah organisasi ataupun suatu lembaga pasti
diwarnai dengan perubahan, dan organisasi yang tidak mampu mengikuti pola
perubahan yang terjadi pada zamannya, maka dia akan tertinggal jauh dan menjadi
organisasi yang terbelakang, sehingga wacana perubahan adalah identik dengan
parsialitas perubahan yang niscaya harus direspon. Tuntutan inilah yang
mendorong keterbukaan dan progresifitas, karena wacana yang anti kepada
perubahan adalah kejumudan, ketertutupan terhadap realitas yang mengalami
perubahan dan cenderung bersifat status quo dalam memapankan kekuasaan.
Bakornas LPL HMI dalam melihat wacana perubahan yang terjadi dalam spirit
organisasi perlu mengadakan sebuah perubahan dalam pengkaderan yang tentunya
berlandaskan dengan nilai-nilai yang ada dalam organisasi Himpunan Mahsiswa
Islam (HMI), maka dengan itu kami mencoba memfasilitasi kader-kader HMI yang
masih tetap eksis dalam dunia perkaderan untuk memformat ulang materi-materi
dalam Nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang menjadi rekomendasi kongres. Sebagai
langkah kongkrit maka kami dari Bakornas LPL HMI mengadakan semiloka Pendalaman
NDP di Mataram, yang kemudian menghasilkan draf materi dan pembentukan tim 8
untuk kemudian menggodok lebih lanjut materi NDP. Proses penyempurnaan draft
narasi yang menjadi kelanjutan forum di mataram selanjutnya digelarlah
pendalaman dan finalisasi penulisan draft NDP yang diadakan oleh Bakornas yang
bekerja sama dengan tim 8 di cabang Makasar Timur.
Dari hasil materi tersebut sepenuhnya nilai dasar perjuangan
HMI tidaklah mengalami perubahan yang radikal kecuali hanya beberapa tema yang
mengalami perubahan dan terdapat beberapa tema-tema tambahan khususnya materi
landasan dan kerangka Berpikir dan dasar-dasar kepercayaan. Materi ini dianggap
penting karena secara substansial materi ini dapat mengantarkan kita berpikir
induktif yang ukuran kebanaran hanya dalam batas yang material dan mengarahkan
kita kepada tidak meyakini hal-hal yang sifatnya metafisika dan hal itu
mengingkari landasan ideologis organisasi yang berbasis Islam. Dan materi
dasar-dasar kepercayaan yang selama ini bersifat dogmatis karena pembuktian
wujud melalui pemahaman teks yang justru membawa paradigma determenistik dan
jauh dari prinsip-prinsip rasionalitas. Olehnya itu terjadi pengayaan
pendekatan dalam membuktikan esensialitas ajaran islam secara logis dengan
pendekatan deduktif.
Adapun pengayaan lanjut dalam materi nilai dasar perjuangan
adalah pertama: Hakikat penciptaan dan eskatologi, materi ini mengurai tentang
hakikat penciptaan manusia dan pembuktian secara rasional akan adanya hari
kebangkitan dengan argumentasi yang logis dengan prinsip-prinsip yang rasional,
kedua: manusia dan nilai kemanusiaan, materi ini mengurai tentang manusia
sebagai khalifah dalam alam makrokosmos dilihat dari berbagai persfektip
tentunya dalam kaca mata Qur,an melihat manusia, apa ukuran manusia itu dikatakan
sempurna apakah dalam dimensi fisiologis atau dalam dimensi sprtitual,
Al-qur’an melihat bahwa ukuran kesempuraan terletak dalam dimensi spritualitas
bukan fisiologis seperti yang banyak diungkapkan oleh pemikir-pemikir barat
yang berbasis materialistik. Selanjutnya penjabaran meteri dari kemerdekaan
manusia dan keniscyaan universal, individu dan masyarakat, keadilan ekonomi dan
keadilan sosial dan sains islam mengalami perubahan pada materi yang secara
substansial adalah turunan dan penjabaran lebih jauh dari perubahan meteri dari
hakikat penciptaan dan eskatologi dan manusia dan nilai-nilai kemanusiaan, yang
tentunya dengan uraian materi yang saling terkait antara sub-sub bab
masing-masing dalam kerangka yang sistematis.
Pada kesempatan ini secara khusus Bakornas LPL HMI
mengucapkan terima kasih kepada Kanda Muhammad Anwar (Cak Konyak) selaku Kabid
PA PB HMI Priode 2003-2005 yang telah memberikan support penuh sehingga
terlaksananya penulisan pengayaan materi NDP ini. Selain itu kepada Badko HMI
Nusra dan HMI Cabang Makasar Timur yang telah memfasilitasi proses penulisan
teks NDP, serta pihak-pihak lain yang turut membantu proses pengayaan materi
NDP ini, semoga Allah SWT membalas dengan setimpal.
Demikianlah pengantar dari Bakonas LPL PB HMI, mudah-mudahan
kerja keras dan niat yang tulus ini mendapatkan Ridho dan Berkah-NYA serta
bermanfaat buat kader-keder HMI dalam menata lebih jauh format pengkaderan di
organisasi yang tercinta ini.
Yakin Usaha Sampai.
BAGAN ALUR KONSEP
NILAI-NILAI DASAR PERJUANGAN (NDP)
POKOK BAHASAN TIAP BAB NDP
1. LANDASAN DAN KERANGKA BERPIKIR
◘
Sumber Epistimologi
◘
Teori Pengetahuan
◘
Landasan Penilaian
◘
Metode Berfikir
2. DASAR-DASAR KEPERCAYAAN
◘
Dilema Kepercayaan
◘
Argumen Teologi
◘
Esensi Ajaran Islam ( Tauhid, Falsafah Kenabian, dan Falsafah Syariat)
3. HAKIKAT PENCIPTAAN DAN ESKATOLOGI
◘
Memahami Prinsip Kausalitas
◘
Hakikat Penciptaan
◘
Pahaman Terhadap Realitas dan Hubungan Jiwa dengan Jasad
◘
Keadaan Jiwa Setelah Penciptaan
4. MANUSIA DAN NILAI-NILAI KEMANUSIAAN
◘
Hakikat Manusia Sempurna
◘
Hakikat Moral (Falsafah Akhlak)
5. KEMERDEKAAN MANUSIA DAN KENISCAYAAN UNIVERSAL
◘
Konsep Free Will dan Determinis
◘
Keadilan Ilahi
◘
Takdir dan Ikhtiar Serta Hubungannya
6. INDIVIDU DAN MASYARAKAT
◘
Hakikat Manusia Sebagai Makhluk Individu dan Sosial (Status Ontologisnya)
◘
Esensi Masyarakat
◘
Hubungan antara Individu Dan Masyarakat
7. KEADILAN SOSIAL DAN KEADILAN EKONOMI
◘
Falsafah Keadilan
◘
Mengenal Prinsip Keadilan Idiologi-idiologi Besar
◘
Mengenal Sistem Kerja Masing-masing Idiologi
◘
Konsepsi Islam Tentang Prinsip Keadilan Sosial dan Ekonomi
8. SAINS ISLAM
◘
Status Ontologis
◘
Metodologi
◘
Hakikat Ilmu
NILAI DASAR PERJUANGAN HMI
(Hasil Pengayaan Terhadap NDP Hasil Kongres HMI XXIV)
BAB I : LANDASAN DAN KERANGKA BERFIKIR
Dalam benak/pikiran manusia terdapat sejumlah
gagasan-gagasan baik yang bersifat tunggal (seperti gagasan kita tentang Tuhan,
Dewa, malaikat, surga, neraka, kuda, batu, putih, gunung dan lain-lain) maupun
majemuk (seperti gagasan kita tentang Tuhan Pengasih, Dewa Perusak, Malaikat
pembawa wahyu, kuda putih, gunung batu dan lain-lain). Bentuk
pengetahuan-pengetahuan ini disebut pengetahuan tasawwur (konsepsi). Seluruh
bentuk-bentuk proposisi keyakinan atau kepercayaan apapun pada awalnya hanyalah
merupakan bentuk konsepsi sederhana ini. Mengapa bisa demikian? Hal ini karena
adalah mustahil seseorang dapat meyakini atau menpercayai sesuatu jika sesuatu
itu pada awalnya bukan merupakan sebuah konsepsi baginya.
Tetapi pengetahuan tasawwur (Konsepsi) sebagaimana telah
diketahui hanyalah merupakan gagasan-gagasan sederhana yang di dalamnya belum
ada penilaian maka itu ia dapat saja benar atau salah. Oleh karenanya seseorang
tidak diperkenankan untuk merasa puas hanya dengan pengetahuan konsepsi. tetapi
ia harus melangkah untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat yakin yaitu
pengetahuan-pengetahuan tasdhiqi. Dalam artian bahwa ia harus melakukan suatu
proses penilaian terhadap setiap gagasan-gagasan (baik tunggal maupun majemuk)
atau konsepsinya itu agar dapat diyakini. Lantas, pertanyaannya adalah apa
landasan pokok penilaian kita di dalam menilai seluruh gagasan-gagasan kita
yang mana kebenarannya mestilah bersifat mutlak dan pasti?
Dalam kanca perdebatan filosofis ketika para pemikir mencoba
menjawab hal pokok ini terbentuklah tiga mazhab berdasarkan doktrinnya
masing-masing. Ketiga mazhab itu adalah pertama, mazhab ‘metafisika Islam’
dengan doktrin aqliahnya, kedua, mazhab emperisme dengan doktrin emperikalnya
dan ketiga, mazhab skriptualisme dengan doktrin tekstualnya. Metafisika Islam
dalam hal ini menjadikan prima principia dan kausalitas serta metode deduktif
sebagai kerangka berfikirnya. Adapun mazhab emperisme menjadikan pengalaman
inderawi atau eksperimen sebagai landasan dalam menilai segala sesuatu dimana
induktif sebagai kerangka berfikirnya. Sementara mazhab skriptualisme
menjadikan teks-teks kitab suci sebagai landasan dalam menilai segala sesuatu
serta tekstual dalam kerangka berfikirnya.
tetapi yang
ditolaknya adalah bila keduanya (pengalaman dan teks-teks kitab) itu merupakan
landasan atau kriteria dasar dalam setiap penilaian hal-hal ilmiah filosofis
maupun teologis.-yang
dijadikan landasan berfikir bagi kedua mazhab yang lain-Mazhab kedua (empirisme) menolak
seluruh bentuk landasan dan kerangka berfikir kedua mazhab yang lain. Begitu
pula bagi mazhab ketiga (skriptualisme), mereka skeptis terhadap landasan dan
kerangka berfikir kedua mazhab yang lain. Adapun bagi mazhab pertama
(metafisika Islam), mereka tidak menolak sumbangsih-informasi dari teks-teks
kitab suci dan pengalaman inderawi atau eksperimen
Bagi mazhab pertama (‘metafisika Islam’) pengalaman inderawi
atau data eksperimen merupakan informasi-informasi yang sangat perlu dalam
upaya kita mengetahui aspek sekunder dari alam materi. Atau dengan kata lain
data eksperimen atau pengalaman inderwi sangatlah dibutuhkan bila obyek
pembahasan kita adalah khusus mengenai hal-hal yang sebagian bersifat ilmiah
dan sebagian lagi bersifat filosofis. Adapun teks-teks kitab suci sangatlah
dibutuhkan dalam upaya kita mengetahuai aspek sekunder dari keadaan-keadaan
(kondisi objektif) seperti alam gaib, akhirat, kehendak-kehendak suci Tuhan
atau dengan kata lain jika obyek pembahasan kita berkenaan dengan sebagian dari
obyek filosofis (metafisika dan teologi) yang dalam hal ini pengalaman inderawi
atau eksperimen tak dibutuhkan sama sekali. Karena itu dalam kerangka berfikir
Islam, kedua data di atas (data pengalaman inderawi atau eksperimen dan
teks-teks kitab suci) merupakan premis-premis minor dalam sistematika deduktif.
Pada akhirnya tak dapat diingkari bahwa dari mazhab
metafisika Islam yang berlandaskan prima principia dan hukum objektif
kausalitas serta kerangka deduktifnya merupakan satu-satunya landasan berfikir
di dalam menilai segala sesuatu. Tanpa pengetahuan dasar tersebut mustahil ada
pengetahuan tasawwur (konsepsi) maupun tasdhiq (assent) apapun. Tak dapat
dibayangkan apa yang terjadi bila doktrin dari metafisika Islam ini bukan
merupakan watak wujud (realitas objektif) yang mengatur segala sesuatu termasuk
pikiran? Maka kebenaran dapat menjadi sama dengan kesalahannya, bahwa setiap
peristiwa dapat terjadi tanpa ada sebabnya. Bila demikian adanya maka tentu
meniscayakan mustahilnya penilaian. Mengapa demikian? Karena watak penilaian
adalah ingin diketahuinya “sesuatu itu (konsepsi) apakah ia benar atau salah”
atau ingin diketahuinya “mengapa dan kenapa sesuatu itu dapat terjadi”.
Artinya, jika pengetahuan dasar tersebut bukan merupakan watak dan hukum
realitas yang mengatur segala sesuatu termasuk pikiran maka seluruh bangunan
pengetahuan manusia baik di bidang ilmiah, filosofis dan teologi menjadi runtuh
dan tak bermakna.
BAB II: DASAR-DASAR KEPERCAYAAN
Manusia adalah mahluk percaya. Pada kadarnya masing-masing,
setiap mahluk telah memiliki kepercayaan/kesadaran berupa prinsip-prinsip dasar
yang niscaya lagi rasional yang diketahui secara intuitif (common sense) yang
menjadi Kepercayaan utama makhluk sebelum ia merespon segala sesuatu diluar
dirinya. Dengan bekal ini, manusia memiliki potensi untuk mengetahui dan
mempercayai pengetahuan-pengetahuan baru melalui aktivitas berpikir. Berpikir
adalah aktivitas khas manusia dalam upaya memecahkan masalah-masalah dengan
modal prinsip-prinsip pengetahuan sebelumnya.
Memiliki sebuah kepercayaan yang benar, yang selanjutnya
melahirkan tata nilai, adalah sebuah kemestian bagi perjalanan hidup manusia.
pada hakikatnya, perilaku manusia yang tidak peduli untuk berkepercayaan benar
dan Manusia yang berkepercayaan salah atau dengan cara yang salah tidak akan
mengiringnya pada kesempurnaan. Maka mereka tidak ubahnya seperti binatang.
Manusia harus menelaah secara objektif sendi-sendi kepercayaannya dengan segala
potensi yang dimilikinya.
Kajian yang mendalam tentang kepercayaan sebagai sebuah
konsep teoritis akan melahirkan sebuah kesadaran bahwa manusia adalah maujud
yang mempunyai hasrat dan cita-cita untuk menggapai kebenaran dan kesempurnaan
mutlak, bukan nisbi. Artinya, ia mencari Zat Yang Mahatinggi dan Mahasempurna
(Al-Haqq).
Ada berbagai macam pandangan yang menjelaskan tentang
ketiadaan kebenaran dan kesempurnaan mutlak (Zat yang maha sempurna) tersebut
sehingga mereka menganggap bahwa alam ini terjadi dengan sendirinya (kebetulan)
tidak ada yang mengadakannya.
Metafisika Islam dengan Prima principianya sebagai prinsip
dasar dalam berpikir mampu menyelesaikan perdebatan itu dengan penjelasan
Kemutlakan WUJUD(ADA)nya, dimana Wujud adalah sesuatu yang jelas keberadaannya
dan Tunggal karena selain keberadaan adalah ketiadaan sehingga apabila ada
sesuatu selain ADA maka itu adalah ketiadaan dan itu sesuatu yang mustahil
karena ketiadaan tidak memiliki keberadaan.
Manusia - yang terbatas - tidak sempurna – tergantung -
memerlukan sebuah sistem nilai yang sempurna dan tidak terbatas sebagai
sandaran dan pedoman hidupnya. Sistem nilai tersebut harus berasal dari
ke-ADA-an (Zat Yang Mahasempurna) yang segala atributnya berbeda dengan mahluk.
Konsekuensi akan kebutuhan asasi manusia pada sosok Mahasempurna ini menegaskan
bahwa sesuatu itu harus dapat dijelaskan oleh argumentasi-argumentasi rasional,
terbuka, dan tidak doktriner. Sehingga, semua lapisan intelektual manusia tidak
ada yang sanggup menolak eksistensi-Nya.
Sekalipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa Sang
Mahasempurna itu diklaim oleh berbagai lembaga kepercayaan (agama) di dunia ini
dengan berbagai konsep, istilah dan bentuk. Simbol-simbol agama yang berbeda
satu sama lain tersebut menyiratkan secara tersurat beberapa kemungkinan: semua
agama itu benar; semua agama itu salah; atau, hanya ada satu agama yang benar.
Agama-agama yang berbeda mustahil memiliki sosok
Mahasempurna yang sama, walau memiliki kesamaan etimologis. Sebab, bila sosok
tersebut sama, maka agama-agama itu identik. Namun, kenyataan sosiologis
menyebutkan adanya perbedaan pada masing-masing agama. Demikian pula, menilai
semua agama itu salah adalah mustahil, sebab bertentangan dengan prinsip
kebergantungan manusia pada sesuatu yang mahasempurna (Al-Haqq/Tuhan). Maka
dapatlah disimpulkan bahwa hanya satu agama saja yang benar. Dengan argumentasi
diatas, manusia diantarkan pada konsekwensi memilih dan mengikuti agama yang
telah terbukti secara argumentatif.
Diantara berbagai dalil yang dapat diajukan, membicarakan
keberadaan Tuhan adalah hal yang paling prinsipil. Keberadaan dan perbedaan
agama satu dengan yang lainnya di tentukan oleh sosok “Tuhan“ tersebut. yang
pasti, ciri-ciri keberadaan Tuhan (pencipta / khaliq). Bertolak belakang dengan
ciri-ciri khas manusia (Yang diciptakan/ makhluq). Bila manusia adalah maujud
tidak sempurna, bermateri, tersusun, terbatas, terindera, dan bergantung, maka
tuhan adalah zat yang mahasempurna, immateri, tidak tersusun, sederhana, tidak
terdiri dari bagian, tidak terindera secara material, dan tunggal (Esa/Ahad).
Dengan demikian diketahuilah bahwa manusia dapat mengetahui
ciri-ciri umum Tuhan, namun mustahil dapat mengetahui materi Zat-Nya. Manusia
mengklaim dapat menjangkau zat Tuhan, sesungguhnya telah membatasi Tuhan dengan
Rasionya (reason). Segala sesuatu yang terbatas, pasti bukan Tuhan. Ketika manusia
menyebut “Dia Mahabesar“. Sesungguhnya Ia lebih besar dari seluruh konsepsi
manusia tentang kebesaran-Nya. Berdasarkan hal tersebut, potensialitas akal
(Intelect) manusia dalam mengungkap hakikat zat-Nya menyiratkan bahwa pada
dasarnya seluruh makhluk diciptakan oleh-Nya sebagai manifestasi diri-Nya (inna
lillahi) yang kemudian akan kembali kepada-Nya (wa inna ilaihi raji’un) sebagai
realisasi kerinduan manusia akan keabadian kesempurnaaan, kebahagiaan mutlak.
Keinginan untuk merefleksikan ungkapan terima kasih dan
beribadah kepada Tuhan Yang Mahaesa menimbulkan kesadaran bahwa Ia Yang
Mahaadil mesti membimbing umat manusia tentang cara yang benar dan pasti dalam
berhubungan dengan-Nya. Pembimbing Tuhan kepada setiap mahluk berjalan sesuai
dengan kadar potensialitasnya dalam suatu cara perwujudan yang suprarasional
(wahyu) diberikan khusus kepada hamba-hamba-Nya yang memiliki ketinggian
spritual.
Relasi konseptual tentang ke-Mahabijaksana-an Tuhan untuk
membimbing makhluk secara terus menerus dan kebutuhan abadi makhluk akan
bimbingan memestikan kehadiran sosok pembimbing yang membawa risalah-Nya
(rasul), yang merupakan hak prerogatif-Nya. Rasul adalah cerminan Tuhan di
dunia. Kepatuhan dan kecintaan makhluk kepada mereka adalah niscaya.
Pengingkaran kepada mereka identik dengan pengingkaran kepada Tuhan.
Bukti kebenaran rasul untuk manusia ditunjukkan pula oleh
kejadian-kejadian kasat mata (empiris) luar biasa (mu’jizat bagi orang-orang
awwam) maupun bukti-bukti rasional(mu’jizat bagi para intelektual) yang
mustahil dapat dilakukan oleh manusia lain tanpa dipelajari. Pemberian tanda
istimewa kepada rasul akan semakin menambah keimanan seseorang. Mu’jizat juga
sebagai bukti tambahan bagi siapa saja yang tidak mau beriman kepada Tuhan dan
pesuruh-Nya, kecuali bila diperlihatkan kepadanya hal-hal yang luar biasa.
Kepatuhan dan keyakinan manusia kepada rasul melahirkan
sikap percaya terhadap apa pun yang dikatakan dan diperintahkannya. Keyakinan
tentang kitab suci (bacaan atau kumpulan firman Tuhan, disebut Al-quran) yang
dibawanya adalah konsekuensi lanjutan. Di dalam kitab suci terdapat
keterangan-keterangan tentang segala sesuatu sejak dari alam sekitar dan
manusia, sampai kepada hal-hal gaib yang tidak mungkin dapat diterima oleh
pandangan saintifik dan empiris manusia.
Konsepsi fitrah dan ‘rasio’ tentang Realitas Mutlak (Tuhan)
diatas ternyata selaras dengan konsep teoritis tentang Tuhan dalam
ajaran-ajaran Muhammad yang mengaku rasul Tuhan yang disembah selama ini.
Muhammad mengajarkan kalimat persaksian/keimanan (syahadatan) bahwa tidak ada
(la) Tuhan (ilah) yang benar kecuali (illa) Tuhan yang merupakan kebenaran
Tunggal/Esa/Ahad (Allah, dari al-ilah). Ia (Muhammad) juga menerangkan bahwa
dialah rasul Allah (rasulullah). Menurut agama yang mengajarkan ketundukan dan
kepatuhan pada kebenaran (Islam) pada ummatnya ini (muslim). Proses pencarian
kebenaran dapat ditempuh dengan berbagai jalan, baik filosofis, intuitif,
ilmiah, historis, dan lain-lain dengan memperhatikan ayat-ayat Tuhan yang
terdapat di dalam Kitab suci maupun di alam ini.
Konsukuensi lanjut setelah manusia melakukan pencarian
ketuhanan dan kerasulan adalah kecendrungan fitrah dan kesadaran rasionalnya
untuk meraih kebahagiaan. Keabadian, dan kesempurnaan. ketidak mungkinan
mewujudkan keinginan-keinginan ideal tersebut didalam kehidupan dunia yang
bersifat temporal ini melahirkan konsep tentang keberadaan hari akhirat -yang
sebelumnya dimulai dengan terjadinya kehancuran alam secara besar-besaran
(qiyamah/ kiamat/ hari agama/ yaum al-din)- sebagai konsekuensi logis keadilan
Tuhan. Kiamat merupakan permulaan bentuk kehidupan yang tidak lagi bersifat
sejarah atau duniawi. Disana tidak ada lagi kehidupan historis seperti
kebebasan, usaha dan tata masyarakat yang menimbulkan ganjaran dosa/pahala.
Kehidupan akhirat merupakan
refleksi perbuatan berlandaskan iman, ilmu, dan amal selama di dunia. Dengan
kata lain, ganjaran di akhirat adalah kondisi objektif dari relasi manusia
terhadap Tuhan dan alam.
BAB III: HAKEKAT PENCIPTAAN DAN EKSKATOLOGI (MA’AD)
Salah satu prinsip dasar pandangan dunia yang merupakan
pondasi penting dari keimanan Islam adalah kepercayaan akan adanya kebangkitan
dihari akhirat (kehidupan sesudah mati). Beriman kepadanya karena merupakan
suatu persyaratan hakiki untuk dapat disebut muslim. Mengingkari kepercayaan
ini dapat dipandang sebagai bukan muslim.
Sebelum masuk ke bahasan tentang kehidupan sesudah mati maka
masalah tujuan dari penciptaan harus terlebih dahulu kita selesaikan, apakah
yang memiliki tujuan dalam penciptaan itu Tuhan ataukah Makhlukh? Dan kemanakah
tujuannya?.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut haruslah
bersandar pada landasan-landasan metafisika Islam sehingga
konsekwensi-konsekwensi yang dilahirkan dari pilihan jawaban kita akan dapat
terselesaikan dengan tanpa keraguan. Jawaban ini juga yang akan menjelaskan
kepada kita bahwa Tujuan dari seluruh ciptaan adalah bergerak menuju sesuatu
yang sempurna dan Kesempurnaan Tertinggi adalah Tuhan maka Dia lah yang menjadi
tujuan dari seluruh gerak ciptaan.
Bahasan tujuan penciptaan itulah yang akan menjadi awal
untuk selanjutnya kita masuk dalam pembahasan kehidupan sesudah mati
(Eskatologi).
Asal dan sumber dari kepercayaan tentang adanya hari akhirat
ini mestilah dibuktikan melalui argumen-argumen filosofis sehingga tidak ada
sedikitpun alasan yang dapat dikemukakan (oleh mereka yang belum mempercayai
wahyu Ilahi) untuk meragukannya. Kesungguhan beragama terpacu dengan sendirinya
bila kesadaran akan adanya hari akhirat (kehidupan kekal) sebagai sesuatu yang
mutlak atau pasti terjadi. Sehingga oleh para nabi dan rasul kepercayaan kepada
Ekskatologi (Ma’ad) merupakan prinsip kedua setelah Tauhid.
Tema-tema yang membicarakan masalah kehidupan akhirat ini
atau kehidupan sesudah mati dari segi pandangan islam berkenaan dengan maut,
kehidupan sesudah mati, alam barzakh, hari pengadilan besar, hubungan antara
dunia sekarang dan dunia akan datang, manifestasi dan kekekalan perbuatan
manusia serta ganjaran-ganjarannya, kesamaan dan perbedaan anatara kehidupan
dunia sekarang dan didunia akan datang, argumen-argumen al-Qur’an dan
bukti-bukti tentang dunia akan datang, keadilan tuhan, kebijaksanaan tuhan.
Sepanjang kehidupan baik didunia ini maupun diakhirat,
kebahagiaan kita sangat tergantung pada keimanannya pada hari tersebut. Karena
ia mengingatkan manusia akan akibat-akibat dari tindakan-tindakannya. Dengan
cara ini manusia menyadari bahwa perbuatan-perbuatan, perilaku,
pemikiran-pemikiran, perkataan dan akhlak manusia mulai dari yang paling besar
hingga kepada yang paling kecil, mempunyai awal dan akhir, sebagaimana mahluk
manusia itu sendiri.
Tetapi manusia hendaknya tidak berfikir bahwa semuanya itu
berakhir pada masa kehidupan dunia ini atau periode ini saja. Sebab segalanya
itu tetap ada dan akan dimintai pertanggung jawaban pada hari periode kedua.
Kebahagiaan manusia pada hari itu ¯bergantung pada kepercayaan pada
hari atau periode kedua tersebut. Karena pada hari kedua (periode kedua
tersebut) manusia akan diganjar atau dihukum sesuai perbuatan-perbuatannya.
Itulah sebabnya maka menurut islam beriman kepada hari kebangkitan dipandang
sebagai tuntutan yang hakiki bagi kebahagiaan manusia.
BAB IV: MANUSIA DAN NILAI-NILAI KEMANUSIAAN
Satu hal yang mesti dilakukan sebelum kita membicarakan
hal-hal lain dari manusia adalah sebuah pertanyaan filosofis yang senantiasa
hadir pada setiap manusia itu sendiri, yakni apa sesungguhnya manusia itu? Dari
segi aspek apakah manusia itu mulia atau terhina? Dan apa tolak ukurnya? Tentu
manusia bukanlah makhluk unik dan sulit untuk dipahami bila yang ingin
dibicarakan berkenaan dengan aspek basyariah (fisiologis)nya. Karena cukup
dengan menpelajari anatomi tubuhnya kita dapat mengetahui bentuk atau struktur
terdalamnya. Tetapi manusia selain merupakan makhluk basyariah (dimensi fisiologis)
dan Annaas (dimensi sosiologis) ia juga memiliki aspek insan (dimensi
psikologis) sebuah dimensi lain dari diri manusia yang paling sublim serta
memiliki kecenderungan yang paling kompleks. Dimensi yang disebut terakhir ini
bersifat spritual dan intelektual dan tidak bersifat material sebagaimana
merupakan kecenderungan aspek basyarnya.
Dari aspek inilah nilai dan derajat manusia ditentukan
dengan kata lain manusia dinilai dan dipandang mulia atau hina tidak
berdasarkan aspek basyar (fisiologis). Sebagai contoh cacat fisik tidaklah
dapat dijadikan tolak ukur apakah manusia itu hina dan tidak mulia tetapi dari
aspek insanlah seperti pengetahuan, moral dan mentallah manusia dinilai dan
dipahami sebagai makhluk mulia atau hina.
Dalam beberapa kebudayaan dan agama manusia dipandang
sebagai makhluk mulia dengan tolak ukurnya bahwa manusia merupakan pusat tata
surya. Pandangan ini didasarkan pada pandangan Plotimius bahwa bumi merupakan
pusat seluruh tata surya.seluruh benda-benda langit ‘berhikmat’ bergerak mengitari
bumi. Mengapa demikian? Karena di situ makhluk mulia bernama manusia bercokol.
Jadi pandangan ini menjadikan kitaran benda-benda langit mengelilingi bumi
sebagai tolak ukur kemulian manusia. Namun seiring dengan kemajuan sains
pandangan ini kemudian ditinggalkan dengan tidak menyisakan nilai mulia pada
manusia. Para ahli astronomi justru membuktikan hal sebaliknya bahwa bumi
bukanlah pusat tata surya tetapi matahari.
Manusia tidak lagi dipandang sebagai makhluk mulia bahkan
dianggap tak ada bedanya dengan binatang adapun geraknya tak ada bedanya dengan
mesin yang bergerak secara mekanistis. Bahkan lebih dari itu dianggap tak ada
bedanya dengan materi, ada pun jiwa bagaikan energi yang di keluarkan oleh batu
bara. Karena itu wajar bila manusia dan nilai-nilai kemanusiaan tak lagi
dihargai. Maka datanglah kaum humanisme berupaya mengangkat harkat manusia,
dengan memandang bahwa kekuatan, kekuasaan, kekayaan, pengetahuan ilmiah dan
kebebasan merupakan hal esensial yang membedakan manusia dengan selainnya.
Tetapi bila itu tolak ukurnya, lantas haruskah orang seperti
Fira’un atau Jengis Khan yang dapat melakukan apa saja terhadap bangsa-bangsa
yang dijajahnya dipandang mulia? Jika berilmu pengetahuan merupakan tolak
ukurnya. Lantas, apakah dengan demikian orang-orang seperti Einstein yang
paling berilmu tinggi abad 20 atau para sarjana-sarjana itu lebih mulia dari
seorang Paulus Yohanes paus II, ibu Tereisa atau Mahadma Ghandi bagi ummatnya
masing-masing? Sungguh semua itu termasuk ilmu pengetahuan – sepanjang
peradaban kemanusiaan manusia – tidak mampu mengubah dan memperbaiki watak
jahat manusia untuk kemudian mengangkatnya menjadi mulia. Lantas, apa
sesunguhnya tolak ukur kemanusian itu? Sungguh dari seluruh bentuk-btik, sosial
dan spritual individu dan masyarakat). Maka itu berarti bahwa pada proses
kejadian fenomena alam, panas dapat membuat air menjadi beku dan sekaligus
mendidih. Berbuat baik akan mendapat surga dan sekaligus neraka, atau pujian
sekaligus cacian. Bila demikian adanya maka yang terjadi adalah disatu sisi
akan terjadi kehancuran pada alam, individu dan masyarakat, disisi lain
memustahilkan adanya pengetahuan pasti tentang mengininkan mendidih atau beku,
surga atau neraka dan karenanya pula meniscayakan mustahilnya ikhtiar.
Artinya ikhtiar itu menjadi berarti hanya bila pada realitas
terdapat hukum-hukum yang pasti (takdir) atau dengan kata lain ikhtiar pada
awalnya berupa potensial dan ia menjadi aktual bila terdapat adanya dan
diketahuinya takdir tersebut. Karena itu pula dapat dikatakan tanpa takdir
tidak ada ikhtiar.
Sebaliknya ketiadaan potensi ikhtiar pada manusia
meniscayakan takdir menjadi tidak bermakna/berlaku. Bagi orang-orang gila dan
yang belum baligh (bayi) tidak dapat memanfaatkan hukum-hukum penciptaan untuk
membuat suatu teknologi apapun. Bagi mereka hukum-hukum syariat tak
diberlakukan. Dengan demikian takdir ilahi itu sendiri mengharuskan adanya
iktiar bagi manusia agar dengan begitu takdir-takdir pada alam dapat
dipergunakan, dimanfaatkan atau secara umum dapat dikatakan bahwa keadilan
Ilahi sebagai keharusan universal itu sendiri meniscayakan adanya ikhtiar dan
takdir. Tanpa ikhtiar maka takdirpun tidak bermanfaat dan tidak berlaku,
sebaliknya tanpa takdir meniscayakan ketiadaan ikhtiar pada manusia, tiada
ikhtiar meniscayakan ketiadaan kebebasan dan ketiadaan kebebasan memustahilkan
terwujudnya kemerdekaan.
Kebebasan dan kemerdekaan tidaklah bermakna sama.
Kemerdekaan tidak dipredikatkan kepada binatang kecuali pada manusia tetapi
sebaliknya manusia dan binatang dapat dipredikatkan bebas atau mendapatkan
kebebasan. Kebebasan pada manusia mesti bukanlah sebagai tujuan akhir bagi
manusia. Sebab bila kebebasan merupakan sebagai tujuan akhir maka kebebasan
menjadi deterministik itu sendiri, dalam arti bahwa ia tidak lagi berbeda
dengan sebuah ranting ditengah lautan yang bergerak kekiri dan kekanan
dikarenakan arus dan bukan berdasarkan pilihannya. Kebebasan hanya merupakan
syarat (mesti) awal dalam menggapai cita-cita ideal (Kesempurnaan Tuhan)
sebagai tujuan akhir dan inilah yang dimaksud dengan kemerdekaan.
Kebebasan individu bukan berarti kebebasan mutlak yang mana
kebebasannya hanya dibatasi oleh kebebasan orang atau individu yang lain. Sebab
defenisi kebebasan itu tersebut adalah sistem etik yang hanya menguntungkan
orang - orang kuat dan mendeskreditkan orang-orang lemah. Ini karena bagi orang
kuat kebebasannya itu sendiri telah dapat membungkam orang-orang lemah, dengan
kata lain eksisten orang-orang lemah tidak memiliki daya untuk membatasi
kebebasan orang kuat. Sistem ini hanya berlaku bagi individu-individu yang
sama-sama memiliki kekuatan. Atau kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang
lain karena kebebasan orang lain tersebut lebih kuat.
Sesungguhnya kebebasan individu tidaklah demikian. Kebebasan
individu berarti bahwa secara sosial dalam interaksinya dengan orang lain ia
tidak berada pada posisi tertindas dan secera spiritual ia tidak berada dalam
posisi menindas. Kebebasan bukan berarti memanfaatkan kekuatan dan kekuasaan
dalam melakukan apa saja tetapi dalam arti kemampuan untuk tidak memanfaatkan
kekuatan dan kekuasaan (menahan diri) untuk membalas menindas ketika ia berada
pada posisi memiliki kesempatan untuk itu, dan ini adalah satu pengertian
kemerdekaan manusia dan keharusan universal.
BAB VI: INDIVIDU DAN MASYARAKAT
Salah satu sifat khas manusia sebagai makhluk dan karenanya
ia berbeda dengan binatang adalah bahwa ia merupakan makhluk yang diciptakan
selain sebagai makluk berjiwa individual, bermasyarakat merupakan kecenderungan
alamiah dari jiwanya yang paling sublim. Kedua aspek ini mesti dipahami dan di
letakkan pada porsinya masing-masing secara terkait. Sebab yang pertama
melahirkan perbedaan dan yang kedua melahirkan kesatuan. Karena itu mencabut
salah satunya dari manusia itu berarti membunuh kemanusiaananya. Dengan kata
lain bahwa perbedaan-perbedaan (bukan pembedaan-pembedaan) yang terjadi di
antara setiap individu-individu (sebagai identitas dari jiwa individual)
merupakan prinsip kemestian bagi terbentuknya masyarakat dan dinamikanya. Sebab
bila sebuah masyarakat, individu-individu haruslah memiliki kesamaan, maka ini
berarti dinamisasi, dalam arti, saling membutuhkan pastilah tak terjadi dan
karenanya makna masyarakat menjadi kehilangan konsep. Di sisi lain dengan
adanya perbedaan-perbedaan di antara para individu meniscayakan adanya saling
membutuhkan, memberi dan kenal-mengenal dan karena itu konsep kemanusiaan
memiliki makna.
Di sisi lain kecenderungan manusia untuk hidup bermasyarakat
merupakan kecenderungan yang bersifat fitri. Ia tidak bedanya hubungan antara
seorang laki-laki dan perempuan yang berkeinginan secara fitri untuk membentuk
sebuah keluarga. Jadi Ia membentuk masyarakat karena adanya hubungan
individu-individu yang terkait secara fitrah dan alamiah untuk membentuk sebuah
komunitas besar. Bukan terbentuk berdasarkan sebuah keterpaksaan, sebagimana
beberapa individu berkumpul dikarenakan adanya serangan dari luar. Bukan juga
bedasarkan proses kesadaran sebagai langka terbaik dalam memperlancarkan
keinginan bersama, sebagaimana sejumlah individu berkumpul dan sepakat bekerja
sama sebagai langka terbaik dalam mencapai tujuannya masing-masing. Karena itu
masyarakat didefenisikan sebagai adanya kumpulan-kumpulan dari beberapa
individu-individu secara fitri maupun suka dan duka dalam mencapai tujuan dan
cita-cita bersama adalah membetuk apa yang kita sebut sebagai masyarakat.
Kumpulan dari sejumlah individu adalah “badan” masyarakat ada pun kesepakatan
atau tidak dalam mencapai cita-cita dan tujuan idealnya adalah merupakan “jiwa”
masyarakatnya. Karena itu selain bumi (daerah/tempat tinggal) dan sistem sosial
(ikatan psikologis antara individu-individu), individu merupakan salah satu
unsur terbentuknya sebuah masyarakat. Tanpa manusia (individu) maka masyarakat
pun tidak ada.
Masyarakat itu sendiri merupakan senyawa sejati, sebagaiman
senyawa alamiah. Yang disentesiskan di sini adalah jiwa, pikiran, cita-cita
serta hasrat. Jadi yang bersintesis adalah bersifat kebudayaan. Jadi, individu
dan masyarakat memiliki eksistensi (kemerdekaan) masing-masing dan memiliki
kemampuan mempengaruhi yang lain. Bukan kefisikan. Walaupun begitu eksistensi
individu dalam kaitannya terhadap masyarakat mendahului eksistensi masyarakat.
Memandang bahwa eksistensi masyarakat mendahului individu berati kebebasan dan
kemanusiaannya telah dicabut dari manusia (individu) itu sendiri.
Walaupun manusia memiliki kualitas-kualitas kesucian,
potensi tersebut dapat saja tidak teraktual secara sempurna dikarenakan adanya
kekuatan lain dalam diri manusia berupa hawa nafsu yang dapat saja merugikan
orang lain dan diri sendiri. Sebab hawa nafsu ini mulai teraktual di kala
interaksi antara individu dengan individu lain dalam kaitannya dengan bumi
(sumber harta benda). Bahkan keserakahan ini dapat saja berkembang dalam bentuk
yang lebih besar, sebagaimana sebuah bangsa menjajah bangsa lain. Fenomena ini
dapat mengancam kehidupan manusia dan kelestarian alam. Dengan demikian,
pertanggung-jawaban ini bagi setiap individu, selain bersifat individual juga
bersifat kolektif. Ini karena, pertanggung-jawaban individual terjadi ketika
sebuah perbuatan memiliki dua dimensi, yaitu: si pelaku (sebab aktif) dan
sasaran yang disiapkan oleh pelaku (sebab akhir). Apabila dalam perbuatan
tersebut terdapat dimensi ketiga, yaitu sarana atau peluang yang berikan untuk
terjadinya perbuatan tersebut dan lingkup pengaruhnya (sebab material), maka
tindakan tersebut menjadi tindakan kolektif. Jadi Masyarakat adalah pihak yang
memberikan landasan bagi tindakan kolektif dan membentuk sebab material. Ini
berarti, individu memiliki andil besar dalam mengubah wajah bumi atau
mengarahkan perjalanan sebuah masyarakat kearah yang sempurna atau kehancuran.
Tidak ada jalan lain bahwa untuk menghadapi ancaman-ancaman
ini, manusia memerlukan adanya sebuah sistem sosial yang adil yang memiliki
nilai sakralitas dan kesucian dan berdasarkan tauhid (Ketuhanan Yang Maha Esa).
Mengajarkan sebuah pandangan dunia bahwa segala sesuatu milik Tuhan. Dihadapan
Tuhan tidak ada kepemilikan manusia, kecuali apa yang dititipkan dan
diamanahkan kepadanya untuk mengatur dan mendistribusikan secara adil.
Kesadaran akan sakralitas dan kesucian sistem tersebut memberikan implikasi
kehambaan terhadap Tuhan. Berdasarkan kesadaran dan pertimbangan seperti itu
maka interaksi antara individu dengan individu lainnya dalam hubungannya
terhadap alam akan berubah dari watak hubungan antara tuan/raja dan budak
menjadi hubungan antara hamba Tuhan dengan hamba Tuhan yang lain dengan
mengambil tugas dan peran masing-masing berdasarkan kapasitas-kapasitas yang
diberikan dalam menjaga, mengurus, mengembangkan, mengelolah, mendistribusikan
dan lain-lain. Karena itu berdasarkan fitrah/ruh Allah seorang manusia
(individu) diciptakan dan ditugaskan sebagai khalifah/nabi/rosul (wakil/ utusan
Tuhan) oleh Allah di muka bumi (QS.2:30) untuk memakmurkan bumi dan membangun
dan masyarakatnya untuk mewujudkan sistem sosial.
BAB VII: KEADILAN SOSIAL DAN KEADILAN EKONOMI
Keadilan menjadi sebuah konsep abstrak yang sering diartikan
secara berbeda oleh setiap orang utamnya mereka - mereka yang pernah mengalami
suatu ketidakadilan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini menuntut secara
tegas perlu dilakukan redefenisi terhadap apa yang dimaksud dengan keadilan.
Bila keadilan diartikan sebagai tercipta suatu keseimbangan
dan persamaan yang proporsional maka pemecahan permasalahan keadilan sosial dan
ekonomi hanya dapat teratasi dengan menemukan jawaban terhadap sebab - sebab
terjadinya ketidak adilan sosial dan ekonomi serta bagaimana agar dalam
distribusi kekayaan dapat terbagi secara adil sehingga terhindar dari
terjadinya diskriminasi dan pengutuban, atau kelas dalam masyarakat.
Jelas terlihat dari problem yang dihadapi bahwa kasus
keadilan sosial dan ekonomi bukanlah merupakan wilayah garapan ilmu ilmiah
(positif). Karena masalah keadilan bukanlah fenomena empiris yang dapat diukur
secara kuantitatif. Namun ia merupakan konsep abstrak yang berkenaan dengan
aspek kebijakan-kebijakan praksis, karena itu ia merupakan garapan filosofis
dan bersifat ideologis. Itulah sebabnya mengapa dalam menjawab masalah diatas
setiap orang atau kelompok memiliki jawaban dan konsep yang berbeda sesuai
dengan ideologi, kandungan batinnya serta kapasitas pengetahuannya.
Kapitalisme sesuai dengan konsepnya tentang manusia yang
berkenaan dengan karakter dasar dan tujuan akhir manusia yaitu bahwa manusia
pada dasarnya bersifat baik dan lemah, cenderung meyakini bahwa penyebab
terjadinya diskriminasi serta tidak terjadinya distribusi kekayaan secara tidak
adil dikarenakan dipasungnya kebebasan individu oleh baik masyarakat,
pemerintah, individu lain disatu sisi dan di sisi lain tidak adanya
aturan-aturan yang menjamin kepentingan-kepentingan individu. Berdasarkan ini
upaya menciptakan keadilan sosial maupun ekonomi bisa terwujud hanya dengan cara
memberikan kebebasan secara mutlak, yakni kesempatan ekonomi yang
seluas-luasnya kepada setiap individu dimana kebebasannya hanya dibatasi oleh
kebebasan orang lain, meskipun kebebasan ini justru dapat menyebabkan perbedaan
pendapatan dan kekayaan individu (dengan asumsi bahwa orang menggunakan
kebebasannya secara sama dalam sistem kapitalis).
Sebaliknya sosialisme yang didasarkan pada konsepnya tentang
manusia dan pandangan hidupnya yang melihat bahwa penyebab terjadinya
diskriminasi sosial dan ekonomi sehingga terciptanya kelas - kelas dalam
masyarakat dimana yang satu semakin miskin dan yang lain semakin kaya
dikarenakan adanya kekuatan yang menghambat proses berubahnya kesadaran
kolektif dari kesadaran kesadaran kepemilikan pribadi ke kepemilikan sosial
(bersama). Karena itu untuk menciptakan keadilan sosial dan ekonomi, maka tidak
ada cara lain kecuali diperlukan suatu sistem sosial yang berfungsi mengatur
atau manyak, QS.72:16).
Artinya menurut Islam bahwa prinsip dari hubungan khusus
antara bertindak sesuai dengan perintah-peritah Tuhan di satu sisi dengan
kemakmuran disisi lain atau dalam bahasa modernnya, hubungan antara distribusi
yang adil dengan peningkatan produksi, yakni bahwa tidak akan terjadi
kekurangan produksi dan kemiskinan bila distribusi yang adil dilaksanakan.
Dengan kata lain distribusi yang adil akan mendongkrak kekayaan dan
meningkatkan kemakmuran sebagai bukti “berkat dari langit dan bumi” telah
tercurahkan.
Dengan persfektif yang demikian inilah selanjutnya akan
melahirkan kesadaran kemanusiaan yang tinggi sebagai bentuk manifestasi dari
pengabdian serta kecintaan kita kepada Allah SWT.
Disamping itu, guna menegakkan nilai keadilan sosial dan
ekonomi dalam tataran praktis diperlukan kecakapan yang cukup. Orang-orang yang
memiliki kualitas inilah yang layak memimpin masyarakat. Memimpin adalah
menegakkan keadilan, menjaga agar setiap orang memperoleh hak asasinya dan
dalam jangka waktu yang sama menghormati kemerdekaan orang lain dan martabat
kemanusiaannya sebagai manifestasi kesadarannya akan tanggung jawab sosial.
Lebih jauh lagi, negara dan pemerintah sebagai bentuk yang terkandung
didalamnya adalah untuk menciptakan masyarakat yang berkeadilan, baik berupa
keadilan sosial maupun keadilan ekonomi. Dan hanya setelah terpenuhinya pra-syarat
inilah negara ideal sebagai dicita-citakan bersama (baldatun thayyibatun wa
rabbun ghafur) dapat diwujudkan.
Tidak diragukan lagi dari kajian yang konprehensif dan
holistik dapat mengantar kita pada satu kebenaran rasional ideologi (syariat)
Islam yang telah mengajarkan akan persaudaraan, keadilan dan kesamaan hak untuk
diamalkan oleh setiap kaum muslimin khususnya, sampai kepada sektor-sektor
produksi sosio-ekonomi dan pembagian kekayaan. Atau hukum-hukum yang lebih
bersifat spesifik menyangkut hal-hal yang memerlukan rincian, seperti
pemanfaatan lahan pertanian, penggalian mineral, sewa-menyewa, bunga, zakat,
khumus (yakni mengeluarkan 20-30% dari keuntungan bersih) dan pembelanjaan umum
dan lain sebagainya yang dikelola langsung oleh negara, atau lembaga sosial di
bawah kontrol masyarakat dan negara yang berlandaskan pada prinsif-prinsif
keadilan.
BAB VIII: SAINS ISLAM
Sains dalam sejarah perkembangan seringkali
dinaturalisasikan sebagai sebuah upaya pencocokan terhadap nilai-nilai budaya,
agama atau pandangan - pandangan tertentu suatu masyarakat. Asimilasi dan
akulturasi inilah yang kemudian menjadi bentuk baru (khas) sebuah peradaban,
rasionalisme di yunani dan positivisme di Eropa adalah contoh-contahnya.
Naturalisasi terhadap sains itu sendiri dilakukan sebab
sains diakui memiliki kekuatan yang ambigu. Disatu sisi ia dapat mengembangkan
suatu masyarakat karena kemampuannya mengatasi masalah-masalah praktis dan
prakmatis manusia serta kemampuannya yang dapat merubah konstruk berfikir
manusia itu sendiri sehingga membawa mereka ke arah peradaban baru yang lebih
maju, disisi lain dengan kemampuan yang sama, ia juga memiliki sifat destruktif
untuk menghancurkan atau merombak nilai-nilai budaya, agama maupun
spiritualitas suatu masyarakat.
Positivisme misalnya merupakan hasil sebuah naturalisasi
sains didunia masyarakat Eropa dan telah dipandang sebagai kebenaran. Sains ini
(positivisme) adalah sebuah sains yang memiliki watak atau karakter yang
bersifat materealistik yaitu sains yang menolak hal - hal yang bersifat
metafisis, spiritual maupun mistis, karenanya dalam karakternya yang demikian
sains ini dapat menghancurkan atau melunturkan konsep-konsep teologi dan nilai
- nilai keagamaan lainnya.
Sehingga bukanlah hal yang berlebihan bila beberapa pemikir
muslim melakukan islamisasi sains terhadap sains-sains modern (sains
positivisme) sebagai sebuah bentuk keseriusan mereka dalam menjawab hal ini dan
sekaligus sebagai wujud dari naturalisasi sains didunia Islam, sehingga
pengaruhnya yang negatif terhadap gagasan metafisis (Teologi dan Ekskatologi)
dan nilai-nilai agama Islam lainnya dapat dihindari. Hasil dari upaya
islamisasi sains inilah yang kita sebut sains islam.
Islamisasi sains atau sains Islam dapat dimulai dengan
menggagas untuk meletakkan dasar bagi landasan epistimologinya yaitu dengan
membuat klasifikasi ilmu pengetahuan berdasarkan basis ontologinya serta
metodologinya yang sesuai dengan semangat (Spirit) Islam itu sendiri, yakni
teologi (Tauhid), Ekskatologi (Ma’ad), serta Kenabiaan.
Islamisasi sains dengan pelabelan ayat-ayat Al-Qur’an atau
hadits yang dipandang sesuai dengan penemuan sains mestilah dihindari, karena
kebenaran-kebenaran al-Qur’an bersifat abadi dan universal, sementara
kebenaran-kebenaran sains modern selain bersifat temporer dan hanya benar dalam
lingkup ruang dan waktu tertentu, sains ini juga bersifat materealistik atau
positivistik.
Pendekatan demikian akan mengalami jalan buntu dengan
berubahnya teori-teori sebelumnya dengan ditemukannya teori-teori baru. Dengan
demikian ayat-ayat yang tadinya dipandang relevan dengan teori-teori
sebelumnya, alau menjadi dipertanyakan relevansinya.
Begitupula islamisasi sains tidak dengan upaya mendengungkan
ayat-ayat al-Qur’an tentang kewajiban berilmu pengetahuan ke telinga generasi muslim.
Hal ini karena upaya tersebut berkaitan dengan sumberdaya manusia (SDM) muslim
yang mayoritas telah atau akan berkembangg tidak sesuai dengan sains islam.
Namun pendekatan yang mesti dilakukan adalah dengan membuat
klasifikasi ilmu pengetahuan dengan menetapkan status dan basis ontologinya,
sebab ia merupakan basis bagi sebuah epistimologi. Perbedaan dalam menetapkan
status ontologis meniscayakan perbedaan pada status epistimologi berikut
metodologinya. Perbedaan ini dapat terlihat pada epistimologi modern dengan
epistimologi yang telah dicanangkan oleh para filosof muslim yang telah
ditinggalkan oleh mayoritas kaum muslim itu sendiri.
Epistimologi barat berbasis pada status ontologi
materealistik dan menolak adanya realitas (ontologi) metafisis. Epistimologi
ini hanya memusatkan perhatiannya pada objek fisik.
Adapun sains islam bukan hanya berbasis kepada status
ontologis alam materi (objek-objek fisika) tetapi lebih dari itu ia tetapkan
pula bahwa selain status ontologi alam materi terdapat pula objek ontologi alam
mitsal (objek-objek matematika) dan objek ontologi alam akal (objek-objek
metafisika).
Berdasarkan klasifikasi sains seperti ini, sains Islam
menawarkan beberapa metodologi ilmiahnya sesuai dengan status ontologinya,
yaitu; intuisi dan penyatuan jiwa (metode kaum irfan), untuk mengetahui
objek-objek nonmateri murni atau objek-objek metafisika dengan cara langsung,
deduksi rasional untuk mengetahui objek metafisika secara tidak langsung maupun
objek-objek matematika dan Induksi (Observasi dan eksperimen) untuk mengetahui
objek-objek fisika.
Sains metafisika mengkaji objek-objek atau wujud yang secara
niscaya bersifat nonmateri murni yang tidak dipengaruhi oleh materi dan gerak.
Seperti Teologi, Kosmologi, Ekskatologi.
Sains matematika mengkaji objek-objek atau wujud yang
meskipun bersifat nonmaterial namun berhubungan dengan materi dan gerak.
Seperti aretimetika, geometri, optika, astronomi, astrologi, musik, ilmu
tentang gaya, keteknikan dan lain sebagainya.
Sains fisika mengkaji objek-objek atau wujud yang secara
niscaya terkait dengan materi dan gerak. Seperti unsur-unsur (atom-atom),
mineral, tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia (secara fisik).
Dalam klasifikasi sains islam karena status objek-objek
metafisika merupakan realitas ontologis yang berada dipuncak (yang paling
tertinggi) yang menjadi sebab segala sesuatu dibawahnya, dimana objek-objek
fisika merupakan objek realitas terbawah dan terendah dari hirarki objek
ontologi, maka secara berturut-turut sains metafisika merupakan sains tertinggi
dan sains fisika merupakan sains terendah setelah sains matematika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar