SELAMAT DATANG KAWAN DI BLOG YANG SEDERHANA INI. J U A N D A
banner islam photo: islam is my faith ISLAM-BANNER.gif

politik




Salah satu bidang yang dianggap sangat perlu direformasi adalah bidang Politik. reformasi bidang politik, termasuk militer (hankam), sosial, dan pemerintahan. yang bermanfaat bagi kemajuan reformasi total... This list is provided as the discussion arena for those who are interested on the political, social, governmental and military reforms in Indonesia.

BUDAYA POP: BUAH GLOBALISASI PEOPLE CHANGE
OLEH: JUANDA UNM
“Artikel ini hanyalah hendak merenungi tendensi manusia pasca-modernisasi ini. Bagaimana keadaan manusia-manusia sekarang dan bagaimana seharusnya”.
Meskipun tidak mudah untuk melawan hegemoni dan dominasi budaya pop dalam setiap segmen kehidupan, tapi perlawanan tetap akan selalu ada karena begitulah memang substansi kehidupan manusia. Selalu merupakan sebuah peperangan antara siang dan malam. Antara gelap dan terang. Antara putih dan hitam. Dan di tengah-tengah kancah peperangan itulah, martabat manusia setiap saat diuji, dipertaruhkan, dan diperjuangkan. Selalu seperti itu, karena martabat manusia memang bukan martabak yang gurih dan renyah untuk disantap. Martabat manusia adalah sesuatu yang harus selalu diperjuangkan oleh setiap manusia. Martabat manusia adalah misi universal setiap kebudayaan di seluruh jagat raya. karena ini adalah sebuah perlawanan bersama.
Kalau Anda sudi sejenak berhenti dari kesibukan dan kebisingan dunia ini, baik kalau kita bersama menjadi nabi kecil-kecilan, mengamati tendensi suatu spesies yang menamai dirinya homo sapiens. Di kota-kota yang kini mulai banyak ditumbuhi oleh mal-mal -bak jamur di musim hujan-, Anda dapat melihat remaja-remaja hedonis berseliweran dengan potongan rambut lurus ala F4, dengan busana tank top atau junkies. Atau, di sekolah-sekolah lanjutan dan kampus-kampus, Anda dapat melihat hampir setiap siswa atau mahasiswa membawa handphone. Sekilas, tampaknya wajar melihat itu semua. Iklim masyarakat sekarang memang sudah jauh berbeda. Namun, bila gejala-gejala ini ditelaah dan dilihat (baca: diobservasi) dengan lebih lanjut, ada tendensi di mana manusia mulai jatuh ke dalam homogenitas budaya pop. Selanjutnya, manusia-manusia yang seharusnya menjadi homo significans malahan jatuh ke dalam pendangkalan
Homogenitas Budaya Pop: Buah Globalisasi People change!
Mungkin itu adalah ungkapan yang paling tepat utuk memulai bagian ini. Betul, manusia dengan segala budaya hasil akal budinya itu memang terus berkembang, semakin mengkokohkan kedudukannya di muka bumi ini. Tak ada satu God’s creature lain yang mampu menyaingi kebudayaan manusia itu. Kali ini, manusia beralih menuju suatu rentang waktu yang kontradiksional dengan fase-fase sebelumnya. Disebut kontradiksional karena memang, fase yang satu ini berbeda jauh dengan fase-fase sebelumnya. Kita menyebutnya dengan globalisasi. Di satu sisi, manusia memang terus berkembang menuju ke arah yang lebih baik, baik dari segi fisik maupun non-fisik. Sistem politik, kekuasaan, dan hukum semakin disempurnakan. Bahkan, demokratisasi dan transparansi begitu disanjung-sanjung dan menjadi bahan demonstrasi. Teknologi bidang komunikasi dan transportasi mengatasi batas-batas wilayah; membuat Bumi terasa sempit. Ilmu hayat dan kedokteran semakin meningkatkan tingkat kesejahteraan manusia.
Namun, juga tidak boleh dilupakan bahwa tidak ada gading yang tak retak. Hasil perkembangan manusia ini pun bersifat ambivalen. Salah satu pengaruh negatif yang dibawa globalisasi adalah homogenitas budaya pop. Perdagangan bebas, kemajuan teknologi, dsb hasil globalisasi telah membentuk suatu budaya baru yang di dalamnya manusia-manusia terjebak dalam arus budaya pop

Hidup yang Semakin Mendangkal
Ilustrasi di awal permenungan tadi hanyalah secuil gambaran yang membuktikan eksistensi tendensi itu dalam diri manusia-manusia sekarang, termasuk manusia-manusia Indonesia. Masih ada jutaan contoh homogenitas budaya pop yang melanda dunia di era globalisasi ini. Dulu, orang yang hidupnya berkecukupan merasa cukup rumahnya hanya dihiasi oleh radio. Namun, sekarang, bahkan rumah-rumah tipe 36 (baca: RSS) pun wajib memiliki televisi. Terutama di kalangan remaja (baca: generasi penerus bangsa), yang marak adalah bacaan-bacaan novel-novel ringan dan bahkan, komik. Bacaan-bacaan dengan analisis yang mendalam dan novel-novel tebal nan bermutu hanya menjadi minoritas dalam urutan prioritas mereka. Buku-buku semacam itu, umumnya, hanya tersentuh jika terpaksa, misalnya saat menjadi tugas akademis. Begitu pula dengan musik. Musik-musik klasik yang rumit masih menjadi barang yang asing. Bahkan, penghayatan musik malah jatuh dalam pragmatisme. Musik-musik Mozart yang dipercaya mengandung Mozart effect dinikmati dan dihayati bukan karena keindahannya, melainkan hanya karena ingin lebih cerdas.
Anda dapat mengelak bahwa semua gejala itu adalah bentuk adaptasi demi mengikuti perkembangan zaman. Tapi, itu adalah rasionalisasi. Sebenarnya, kenyataan tendensi manusia-manusia sekarang ini bukan sekedar masalah mengikuti perkembangan zaman melainkan, ini adalah masalah gengsi dan penghayatan hidup. Bukti yang paling mengena, rasanya, adalah layar kaca segi empat yang telah menjadi narkoba bagi banyak manusia (baca: televisi). Ketika Anda menonton televisi Anda semakin menjadi manusia yang dangkal. Setiap hari Anda disuguhi puluhan program tayang yang berbeda, dan itu berlangsung terus-menerus setiap hari. Sebagian besar dari tayangan-tayangan itu hanyalah meninggalkan kesan-kesan dangkal yang tidak mendalam. Hanya beberapa yang mengena, selebihnya dilupakan. Tayangan mengenai bencana kekeringan, perang, kelaparan yang sedemikian banyak membuat hati kita menjadi semakin tidak peka. Tidak ada proses batin dan intelektual lebih lanjut. Penghayatan makna-makna luhur kehidupan ter-reduksi.
Dikatakan bahwa ini masalah gengsi karena kalau tidak turut menghanyutkan diri dalam budaya pop, kaum muda merasa dirinya tidak diakui. Kalau seorang siswa SMU apalagi mahasiswa tidak memiliki handphone seakan-akan ia adalah alien. Sebuah rumah tangga harus memiliki mesin cuci, cold-case (baca: kulkas), atau minimal sebuah televisi. Anak-anak merengek-rengek minta dibelikan play station. Manusia jatuh dalam konformitas buta; sikap meniru-niru yang semata-mata karena gengsi.
Manusia-manusia sekarang ini juga jatuh dalam pendangkalan makna hidup. Penghayatan akan hidup -akan makna hidup, tepatnya- menjadi dangkal. Kaum muda merasa keberadaannya tidak diakui jika tidak memiliki barang-barang duniawi semacam televisi, handphone, dsb. Dirinya hanyalah dihargai sebatas kepemilikan barang-barang itu. Tanpa memilikinya ia merasa dirinya mati. Bila pendangkalan ini terus dipelihara dan dibudidayakan, makna dan penghargaan terhadap insan manusia semakin jatuh. Hasilnya adalah tidak adanya bentuk-bentuk penghargaan terhadap manusia sebagai insan, misalnya: perang, terorisme, pemboman, pembunuhan, pemerkosaan, tawuran, dan 1001 macam lainnya. Contoh-contoh itu sudah marak dalam kehidupan manusia sekarang. Ini pun dapat menjadi indikasi kehancuran sebuah kebudayaan.


Jalan Keluar: Internalisasi
Seperti yang telah diungkap secuil dalam pengantar, manusia, hakekatnya, adalah homo significans; manusia dicipta sebagai manusia pemberi makna. Kenyataan yang ada, manusia-manusia pasca-modern ini terjebak dalam pendangkalan hidup. Tendensi mereka mengarah kepada homogenitas budaya pop, bertolakbelakang 180 derajat. Maka, diperlukan usaha-usaha untuk menetralisir kecenderungan negatif ini tanpa menghilangkan unsur-unsur positif globalisasi.
Jurus paling ampuh dalam mengatasi gejala homogenitas budaya pop semacam itu adalah pengendapan; atau yang saya bahasakan dengan terminologi internalisasi. Mengapa internalisasi? Pasalnya, kalau homogenitas budaya pop itu mengarah pada pen-dangkal-an, solusi yang harus dilakukan adalah pen-dalam-an. Internalisasi merupakan suatu proses memaknai kembali -secara mendalam, tentunya- makna-makna hidup. Makna hidup yang tadinya dihargai secara dangkal, kali ini digali dan diselami.

Ada dua metode internalisasi yang ditawarkan, yaitu: budaya refleksi dan keheningan. Keduanya saling komplementer dan tidak dapat dipisahkan jika hendak melawan arus budaya pop. Refleksi membutuhkan suasana hening. Keheningan jiwa dapat tercapai saat berefleksi. Secara etimologis, refleksi berasal dari verbum compositum bahasa latin re-flectere, artinya antara lain, memutar balik, memalingkan, mengembalikan, memantulkan, dan memikirkan. Kiranya, dua arti terakhir yang cocok untuk mendefinisikan refleksi dalam kerangka permenungan ini.
Refleksi adalah usaha untuk melihat kembali sesuatu secara lebih mendalam dengan menggunakan pikiran dan afeksi hingga menemukan nilai yang mulia yang selanjutnya dapat digunakan sebagai bekal kehidupan kedepan. Homogenitas budaya pop di masa globalisasi menawarkan begitu banyak hal yang hanya berakhir sebagai kesan-kesan tanpa ada satupun yang dapat didalami. Dengan budaya refleksi, kesan-kesan itu dapat diendapkan. Secara satu-persatu, kejadian yang dialami selama satu hari itu dianalisis, dipertimbangkan (to consider), disimpulkan, dan akhirnya, diendapkan dalam nurani. Dalam proses berrefleksi manusia diajak untuk turut men-follow-up sekian banyak pengalaman itu dengan proses-proses batin dan intelektual yang lebih lanjut dan mendalam. Alhasil, sejelek apapun kejadian hari itu, tetap didapatkan suatu nilai yang dapat menjadi bekal hidup selanjutnya.Peran refleksi dalam kerangka ini juga sebagai nabi. Secara harafiah, nabi adalah utusan Tuhan untuk memperingatkan dan membimbing umat-Nya. Refleksi yang berperan sebagai nabi ini akan menjadi fungsi kritis dalam diri kaum muda. Saat ia mengalami pendangkalan nilai-nilai hidup dalam bentuk pragmatisme, konformitas buta, dsb, refleksi berperan dalam mengolah masalah itu, menunjukkan kesalahannya, dan mengarahkan kepada yang benar.

Keheningan. Keheningan di zaman globalisasi juga menjadi problem tersendiri. Kecuali dalam keadaan tidak sadar (tidur, misalnya) kecenderungan manusia zaman ini, terutama kaum mudanya, tidak betah dalam suasana yang sunyi dan tenang. Minimal, harus terdapat suara, entah itu dari radio, televisi, atau teman ngobrol. Di sisi lain, lingkungan yang ada memang mengkondisikan minimnya tempat-tempat sunyi dan tenang. Keheningan sering dianggap menakutkan, menjadi phobia. Memang, keheningan itu berhubungan erat dengan kesendirian. Dalam bahasa latin, terjemahan untuk keheningan adalah solitudo. Akar katanya solus, yang artinya sendiri. Tapi, kesendirian bukanlah suatu yang negatif dan pantas dijadikan phobia. Kalau kesendirian itu menjadi kesepian, barulah itu dihindari. Mengapa? Walaupun antara keduanya sama-sama memiliki unsur sendiri, keheningan dan kesepian itu adalah dua hal yang bertolak belakang. Keheningan bukan hanya milik rahib-rahib pertapa. Bahkan, keheningan bisa didapatkan ditengah-tengah kesibukan dan bisingnya kota. Bahkan dalam kesemerawutan bursa effek, seorang pialang dapat mencapai keheningan. Semuanya tinggal tergantung pada masing-masing pribadi. Bagaimana ia dapat menempatkan dan menyempatkan diri untuk dapat hening.Sebenarnya keheningan memegang peranan yang penting dalam proses internalisasi.
Keheningan adalah highway (baca: jalan bebas hambatan) menuju budaya refleksi. Proses Pengendapan (baca: internalisasi) membutuhkan keheningan, seperti halnya pada gelas yang berisi keruh. Untuk mendapatkan air yang jernih, perlu terlebih dahulu, partikel-partikel kotoran yang tercampur dalam air itu mengendap. Modal dasar supaya partikel-partikel itu dapat mengendap adalah ketenangan. Biarkan gelas itu selama beberapa menit, partikel-partikel pengotor akan mengendap di bagian bawah gelas dan yang tersisa hanyalah air jernih. Bila gelas itu digoyang-goyang, tidak akan pernah didapatkan air jernih. Senada dengan itu, ditengah-tengah kekeruhan zaman globalisasi ini, perlu ada sikap hening sebagai pengantar refleksi menuju pengendapan makna-makna hidup. Bahkan, keheningan dapat membuat orang semakin efisien (hubungkan dengan analogi air keruh dalam gelas!).
Homogenitas budaya pop akan menawarkan sejuta kesan-kesan yang berseliweran di sekitar kehidupan manusia modern. Bila manusia-manusia itu malah menambah diri dengan kesibukan dan kebisingan lain, yang didapatkan hanyalah kehidupan yang tidak bermakna. Dalam mengatasi homogenitas budaya pop, perlu manusia-manusia zaman globalisasi ini bersikap hening, tenang, sunyi.
Melawan Hegemoni Budaya Pop
adakah martabat manusia yang luhur dan mulia sebagaimana secara kodrati manusia diyakini adalah mahkluk paling sempurna di muka bumi ini? Mari melihat kenyataan. Kemiskinan, yang karena sedemikian strukturalnya menjadi sangat sulit diuraikan benang merahnya, semakin hari semakin parah di negeri kita yang gemah ripah ini. Sejak masa Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, sampai SBY, masalah kemiskinan tetap tak menemukan solusi yang membuahkan hasil nyata. Kemiskinan jelas membuat kualitas kehidupan manusia terperosok dalam jurang kehinaan. Jangankan martabat yang luhur, makan saja harus mengais dari tong sampah atau mengemis di jalanan. Mengais tong sampah biasanya hanya dilakukan oleh anjing, tikus, atau kecoa got. Bukan oleh manusia. Mengemis? Mungkin hanya bisa dimaklumi padakondisi-kondisi ekstrim yang dialami manusia.
Dalam sebuah pandangan sederhana, barangkali apa yang dikatakan oleh Dewi “Dee” Lestari, penulis Supernova, ada benarnya. Dee berpendapat bahwa “kemiskinan adalah masalah orang kaya yang tidak mau berbagi.” Sayang, kenyataannya; semakin kaya seseorang, semakin tak mau ia berbagi untuk sesamanya. Sekecil apapun. Keserakahan sepertinya melekat pada setiap pundit kekayaan. Ini yang membutakan mata hati kebanyakan orang kaya.
Selain kemiskinan yang mengandung kekejaman dan kejahatan terhadap manusia, kekejaman dan kejahatan yang sistematis juga terus memerosokan martabat manusia dalam kubangan kenistaan.dan kta sebut saja kriminal-kriminal kelas kampung yang semakin kejam dalam melakukan operasi kejahatan mereka; merampok, menganiaya, memerkosa, sampai memutilasi korban, sampai para penjahat kemanusiaan kelas super kakap atau kelas hiu yang berlindung di balik ketiak kekuasaan yang mereka kangkangi. Semua benar-benar kejam dan tak sedikit pun menghargai harkat dan martabat manusia. Sejak peristiwa G-30-S tahun 65 sampai peristiwa Mei 1998, kekejaman yang meluluhlantakkan martabat manusia sampai pada dimensi penghancuran tubuh manusia sehingga mayat-mayat pun terkapar hangus tanpa bentuk.
Lalu bagaimana memiliki kembali martabat seorang manusia yang sepantasnya? Belum tega rasanya mengajukan pertanyaan ini di saat bencana menghancurkan banyak kehidupan di negara ini. Terbilang sejak SBY naik tahta, cobaan yang luar biasa menghantam kehidupan sebagian rakyat Indonesia. Tentu hal ini tidak bisa serta-merta berhubungan secara langsung satu sama lain. Siapapun presiden yang berkuasa, bencana bisa saja terjadi. Jadi, pertanyaan di atas justru tetap harus diajukan dan dijawab karena menjadi sangat relevan dengan kondisi yang ada sekarang. Apalagi di saat kita dengan jelas melihat betapa orang masih tega mengkorupsi dana kemanusiaan untuk bantuan bencana. Menurut Andi K Yuwono dari Praxis, hal yang benar-benar nista senista-nistanya itu memang kerap terjadi dalam setiap bencana. Berbagai cerita dari Aceh tentang korupsi dana bantuan kemanusiaan, memang benar-benar mengoyak-oyak nurani.
Dalam pandangan yang optimistik, sebuah gerakan kebudayaan yang tepat bisa menjadi solusi dari terkikisnya martabat manusia dari hari ke hari dalam atmosfir kehidupan masyarakat modern kini. Dalam kehidupan yang materialistik, hedonistik, dan konsumtif, konsep martabat manusia telah mengalami pergeseran dari sesuatu yang bersifat inner menjadi sesuatu yang artifisial. Kebudayaan juga bergerak menuju arah pergeseran yang sama sehingga dalam apa yang disebut sebagai budaya pop, karakter yang menonjol adalah instan, dangkal, egosentris, dan market oriented. Orientasi pada nilai-nilai kehidupan yang bersifat sosial-kemanusiaan, atau idealisme tertentu dalam hubungan sesama manusia atau hubungan antara manusia dan alam, menjadi sesuatu yang asing dalam kebudayaan popular atau budaya pop. Padahal, orientasi budaya seperti inilah yang sebenarnya mampu menjaga harkat dan martabat manusia.
Budaya pop baru berorientasi pada nilai-nilai sosial-kemanusiaan ketika misalnya terjadi bencana atau perang. Bentuk orientasinya pun tidak melekat dalam karya, tapi menjadi kemasan belaka, seperti misalnya konser amal. Budaya pop menjadikan kepedulian sebagai sebuah kemasan belaka, meski mungkin sejatinya mereka peduli.
Dalam rentetan bencana yang menimpa sebagian rakyat Indonesia beberapa tahun terakhir ini, hal ini bisa kita lihat dengan jelas. Kepedulian akhirnya bisa terjebak menjadi sekadar sebuah komoditas yang dilekatkan pada produk budaya tertentu. Dalam bencana gempa di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Klaten, para korban gempa bahkan sampai merasa penderitaan mereka dijadikan sebagai objek wisata. Tentu saja hal ini sangat menyakitkan hati. Kita melihat orang berbondong-bondong datang mengunjungi desa-desa yang menjadi korban terparah. Sebagian besar yang berniat membantu segera memasang bendera mereka (entah perusahaan, entah LSM, entah Partai Politik, entah lembaga apa lagi) tinggi-tinggi. “Kami peduli”.
Benarkah itu kepedulian? Mungkin benar, tapi mungkin bukan kepedulian yang seharusnya. Kepedulian yang seharusnya terhadap para korban bencana yang menghancurkan kehidupan adalah kepedulian tanpa bendera apapun. Kepedulian yang meniadakan segala kepentingan kelompok, segala macam egosentrisme, dan segala pamrih sekecil apapun. Kepedulian semacam inilah sebenarnya yang harus dibangun dan dihidupkan kembali melalui sebuah gerakan kebudayaan yang membumi dan berbasis pada nilai-nilai kemanusiaan. Alatnya adalah kebudayaan. Karena kebudayaanlah yang mampu menggugah nurani secara tepat dan cepat. Hanya melalui sebuah gerakan kebudayaan dimungkinkan terjadinya rekonsiliasi atau revitalisasi sebuah kehidupan yang hancur, baik dihancurkan oleh manusia dan sistem kekuasaan yang berlaku, maupun dihancurkan oleh peristiwa alam yang sebenarnya juga dipicu oleh keserakahan dan kegilaan manusia.
Sekarang tinggal menumbuhkan bentuk-bentuk kebudayaan yang berorientasi pada nilai-nilai sosial-kemanusiaan atau idealisme apa saja dalam hubungan antara sesama manusia maupun antara manusia dengan alam semesta. Sangat tidak mudah, memang, karena ini berarti harus berhadapan dengan para produsen budaya pop yang hanya peduli pada keuntungan pemilik modal. Namun, sejumlah nama yang menjadi tokoh budaya pop, sebenarnya masih memiliki orientasi pada nilai-nilai idealisme. Sebut misalnya penulis serba bisa Remy Sylado. Ia bergulat dengan budaya pop tapi sekaligus memanfaatkan budaya pop sebagai alat untuk menyampaikan “idealisme”-nya. Beberapa nama lain yang juga melakukan upaya serupa secara konsisten misalnya, Iwan Fals, Oppie Andaresta, Rieke Dyah Pitaloka, dan beberapa artis dari dunia pop lainnya. Ini juga adalah sebuah alternatif perjuangan untuk melawan hegemoni budaya pop, yaitu dengan cara memengaruhi budaya tersebut agar menjadi lebih idealis.


Akhir sebuah Awal
Di akhir permenungan ini, baik kalau kembali disadari bahwa manusia-manusia dunia sekarang ini telah mengarah pada pendangkalan makna-makna hidup dengan adanya homogenitas budaya pop. Dan, bila tendensi ini terus dipelihara -atau bahkan, malahan dibudidayakan-, kehidupan ini semakin tidak ada artinya. Maka, yang menjadi urgensi adalah usaha-usaha internalisasi.
Bagaimanapun juga, permenungan ini hanyalah semata menjadi pemercik api. Kelak, api harus berkobar dengan sendirinya. Tanpa tindak lanjut yang jelas, permenungan ini hanyalah menjadi seonggok ide yang membusuk. Jadi, semuanya kembali pada diri masing-masing: apakah selama ini saya telah terjebak dalam arus homogenitas budaya pop. Lalu, maukah saya berbenah dan mengusahakan usaha-usaha internalisasi. Kembali pada diri sendiri itu penting karena sebuah pepatah mengatakan jangan mengubah orang lain sebelum bisa mengubah diri sendiri. Selamat berefleksi dan menciptakan hening!

DISKRIMINASI NEGARA PADA HAK EKOSOB
OLEH: JUANDA HME FT UNM
Berbagai bentuk pelanggaran yang terjadi pada negara ini merupakan indakasi yang sangat jelas dan merupakan pengabaian akan hak-hak rakyat atas klaiman yang terjadi selama,yang terjadi adalah pelanggaran terhadap hak-hak Ekosob tidak terungkap karena tidak adanya ruang untuk mempublikasikan penistaan Negara terhap hak-hak itu. Sebab, kebebasan pers adalah kemewahan yang tak terbeli dalam negara yang dikontrol oleh pemerintahan despotik. Karenanya, pengungkapan tragedi kelaparan, kematian akibat epidemic, dll menjadi aib yang selalu ditutupi oleh penguasa diktator. Jadi, dalam kalimat sederhana mungkin bisa dikatakan 'jangankan menuntut hak atas pelayanan kesehatan, hak berbicara saja masih belum terpenuhi'.

Hal tersebut menjadi penting untuk diungkap kembali, karena akhir-akhir ini kita seringkali mendengar 'gugatan' bahwa kesejahteraan ekonomi lebih terpenuhi ketika orde baru disbanding sekarang. Reformasi dianggap hanya mempersulit peningkatan kesejahteraan rayat. Padahal tudingan itu melupakan berbagai problem krusial terkait kesejahteraan dimasa orde baru, yang tidak terungkap karena tidak adanya kebebasan media di masa itu. Bukan karena hidup rakyat yang lebih sejahtera. Selain itu juga harus dipahami bahwa kondisi hidup rakyat yang semakin terpuruk saat ini adalah bagian dari problem masa lalu. Hal inilah yang mengakibatkan perjuangan atas hak-hak ekosob seringkali baru menjadi agenda prioritas setelah penguasa otoriter tumbang, seperti situasi tengah kita alami sekarang.
Kedua, dalam penegakan ke dua kovenan tersebut, terdapat dua strategi yang berbeda, yang dalam skema perekonomian global saat ini, justru semakin menjauhkan komitmen negara dalam pemenuhan Hak Ekosob. Sebab, kovenan yang mengatur masalah hak-hak Sipol, bertendensi membatas intevensi Negara dalam pemenuhannnya, sehingga lasim dikenal dengan istilah hak-hak negative (negative rights). Sementara upaya Pemenuhan hak-hak ekosob justru sebaliknya. Negara malah akan melakukan pelanggaran jika tidak aktif berperan dalam pemenuhan hak-hak ini.
Sehingga, hak Ekosob juga lasim dikenal sebagai hak-hak positif (positive rights). Namun, yang jadi perkara -terkait pemenuhan hak Ekosob – adalah kebijakan ekonomi sejak krisis mendera di tahun 1997 secara gambling diabdikan pada kepentingan pasar. Konsekwensinya, peran negara dalam aktivitas pemenuhan kesejahteraan rakyat dikurangi. Program pelayanan umum makin ditinggalkan oleh pemerintah, karena pendukung neoliberal meyakini bahwa pasar punya mekanisme sendiri untuk mengatur itu.
Peran negara dipangkas sedimikian rupa, menjadi hanya sebatas fasilitator bagi berkembangnya pasar. Hal ini tercermin dari alokasi APBN untuk bidang sosial yang terus dikebiri. Beban hutang yang luar biasa telah memaksa pemerintah untuk memperketat dan melakukan efisiensi dalam APBN. Sehingga, berbagai subsidi dikurangi, bahkan dicabut. Faktanya bisa diamati dari gencarnya IMF mendesak agar sektor-sektor pelayanan dasar segera diliberalisasi dan penghapusan berbagai subsidi di bidang yang terkati dengan hajat hidup orang banyak seperti tanah, air,dss.
Semua arah kebijakan tersebut hadir sebagai 'kutukan' dan malapetaka bagi rakyat, yang sudah termarjinalkan selama puluhan tahun. Sebab, policy itu memicu melonjaknya harga-harga barang, ditengah pendapatan rakyat yang semakin menurun. Hal tersebut, tentu saja semakin melemahkan daya beli masyarakat, yang diperburuk oleh ambisi pemerintah untuk terus menggenjot pendapatan dari sektor pajak.
Hasilnya adalah kesejahteraan rakyat semakin tergerus. Sebab, rakyat ditinggal sendirian menghadapi serangan program neoliberal yang hadir untuk merampas semua pelayanan dasar negara terhadap mereka. Kebijakan yang mengandung unsur subsidi negara, oleh IMF dianggap tidak produktif karena bertentangan dengan logika pasar. Oleh karena itu, kebijakan dimaksud, hanya akan semakin mempersempit akses masyarakat terhadap pemenuhan hak Ekosob, termasuk hak atas kesehatan karena biaya berobat yang semakin tak terjangkau. Contoh yang lebih telanjang adalah pengingkaran negara terhadap hak rakyat atas pendidikan, yang juga menjadi hak dasar yang diatur dalam kovenan Ekosob. Setiap tahun kita bisa meilihat betapa pemerintah melakukan pelanggaran terhadap amanat konstitusi, karena tidak pernah merealisasikan anggaran pendidikan yang telah diatur sebesar20%
Kebijakan pemulihaan ekonomi yang takluk buta dibawah komando program neo liberal seperti dipraktekan saat ini, akan semakin memperburuk realisasai komitmen pemerintah pada pemenuhan hak-hak Ekosob. Sebab, kebijakan tersebut pastinya tidak diarahkan untuk membangun ribuan ruang kelas yang ambruk yang secara nyata menafikan hak rakyat atas pendidikan. Selain itu kebijakan neoliberal tentu tidak akan peduli terhadap upaya peningkatan upah buruh, pelayanan kesehatan bagi masyarakat di daerah-daerah terpencil dan terisolir serta hak dasar lain yang terangkum dalam kovenan Ekosob. Karena, pembiayaan untuk sektor semacam ini, sekali lagi, hanya akan dianggap pemborosan.
Sehingga, secara kritis dapat dikatakan bahwa strategi pemulihan ekonomi yang tempuh saat ini lebih terlihat sebagai upaya untuk meladeni kepentingan neoliberal dan untuk melunasi hutang yang konon sulit terbayarkan bahkan untuk beberapa generasi kedepan.
Dalam situasi ketika negara seperti lepas tangan dari tanggung jawab sosialnya, nasib warga akan sangat ditentukan oleh aktivitas ekonomi mereka sendiri. Orang-orang yang tidak memiliki keahlian dan sumber
Daya ekonomi yang cukup akan termajinalisasi. Benar bahwa pemerintah mencoba melakukan upaya pemenuhan hak Ekosob melalui program-program seperti pembagian beras miskin (raskin), pemberian kartu berobat murah, pembagian Bantuan Langsung Tunai (BTL), bantuan operasional sekolah, dll. Namun, rangkaian program 'charity' tersebut, lebih terlihat sebagai pelipur lara atas dinaikkannya harga BBM.
Karenanya, perlindungan serupa itu hanya bersifat artificial, bukan jawaban terhadap penderitaan panjang yang mendera rakyat selama bertahun-tahun. Sebab, kebijakan yang diambil bukan merupakan program jangka panjang yang didukung langkah-langkah komprehensif untuk pencapain target-target yang terukur dalam rentang waktu tertentu.
Kondisi ini menjadi penjelas bahwa hak-hak Ekosob belum menjadi prioritas pemerintah dan secara gamlang menafikan konstitusi (UUD 1945) yang dalam pembukaannya telah secara tegas mengatur bahwa "tujuan bernegara adalah menciptakan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". (Analisi Mingguan LP2D, 2007) Disisi lain, economic recovery memang telah menunjukkan sinyal perbaikan, yang ditandai oleh nilai kurs Rupiah yang cenderung stabil. Namun, hal tersebut belum secara langsung dapat dinikmati oleh masyarakat secara umum.
Apalagi, seperti dilansir berbagai media, perbaikan kurs rupiah saat ini lebih dipengaruhi oleh banyaknya besaran investasi portofolio yang ditanamkan di pasar modal atau bursa saham. Bukan investasi asing langsung (foreign direct investment) yang datang untuk mengembangkan usaha di Indonesia. Seperti diketahui, investasi portfolio adalah jenis investasi yang dapat bergerak dalam hitungan detik, perpindahannya dari satu negara ke negara lain terjadi dalam satu kedipan mata. Sehingga para pelaku investasi model ini lebih tepat disebut spekulan ketimbang investor, yang jika melarikan modalnya ke luar negri bisa mengancam krisis ekonomi seperti yang terjadi di awal 1997.
Hal inilah yang menyebabkan kenapa perbaikan ekonomi saat ini tidak berbanding lurus dengan jumlah angka kemiskinan yang malah cenderung naik, serta angka pengangguran, angka anak putus sekolah dan berbagai wabah penyakit seperti, demam berdarah, flu burung, diare, dll, yang tidak pernah tertangani secara tuntas dan menjadi ancaman pembunuhan yang terus menghantui warga dalam setiap musim tertentu. Situasi ini tentu menjadi sebuah ironi ditengah gencarnya pemerintah mengkampanyekan perbaikan kondisi hak asasi manusia sebagai agenda utamanya.

DEMOKRASI INDONESIA:PANGGUNG MITOS ATAS NAMA RAKYAT
Oleh: Juanda UNM
“ jika dunia yang luas ini terasa sempit olehmu, maka bangunlah alam semesta didalam dadamu”(BUNG HATTA)
Dalam konteks demokrasi pada umumnya, selalu hadir pemaknaan yang sifatnya ambigu, dengan tawaran konsep yang ideal “ dari, oleh, dan untuk “,rakyat. pertanyaan kemudian “ demokrasi itu untuk siapa”. Karena bagi penulis, demokrasi baik itu dalam konteks kapitaisme maupun dalam konteks sosialisme ibarat bola salju yang akan menghantam kondisi kebangsaan secara perlahan namun pasti, dan akankah demokrasi bisa mengatasi ketimpangan yang terjadi di masyarakat, dimana rakyat akan selalu menjadi objek paling vital untuk dirugikan.
Dalam sebuah bukunya, Tan Malaka seorang tokoh dengan watak yang tak kenal lelah,seorang pemikir yang aktif, selalu menjelaskan akan bahaya demokrasi, sebuah kata yang selalu diucapkan dipuja dan didukung oleh mayoritas golongn terdidik oleh, dia berseru:
Dipandang dari penjuru ini maka” demokrasi” yang dibangga-banggakan oleh negara kapitalis itu, kalau diteropong dari besarnya golongan atau kelas yang sebenarnya memegang kekuasaan dan merasakan kemakmuran itu tiadalah sepdan dengan apa yang namanya” kedaulatan rakyat “. Yang benar berkuasa, makmur dan tentram kemakmurannya ialah kaum kapitalis, kaki tanganya akal kaum tengah dan sebagian kecil dari proleter atasan. Sebagian besar dari mereka yang mempunya itu diombang-ambingkan oleh krisis ekonomi dan peperangan.
Dalam tatanan masyarakat Indonesia, demokrasi bukan sesungguhnya demokrasi yang ada luar sana, dia lahir dari pergulatan yang sangat panjang, mulai dari sistem feodalismenya masyrakat sampai pada munculnya kolonialisme dan imperealisme bangsa barat, hal ini dimungkinkan karena sistem yang kemudian ditawarkan bukan juga berasal dari negera asalnya, sehingga tidak mengadopsi secara keseluruhan sistem tersebut. Sehingga demokrasi di Indonesia akan terlahir dari proses anarkisme lokal, sistem oligarki, dan sistem monarki. Maka wajar saja ketika pola interaksi para predator-predator rakyat yang terjadi dalam masyarakat justru menimbulkan keresahan-keresahan baru sifatnya mengabaikan hak-hak rakyat kecil, dan nyaris semua lini yang ada tengah masyrakat baik itu ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan menjadi lahan basah yang memungkinkan untuk mengoyak-ngoyak kedaulatan rakyat, karena sesungguhnya sebagaimana yang dibahasakan oleh BUNG HATTA bahwa” sesungguhnya kedaulatan itu ada ditangan rakyat, bukan pada negara karena sesungguhnya negara cuma akan menindas rakyatnya”. Oleh karena itu diperlukan sebuah terobosan baru dalam menata dan mencari dari hakikat demokrasi yang akan diterapkan.
Adapun klaiman bahwa tatanan demokrasi akan mencapai citi-cita perjuangannya pasca reformasi sepertinya akan menjadi sebuah cerita mitos yang akan penuh dengan kekosongan-kekosongan belaka, sebab dalam refleksi realitasnya cuma akan menhasilkan aliansi-aliansi yang tidak akan kokoh secaa ideologis dan secara komperensif, hal ini dikarenakan adanya berbagai campuran agenda yang sifatnya hanya populis, nasionalis, dan bahkan yang berbasis sosial demokrat sekalipun akan pecah akibat dari ambisi-ambisi politik yang bersaing dengan gaya baik secara ideologi maupn secara sistem struktural dan bisnis yang dulu dominan akan kemudian dipaksa untuk sebuah operasi dalam suatu arena dimana tarik-menarik politik dimediasi melalui tangan-tangan elektoral, dimana saluran kekuasaan adalah para pialang dan bandar politik.
Arus puncak dari gerakan dan terobosan perpolitikan Indonesai hari ini masih dalam bayang-bayang pesakitan yang tak kunjung sembuh, mulai dari budaya suap, nepotisme sampai pada penggadaian hak- hak rakyat yang semestinya menjadi sumber kesejahteraan dan kemakmuran. Ironisnya masyarakat hari cenderung bersikap paradoks dalam menilai kondisi yang dialaminya, ini salah satu indikasi yang sangat jelas bahwa proses demokrasi seakan sebuah bayang-bayang yang akan hilang bersamaan dengan proses peralihan kekuasaan, hal ini terjadi karena sikap kultur dan komitmem politik yang hanya sebatas pemenuhan kepentingan.

Menilai daripada dialektika demokrasi yang terjadi hari ini khususnya Indonesia, maka pada prisipnya, demokrasi itu sendiri harus mampu memberikan sebuah nilai-nilai yang strategis, terlepas dari hadirnya berbagai macam kepentingan yang selalu menjadi tujuan akhir, lewat ikon dan simbol-simbol atas nama rakyat.
Demokrasi sebagai seperangkat kondisi yang hanya akan dapat didekati lewat kehidupan nyata akan hadir dengan polesan dimana daya tanggap pemerintah yang terus-menerus terhadap pilihan para warganegaranya, dengan asumsi akan kesamaaan derajat, agar pemerintah tanggap maka, para warga negara akan diberikan pilihan untuk memiliki kemampuan dalam merumuskan pilihan mereka.
Substansi yang dihadirkan proses demokrasi berawal dari konsep bahwa setiap individu mempunyai kemampuan berpikir kearah yang lebih baik, sebagai sesuatu yang sama bagi semua individu, sehingga tujuan itu akan tercapai lewat keinginan untuk bertindak dan bernalar, sehinga setiap harapan akan kekuasaan mendapat tempat yang sinkrong dari garis demokrasi itu sendiri.
Oleh karena itu, idealnya pemerintah dalam hal ini sebagai perangkat yang memfasiltasi pilihan warganya, harus mampu memberikan apa yang akan kemudian menjadi hak-hak yang selama ini mengalami berbagai macam pengekanan yang berimbas pada kondisi psikologi rakyat, yang seolah menganggap bahwa tawaran demokrasi hari ini hanya buain yang tak punya makna, hal ini berawal dari sikap dari para komperador-komperdor demokrasi yang mengatasnamakan rakyat, tapi ternyata justru menjadi penggerogot yang mengkebiri rakyat itu sendiri.


RESESI EKONOMI SEBAGAI PUNCAK
KAPITALISME GLOBAL
Oleh: Juanda UNM
“Kalau kata-kata tidak bisa lagi menyehatkan pikiran yang keblinger, mungkin senjata yang bisa menghentikannya” (Soekarno )
Runtuhnya Wall Streeat, bursa saham terbesar di Amerika beberapa bulan yang lalu, seakan memberikan sedikit shock theraphy bagi kaum kapitalis hari ini, dalam kerangka perdagangan dunia, hal tersebut merupakan salah satu indikasi bahwa hegemoni kaum kapitalis mulai goyah. dalam hal ini ekonomi dunia dalam perspektif demokrasi akan membawa dampak yang negatif :
1. Pasar yang independen dari negara dapat menyebabkan lolos dari kendali demokrasi
2. Kompetisi pasar bebas hanya akan memperluas kesenjangan ekonomi dan kesenjangan sosial
3. Disposisi oasar membuat kedaulatan konsumen terlalu ditekang.
Ketiga pilihan diatas pada varian pilihan pertama dan kedua atas dasar pasar akan melemahkan pilihan politik karena Cuma akan mendahulkan kepentingan individu, sedangkan pilihan ketiga dalam logika self interest yang bersifat privat dapat mencaplok kehidupan publik,.sehingga secara konseptual akan menyebabkan terjadinya proses menuju sebuah kebebasan, namun tida dapat memberikan kemakmuran yang berarti,walaupn dalam konsep kapitalisme pasar adalah ebuah anugrah.
Dalam gagasan ekonomi-politik neoliberal, berlaku sebuah argemen bahwa” pertumbuhan ekonomi akan optimal jika dan hanya jika lalu lintas barang/jasa/ modal tidak dikontrol oleh regulasi siappun” dalam konteks ini ada sebuah tujuan yang substansib yang ingin kemudian ingin dicapai oleh noeliberal yakni kekuasaa, namun demikian proyek deregulasi yang dicanangkan oleh mereka sesungguhnya berisi deregulasi pada jangkauan kekuasaan pemilik modal dan asset finansial, sehingga akan mempermudah segala akses yang dilaksanakannya.
Dalam tata ekonomi noeliberal seperti ini maka, pemilik modal dengan mudah dapat menolak tuntutan para buruh maupun peraturan pemerintah, dengan memboikot penanaman modal ataupun akan mengancam hengkang dari suatu negara ke negara lain yang punya syarat lunak dan memberi intenif akumulasi yang lebih tinggi dan cepat.
Dalam konteks keIndonesiaan, adanya penguatan sistem finansial atau yang biasa disebut dengan stabiitasistem keuangan, hanyalah sebagai upaya dalam menghindari terjadinya kembali krisis ekonomi, akibatnya fungsisistem finansial sebagai sebuah perantar yang cerdas dengan mengumpulkan dana dari berbagai yang mengalami kelebihan untuk dialokasikan untuk pihak lain, itu kemudian menjadi terganggu. Sehingga apa yang kemudian menjadi prioritas pemeritah seolah menjadi kamuflase yang akan melemahkan kepercayaan publik.
Terlepas dari semua itu, ternyata buruknya sistem finansial akibat resesi ekonomi dunia, itu juga berimbas pada strategi pembangunan yang ditawarkan oleh pemerintah. Hal ini menyebabkan terjadinya variabel- variabel hutang luar negeri berada pada tingkatan yang mengkhawatiran. Hal itu juga akan didukung oleh tingkat kepercayan akan kekuatan investasi sama nilainya dengan keyakinan akan hutang luar negeri. Tak akan ada lagi keajaiban yang akan membantu proses pertumbuhan ekonomi, kecuali jalan menghamba pada perusahaan dan terus-meerus berhutang.
Bila dilihat dari sudut penggunaannya akan kekhawatiran tentang akibat yang akan dimunculkan oleh hutang luar negeri, maka tidak akan ada yang efektif dalam penanganan nya ,sebab penggunaaan tidak fektif dan nyaris tidak terarah. Oleh karena itu sebagin dari para pemilik modal yang sifatnya domestik, akan kemudaian menginvestasikan modal-modal mereka keluar negeri, sehingga Cuma sektor rill yang akan dalam hal ini UKM yang tidak akan dimiliki oleh pihak asing.
Pelarian yang dilakukan oleh para pemilik modal, akan menimbulkan sebuah mekanisme dengan pasar uang dan pasar modal akan lebih bebas dan terintegrasi dengan kuat terhadap kesempatan perolehan rente ekonomi yang besar bagi pemilik modal. Sehingga bursa saham dan pasar valuta asing adalah tempat perjudian legal dengan taruhan yang besar. Beanya dengan judi biasa, para pemilk modal besar bisa berubah-ubah baik secara pemain maupun sebagai bandar, dengan setingan sebuah kemenangan.
Adanya tawaran pada persoalan nasionalisasi yang diharapkan kan menjadi alternatif, juga tidak bisa menjadi jaminan yang akan lebih baik, sebab berangkat dari asumsi akan kehilangan sebuah kedaulatan atas banyak hal, baik nilai-nilai kemerdekaan maupun nilai-nilai secara ideologis, parahnya lagi semuanya itu dikhianati dengan berbagai dalil pengalihan oleh para pendukung neolib.
Jika benar itu adalah sebuah alternatif, maka secara kolektif kita harus menganut satu aliran yang bisa mengcounter rembesan paham itu.dengan konsep dasar, demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan yang diamanatkan oleh UUD 1945, Cuma dalam kapasitas teknis dengan mengadopsi berbagai pemikiran ekonomi, asal dengan prinsip dasar itu tadi, bahkan kita menolak mekanisme pasar sebagai salah satu alat bagi pemecahan masalah ekonomi, dengan langkah-langkah utang luar negeri pemerintah harus dinegosiasi secara serius. sehingga ketautan-ketakutan yangmenjadi sindrom pemerintah bisa teratasi.

UU BHP CACAT IDEOLOGI
Oleh : M. Aditya Perdana UNIVERSITAS LAMBAKIKPAPANUNG MANGKURAT

Ada "tradisi" menarik di Indonesia. Saat sebuah undang-undang disahkan, segera muncul penolakan dari masyarakat.
Nasib sama dialami Undang- Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Meski sudah disahkan, penolakan dari berbagai kelompok masyarakat segera "bergemuruh". Ada kelompok guru, dosen, mahasiswa, dan pengurus penyelenggara pendidikan yang menolak dengan beragam argumentasi.
CACAT IDEOLOGIS
Banyaknya argumentasi untuk menolak UU BHP tentu bisa dimaklumi. Namun, dari berbagai argumentasi itu, ada yang menarik diperhatikan, yaitu adanya cacat ideologis di dalamnya.
Setelah 10 tahun Indonesia memasuki era reformasi, ternyata banyak produk perundang-undangan yang cacat ideologis. Padahal, salah satu komitmen yang dideklarasikan pada awal reformasi adalah menciptakan produk hukum yang berdasarkan nilai-nilai luhur bangsa, yang bersumber dari Pancasila.
Produk hukum kita tidak lagi bersumber pada Pancasila, sumber segala sumber hukum, tetapi sudah tercerabut dari akar-akarnya dan lebih mengarah pada ideologi asing.
Bagaimana dengan UU BHP? Sama saja! ,UU BHP tidak selaras dengan ideologi bangsa. UU BHP juga merupakan produk perundangan yang individualistik dan kapitalistik karena diproduksi lembaga legislatif yang tidak berkualitas.
UU BHP yang telah disahkan mencederai roh pendidikan Indonesia. Mengapa? UU BHP memiliki roh kongsi dagang, mengingat lebih banyak mengacu kepada Washington Consensus dan ditindaklanjuti persetujuan WTO dan GATTS.
Seperti diketahui, terminologi Washington Consensus pertama kali dipresentasikan tahun 1990 oleh John Williamson, ekonom dari Institute for International Economics. Ia menggunakan istilah Washington Consensus untuk merangkum beberapa saran kebijakan dari berbagai institusi di Washington saat itu, seperti IMF, Bank Dunia, dan Departemen Keuangan AS.
Bagi negara-negara maju, Washington Consensus dianggap sebagai solusi untuk memecahkan persoalan keuangan di dunia, khususnya bagi negara-negara berkembang. Meski demikian, banyak negara berkembang menganggap Washington Consensus sebagai teori konspirasi untuk memindahkan kesalahan pemerintahan negara maju kepada dinamika pasar.
Terlepas dari anggapan mana yang benar, butir-butir kesepakatan Washington Consensus memang berorientasi pada ekonomi kapitalistik. Maka, patut disayangkan jika UU BHP lebih banyak mengacu kepada Washington Consensus sehingga melahirkan roh kongsi dagang di dalamnya.


UJI MATERI
Benarkah UU BHP mempunyai cacat ideologis karena tidak selaras dengan ideologis bangsa? Benarkah UU BHP mengandung roh kongsi dagang akibat penyusunannya terlalu mengacu kepada Washington Consensus? Jawaban atas aneka pertanyaan ini sebaiknya segera kita pikirkan selagi ada cara untuk menggugat keputusan pengesahan itu.
Forum paling tepat untuk mencari jawaban itu adalah uji materi yang dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK). Secara obyektif, para hakim MK akan menguji apakah substansi UU BHP ada yang tidak sejalan dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Jika benar UU BHP mempunyai cacat ideologis serta mengandung roh kongsi dagang bernuansa kapitalistik, tentu tidak sejalan dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945.
Apakah MK tidak akan memihak pemerintah? Seharusnya tidak! Secara empirik, keputusan MK sering menguntungkan pemerintah, tetapi sesekali juga merugikan pemerintah. Menguntungkan pemerintah misalnya dalam kasus memasukkan gaji pendidik ke anggaran pendidikan, sementara merugikan pemerintah misalnya dalam kasus penyegeraan pemenuhan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN oleh pemerintah.
Beberapa kelompok masyarakat menghendaki segera dilakukan uji materi UU BHP, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo pun mempersilakan. Adapun Ketua MK Mahfud MD menyatakan siap melakukan uji materi secara profesional.

MENUJU IMPLEMENTASI UU BHP
Berbagai kontroversi di atas seharusnya bermuara pada satu pertanyaan, dapatkah UU BHP ini diimplementasikan untuk menjamin kualitas pendidikan kita yang semakin baik?
Penulis sendiri berposisi mendukung penguatan profesionalisme otonomi penyelenggaraan pendidikan, tanpa harus melepaskan tanggung jawab negara terhadap pendanaan pendidikan. Tentu saja dengan berbagai catatan, bahwa implementasi UU BHP tidak boleh menyebabkan komersialisasi pendidikan yang dapat membatasi hak-hak masyarakat --termasuk golongan tidak mampu-- untuk menikmati pendidikan.
Pun bantuan dan subsidi yang diberikan oleh negara terhadap pendidikan tidak boleh menyebabkan hilangnya kreativitas dan inovasi lembaga pendidikan untuk melakukan knowledge sharing dan knowledge creation. Jika dilihat dari pasal-pasal dalam UU BHP, sejatinya cukup melegakan bahwa tanggung jawab negara dalam pendidikan tidak hilang dan dihilangkan.
Demikian pula tuntutan UU BHP untuk akuntabilitas, keterbukaan, partisipasi dan transparansi dalam penyelenggaraan pendidikan. Yang justru dikhawatirkan adalah kemampuan negara untuk membiayai 1/3 biaya operasional (pendidikan menengah) dan 1/2 biaya operasional (pendidikan tinggi) bagi seluruh BHPP dan BHPPD. Nilai itu belum termasuk biaya investasi, beasiswa, dan subsidi lain.
Dana ini juga belum termasuk bantuan pemerintah dan pemerintah daerah kepada BHPM. Jika pemerintah tak memiliki dana cukup untuk membiayai itu semua, maka kekhawatiran sejumlah mahasiswa dalam praktik PT BHMN selama ini akan terjadi. Hal lain yang cukup mengganggu, sering kali implementasi UU terhambat oleh buruknya kapasitas sistem birokrasi negara.
Jika bantuan dana tersebut dilakukan melalui birokrasi negara, bukan tidak mungkin proses pendidikan secara keseluruhan juga akan terwarnai oleh buruknya kompetensi dan rusaknya moralitas birokrasi. Kepada seluruh pemangku kepentingan penulis menghimbau, mari kita diskusikan polemik BHP ini dengan kerangka dan tujuan yang sama: untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.


Kapitalisme: Sebuah Modus Eksistensi
Oleh: Yusran Bachtiar
Universitas Muhammadiyah Parepare (UMPAR)
I. PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN KAPITALISME
I.1. Pengertian Kapitalisme
Kapitalisme adalah sistem perekonomian yang menekankan peran kapital (modal), yakni kekayaan dalam segala jenisnya, termasuk barang-barang yang digunakan dalam produksi barang lainnya (Bagus, 1996). Ebenstein (1990) menyebut kapitalisme sebagai sistem sosial yang menyeluruh, lebih dari sekedar sistem perekonomian. Ia mengaitkan perkembangan kapitalisme sebagai bagian dari gerakan individualisme. Sedangkan Hayek (1978) memandang kapitalisme sebagai perwujudan liberalisme dalam ekonomi.
Menurut Ayn Rand (1970), kapitalisme adalah "a social system based on the recognition of individual rights, including property rights, in which all property is privately owned". (Suatu sistem sosial yang berbasiskan pada pengakuan atas hak-hak individu, termasuk hak milik di mana semua pemilikan adalah milik privat).
Heilbroner (1991) secara dinamis menyebut kapitalisme sebagai formasi sosial yang memiliki hakekat tertentu dan logika yang historis-unik. Logika formasi sosial yang dimaksud mengacu pada gerakan-gerakan dan perubahan-perubahan dalam proses-proses kehidupan dan konfigurasi-konfigurasi kelembagaan dari suatu masyarakat. Istilah "formasi sosial" yang diperkenalkan oleh Karl Marx ini juga dipakai oleh Jurgen Habermas. Dalam Legitimation Crisis (1988), Habermas menyebut kapitalisme sebagai salah satu empat formasi sosial (primitif, tradisional, kapitalisme, post-kapitalisme).
I.2. Sejarah Perkembangan Kapitalisme
Robert E. Lerner dalam Western Civilization (1988) menyebutkan bahwa revolusi komersial dan industri pada dunia modern awal dipengaruhi oleh asumsi-asumsi kapitalisme dan merkantilisme. Direduksi kepada pengertian yang sederhana, kapitalisme adalah sebuah sistem produksi, distribusi, dan pertukaran di mana kekayaan yang terakumulasi diinvestasikan kembali oleh pemilik pribadi untuk memperoleh keuntungan. Kapitalisme adalah sebuah sistem yang didisain untuk mendorong ekspansi komersial melewati batas-batas lokal menuju skala nasional dan internasional. Pengusaha kapitalis mempelajari pola-pola perdagangan internasional, di mana pasar berada dan bagamana memanipulasi pasar untuk keuntungan mereka. Penjelasan Robert Learner ini paralel dengan tudingan Karl Marx bahwa imperialisme adalah kepanjangan tangan dari kapitalisme.
Sistem kapitalisme, menurut Ebenstein (1990), mulai berkembang di Inggris pada abad 18 M dan kemudian menyebar luas ke kawasan Eropa Barat laut dan Amerika Utara. Risalah terkenal Adam Smith, yaitu The Wealth of Nations (1776), diakui sebagai tonggak utama kapitalisme klasik yang mengekspresikan gagasan "laissez faire"1) dalam ekonomi. Bertentangan sekali dengan merkantilisme yaitu adanya intervensi pemerintah dalam urusan negara. Smith berpendapat bahwa jalan yang terbaik untuk memperoleh kemakmuran adalah dengan membiarkan individu-individu mengejar kepentingan-kepentingan mereka sendiri tanpa keterlibatan perusahaan-perusahaan negara (Robert Lerner, 1988).
Awal abad 20 kapitalisme harus menghadapi berbagai tekanan dan ketegangan yang tidak diperkirakan sebelumnya. Munculnya kerajaan-kerajaan industri yang cenderung menjadi birokratis uniform dan terjadinya konsentrasinya pemilikan saham oleh segelintir individu kapitalis memaksa pemerintah (Barat) mengintervensi mekanisme pasar melalui kebijakan-kebijakan seperti undang-undang anti-monopoli, sistem perpajakan, dan jaminan kesejahteraan. Fenomena intervensi negara terhadap sistem pasar dan meningkatnya tanggungjawab pemerintah dalam masalah kesejahteraan sosial dan ekonomi merupakan indikasi terjadinya transformasi kapitalisme. Transformasi ini, menurut Ebenstein, dilakukan agar kapitalisme dapat menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan ekonomi dan sosial. Lahirlah konsep negara kemakmuran (welfare state) yang oleh Ebenstein disebut sebagai "perekonomian campuran" (mixed economy) yang mengkombinasikan inisiatif dan milik swasta dengan tanggungjawab negara untuk kemakmuran sosial.
Habermas memandang transformasi itu sebagai peralihan dari kapitalisme liberal kepada kapitalisme lanjut (late capitalism. organized capitalism, advanced capitalism). Dalam Legitimation Crisis (1988), Habermas menyebutkan bahwa state regulated capitalism (nama lain kapitalisme lanjut) mengacu kepada dua fenomena: (a) terjadinya proses konsentrasi ekonomi seperti korporasi-korporasi nasional dan internasional yang menciptakan struktur pasar oligopolistik, dan (b) intervensi negara dalam pasar. Untuk melegitimasi intervensi negara yang secara esensial kontradiktif dengan kapitalisme liberal, maka menurut Habermas, dilakukan repolitisasi massa, sebagai kebalikan dari depolitisasi massa dalam masyarakat kapitalis liberal. Upaya ini terwujud dalam sistem demokrasi formal.
II. PRINSIP-PRINSIP DASAR KAPITALISME
II.1. Tiga Asumsi Kapitalisme Menurut Ayn Rand
Ayn Rand dalam Capitalism (1970) menyebutkan tiga asumsi dasar kapitalisme, yaitu: (a) kebebasan individu, (b) kepentingan diri (selfishness), dan (c) pasar bebas.
Menurut Rand, kebebasan individu merupakan tiang pokok kapitalisme, karena dengan pengakuan hak alami tersebut individu bebas berpikir, berkarya dan berproduksi untuk keberlangsungan hidupnya. Pada gilirannya, pengakuan institusi hak individu memungkinkan individu untuk memenuhi kepentingan dirinya. Menurut Rand, manusia hidup pertama-tama untuk dirinya sendiri, bukan untuk kesejahteraan orang lain. Rand menolak keras kolektivisme, altruisme, mistisisme. Konsep dasar bebas Rand merupakan aplikasi sosial dan pandangan epistemologisnya yang natural mekanistik. Terpengaruh oleh gagasan "the invisible hand" dari Smith, pasar bebas dilihat oleh Rand sebagai proses yang senantiasa berkembang dan selalu menuntut yang terbaik atau paling rasional. Smith pernah berkata: "...free marker forces is allowed to balance equitably the distribution of wealth". (Robert Lerner, 1988).
II.2. Akumulasi Kapital
Heilbroner (1991) menelaah secara mendalam pengertian hakiki dari kapital. Apa yang dimaksud dengan kapital sehingga dapat menjelaskan formasi sosial tempat kita hidup sekarang adalah kapitalisme? Heilbroner menolak memperlakukan kapital hanya dalam kategori hal-hal yang material berupa barang atau uang. Menurutnya, jika kapital hanya berupa barang-barang produksi atau uang yang diperlukan guna membeli material dan kerja, maka kapital akan sama tuanya dengan peradaban.
Menurut Heilbroner, kapital adalah faktor yang mnggerakkan suatu pross transformasi berlanjut atas kapital-sebagai-uang menjadi kapital-sebagai-komoditi, diikuti oleh suatu transformasi dari kapital-sebagai-komoditi menjadi kapital-sebagai uang yang bertambah. Inilah rumusan M-C-M yang diperkenalkan Marx.
Proses yang berulang dan ekspansif ini memang diarahkan untuk membuat barang-barang dan jasa-jasa dengan pengorganisasian niaga dan produksi. Eksistensi fisik benda dan jasa itu merupakan suatu rintangan yang harus diatasi dengan mengubah komoditi menjadi uang kembali. Bahkan kalau hal itu terjadi, bila sudah terjual, maka uang itu pada gilirannya tidak dianggap sebagai produk akhir dari pencarian tetapi hanya sebagai suatu tahap dalam lingkaran yang tak berakhir.
Karena itu, menurut Heilbroner, kapital bukanlah suatu benda material melainkan suatu proses yang memakai benda-benda material sebagai tahap-tahap dalam eksistensi dinamiknya yang berkelanjutnya. Kapital adalah suatu proses sosial, bukan proses fisik. Kapital memang mengambil bentuk fisik, tetapi maknanya hanya bisa dipahami jika kita memandang bahwa benda-benda material ini mewujudkan dan menyimbolkan suatu totalitas yang meluas.
Rumusan M-C-M (Money-Commodity-Money) yang diskemakan Marx atas metamorfosis yang berulang dan meluas yang dijalani kapital merupakan penemuan Marx terhadap esensi kapitalisme, yaitu akumulasi modal. Dalam pertukaran M-C-M tersebut uang bukan lagi alat tukar, tetapi sebagai komoditas itu sndiri dan menjadi tujuan pertukaran.

Demokrasi di Indonesia
Oleh: Yusran Bachtiar
Universitas Muhammadiyah Parepare (UMPAR)

Bisa dikatakan bahwa Indonesia sangat berpotensi menjadi kiblat demokrasi di kawasan Asia, berkat keberhasilan mengembangkan dan melaksanakan sistem demokrasi. Menurut Ketua Asosiasi Konsultan Politik Asia Pasifik (APAPC), Pri Sulisto, keberhasilan Indonesia dalam bidang demokrasi bisa menjadi contoh bagi negara-negara di kawasan Asia yang hingga saat ini beberapa di antaranya masih diperintah dengan ‘tangan besi’. Indonesia juga bisa menjadi contoh, bahwa pembangunan sistem demokrasi dapat berjalan seiring dengan upaya pembangunan ekonomi. Ia menilai, keberhasilan Indonesia dalam bidang demokrasi yang tidak banyak disadari itu, membuat pihak luar termasuk Asosiasi Internasional Konsultan Politik (IAPC), membuka mata bangsa Indonesia, bahwa keberhasilan tersebut merupakan sebuah prestasi yang luar biasa. Prestasi tersebut juga menjadikan Indonesia sangat berpotensi mengantar datangnya suatu era baru di Asia yang demokratis dan makmur.
Dalam kesempatan yang sama, Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono yang akrab disapa SBY menerima anugerah medali demokrasi. SBY pun memaparkan panjang lebar perjalanan demokrasi Indonesia. Menurutnya, demokrasi Indonesia merupakan jawaban terhadap skeptisme perjalanan demokrasi di negeri ini. Beliau pun mencontohkan beberapa nada skeptis yang ditujukan kepada Indonesia. Pertama, demokrasi akan membawa situasi kacau dan perpecahan. Demokrasi di Indonesia hanyalah perubahan rezim, demokrasi akan memicu ekstrimisme dan radikalisme politik di Indonesia. Beliau pun menambahkan bahwa demokrasi di Indonesia menunjukkan Islam dan moderitas dapat berjalan bersama. Dan terlepas dari goncangan hebat akibat pergantian 4 kali presiden selama periode 1998-2002, demokrasi Indonesia telah menciptakan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Selain itu, Indonesia juga telah berhasil menjadi sebuah negara demokrasi terbesar di dunia dan melaksanakan pemilu yang kompleks dengan sangat sukses.
Meski pada awalnya banyak yang meragukan pelaksanaan demokrasi di Indonesia, kenyataannya demokrasi di Indonesia saat ini telah berusia 10 tahun dan akan terus berkembang. Sebagian orang pernah berpendapat bahwa demokrasi tidak akan berlangsung lama di Indonesia, karena masyarakatnya belum siap. Mereka juga pernah mengatakan bahwa negara Indonesia terlalu besar dan memiliki persoalan yang kompleks. Keraguan tersebut bahkan menyerupai kekhawatiran yang dapat membuat Indonesia chaos yang dapat mengakibatkan perpecahan.
Sementara itu, mantan wakil perdana menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, yang turut hadir menyebutkan bahwa demokrasi telah berjalan baik di Indonesia dan hal itu telah menjadikan Indonesia sebagai negara dengan populasi 4 besar dunia yang berhasil melaksanakan demokrasi. Hal ini juga membuat Indonesia sebagai negara berpenduduk Islam terbesar di dunia yang telah berhasil menerapkan demokrasi. Dia juga berharap agar perkembangan ekonomi juga makin meyakinkan sehingga demokrasi bisa disandingkan dengan kesuksesan pembangunan. Hal tersebut tentunya bisa terjadi bila demokrasi dapat mencegah korupsi dan penumpukan kekayaan hanya pada elit tertentu.

Politik Dualistik
Ada dua hal yang perlu digarisbawahi ketika kita memperbincangkan demokrasi berikut problematikanya di Indonesia. Pertama, ketika memperbincangkan demokrasi, sadar atau tidak, kebanyakan kaum terdidik kita selalu merujuk pada demokrasi dalam pengertian sejarah dan praksis politik di Barat. Karena itu, demokrasi cenderung menjadi wacana elitis yang terbatas di kalangan politisi dan kaum akademisi. Ia terus direproduksi dan didaur ulang, meski kultur politik demokratis di kalangan elite tidak tumbuh dengan baik seperti yang diimajinasikan. Sementara itu, rakyat mempunyai pengertian dan tradisi sendiri tentang demokrasi berdasar pengalaman nyata dan nilai-nilai yang dimiliki.
Dalam konteks tersebut, sebagaimana dulu JH Boeke pernah mengenalkan teori ekonomi dualistis, kita tampaknya juga perlu mengakomodasi dan mengapresiasi sistem politik dualistik yang hidup di tengah bangsa ini. Dalam hal itu, di satu sisi ada sistem politik liberal dalam pengertian Barat yang hidup di kalangan elite. Sistem tersebut didasarkan atas pola pemikiran dan gaya hidup kita yang didominasi nilai-nilai Barat, yaitu pemikiran yang -meminjam istilah Maude Barlow (2001)- dikendalikan oleh free-market ideology dan gaya hidup Barat.

Di sisi lain, ada politik masyarakat lokal yang berbasis pada tradisi setempat. Kita harus arif untuk tidak memaksakan demokrasi dalam pengertian Barat menjadi tata nilai universal karena hal itu bisa mematikan nilai-nilai dan kreativitas masyarakat dan tradisi yang ada. Bangsa yang tanpa tradisi pada akhirnya tidak akan pernah memiliki sistem dan kultur politik yang kukuh. Selain soal pengembangan nilai-nilai dan kebudayaan nasional, kearifan untuk tidak memperlakukan demokrasi Barat secara universal didasarkan atas pertimbangan filsafat politik yang sangat mendasar. Seperti dikatakan Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya, A Young Muslim’s Guide to the Modern World (1993), filsafat Barat tidak didasarkan pada sesuatu yang permanen, tetapi pada penggunaan pikiran dan data empiris sehingga selalu muncul paham dan tren baru.
Sejak masa pencerahan, Barat telah meninggalkan tradisionalisme Kristen yang berusaha mencapai sintesis antara iman dan akal seperti digagas St Thomas Aquinas. Pemikiran Barat memberontak melawan Tuhan, kemudian lahirlah paham seperti rasionalisme, empirisme, humanisme, eksistensialisme dan liberalisme, yang menjauhkan manusia dari dimensi sakral.
Filsafat atau pandangan hidup Islam -termasuk filsafat Timur- selalu disandarkan pada "sesuatu yang tetap", yaitu Alquran dan Hadis. Pemikiran Islam juga tidak pernah melawan Allah. Karena itu, upaya-upaya liberalisasi pemikiran masyarakat Islam, kalau tidak dimengerti betul perbedasar landasan filsafat itu, hanya akan menghasilkan perubahan di permukaan
Kedua, demokratisasi dalam pengertian Barat pada dasarnya adalah titik masuk bagi proses liberalisasi ekonomi dan kultural secara menyeluruh. Demokratisasi adalah proses menuju pelembagaan ekonomi pasar sekaligus awal pembentukan tata monokultur global.
Dalam arus demikian, seperti yang terjadi di Indonesia saat ini, demokratisasi cenderung berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah pengangguran dan penduduk miskin. Pada saat yang sama, ia berjalan seiring dengan degradasi kultur yang ditandai hancurnya tradisi dan nilai-nilai yang ada dalam kultur masyarakat setempat. Masyakat pun makin terasing dan terjebak dalam aktivitas tanpa makna karena tidak ada lagi tradisi yang menjadi landas pijak dan mengisi ruang batin kolektif.
Kepemimpinan Nasional
Proses seperti itu bisa diatasi dan diminimalisasikan jika kita bisa membangun suatu kepemimpinan nasional yang kuat seperti yang terjadi di beberapa negara Asia dan Amerika Latin. Rusia, misalnya, bisa kembali menjadi negara adidaya karena pemimpin nasionalnya bisa menjinakkan liberalisasi politik dan ekonomi yang telanjur dibuka Mikhail S. Gorbachev.
Kepemimpinan nasional yang kuat bisa terbentuk dengan dua syarat utama. Pertama, adanya figur pemimpin nasional yang berani, berkarakter, visioner, dan tulus hati. Yaitu pemimpin yang berani mengambil keputusan tegas jika menyangkut nasib rakyat dan kepentingan nasional yang utama. Tiongkok atau Rusia sama sekali tidak menolak liberalisasi, tetapi figur seperti Vladimir Putin mampu meminimalisasi akses negatif dari proses itu dengan mengimplementasikan liberalisasi berdasar kepentingan dan kebutuhan nasionalnya. Istilahnya "liberalisme terkontrol". Dengan keteguhan dan keberaniannya, ia tidak bisa didikte negara lain, tetapi juga selalu menjaga hubungan baik dengan semua negara.
Kedua, kepemimpinan nasional yang kuat mensyaratkan bersatunya elite politik. Tanpa ada persatuan di kalangan elite -meski mereka berbeda partai politik atau agama- kepemimpinan nasional akan rapuh, cenderung pragmatis dan hedonistik, serta mudah diintervensi kepentingan luar. Karena itu, para pemimpin seharusnya mulai belajar untuk rendah hati dan dewasa. Mereka perlu meninggalkan egoisme kelompok dan pribadi untuk suatu kepentingan strategis dan jangka panjang. Dengan kebersamaan tersebut, secara bertahap kompleksitas persoalan bangsa bisa diselesaikan. Tanpa persatuan di kalangan elite, kebangkitan bangsa dari keterpurukan akan menjadi jargon belaka.
Mentalitas elite adalah kunci utama menuju perubahan. Sistem atau nilai apa pun yang dijalankan, pada akhirnya yang menentukan adalah mentalitas para elite. Demokratisasi seperti apa pun yang dipilih seharusnya diorientasikan secara nyata untuk kesejahteraan rakyat dan penguatan identitas nasional serta karakter bangsa.

BHP, Pembodohan Terselubung
Oleh: Yusran Bachtiar
Universitas Muhammadiyah Parepare (UMPAR)
“UU BHP”Awalnya berpandangan sama saja dengan org-org yg sebaris dengan mereka yakni para penggagas draf UU BHP yang katanya adalah untuk tujuan meningkatkan mutu pendidikan setaraf pendidikan internasional(tolong diralat apabila info yg sy dpt slh),betapa tidak,toh isinya saja sy belum dpt melihat n itu bukan karena saya tidak niat namun karena sulitnya akses untuk itu(katanya UU BHP sdh ditetapkan pd bln des 2008 dimana seharusnya pihak2 terkait sdh bisa mereview hasil prodak dengan dalih ajaz transparansi,ternyata disini saja sdh ada yg keliru)ada apa ini?
kemudian,mungkin alibi politisi nya bisa dibenarkan akan tetapi saya berpandangan dengan pemikiran sederhana saja,klu memang demikian sasranya,letak pertanyaanya,mengapa biaya pendidikan hanya akan menjadi ajang rebutan para pemilik modal?yg artinya,menengah kebawah akan kesulitan untuk memenangkan kompetisi pendidikan itu sendiri dikarenakan benturan registrasi pasca kompetensi reguler,pintar tiada uang mau apa?terkecuali semua peserta uji tes yg diterima diberi kesempatan yg sama,arti kata beasiswa tidak dibatasi.
Setelah terlaksananya perubahan beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi badan hukum milik negara (BHMN), kini muncul rencana untuk melaksanakan hal yang sama di beberapa PTN lain. PTN yang telah berubah menjadi BHMN tersebut adalah UI, ITB, UGM, IPB, UPI, USU dan Unair. BHP (Badan Hukum Pendidikan) merupakan perluasan dari status BHMN yang nantinya akan diterapkan pada PT lainnya, bahkan pada pendidikan dasar dan menengah.
Tujuan dari perubahan status PTN tersebut atau lebih sering disebut dengan otonomi kampus adalah untuk memberikan wewenang secara mandiri dalam pengelolaannya. Kampus diberikan kreativitas sebesar-besarnya untuk mencari sumber pendanaannya. Di antara bentuk kreativitas yang dimaksud adalah kreativitas dalam mengembangkan kompetensi kampus sebagai basis riset sehingga dapat menghasilkan banyak paten, serta income generating technology.
Akan tetapi, sejak pelaksanaan otonomi kampus pada tahun 1999, di beberapa PT-BHMN terjadi kenaikan biaya pendidikan, bahkan sampai tiga kali lipat. Selanjutnya, ada trend di beberapa PTN/universitas tersebut menerima mahasiswa baru dengan jalur khusus yang disertai dengan biaya khusus, hingga 60 jutaan. Sedangkan untuk program regular juga mengalami kenaikan yang signifikan, yaitu hingga 25 juta. Dengan demikian, otonomi kampus nampaknya lebih cenderung pada bentuk komersialisasi pendidikan.
Paradigma Baru Pendidikan Tinggi
Otonomi kampus dilatarbelakangi oleh krisis yang dialami oleh negara ini, diantaranya menyebabkan negara kesulitan dalam memenuhi anggaran belanja negara di bidang pendidikan. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Di lain pihak, globalisasi menuntut adanya kompetisi, transparansi dan aturan sesuai sistem pasar.
Pendidikan kemungkinan adalah vaksin terbaik dan satu-satunya untuk melawan dampak terburuk yang diakibatkan oleh globalisasi. Oleh karena itu perlu restrukturisasi pendidikan, yaitu akuntabel terhadap publik, efisiensinya tinggi, kualitas dan relevansi output, manajemen internal yang transparan dan sesuai standar mutu, serta responsif dan adaptif terhadap perubahan. Sejalan dengan konsep tersebut, maka pendidikan tidak sepenuhnya menjadi tanggungan negara (lagi) tetapi dari dana masyarakat, sehingga mereka memiliki hak untuk mengawasi kinerja universitas. Selanjutnya, dikenal lima pilar paradigma baru dalam pengelolaan pendidikan tinggi, yaitu mutu, otonomi, akuntabilitas, akreditasi dan evaluasi.
Otonomi kampus, diantaranya dengan kebebasan finansial juga dimaksudkan untuk menciptakan independensi kampus. Sehingga universitas sebagai moral force dapat menjalankan perannya untuk mendukung pembangunan nasional. Demikian menurut Dirjen Pendidikan Tinggi, Satryo Soemantri Brodjonegoro, dalam makalahnya Higher Education Reform in Indonesia.
Untuk mengimplementasikan paradigma baru tersebut, pemerintah mendorong otonomi kampus. Tahap awal dari proses otonomi kampus tersebut adalah perubahan struktur organisasi dan demokratisasi kampus. Pada struktur yang baru tersebut, universitas tidak lagi bertanggung jawab secara langsung kepada menteri (DIKNAS) tetapi pada Majelis Wali Amanat (MWA), sebagai stakeholders dari universitas yang terdiri dari unsur pemerintah, senat akademik, dosen, mahasiswa dan masyarakat. Tahun 2000, otonomi kampus di Indonesia ini juga telah menjadi kajian dalam disertasi Eric Beerkens, pakar kebijakan pendidikan tinggi Belanda yang saat itu sebagai kandidat doktor pada University of Twente, Belanda.
Dampak Privatisasi Pendidikan
Pendidikan merupakan hak setiap warganegara. Oleh karena itu, negaralah yang seharusnya mengelola bidang pendidikan, baik pembiayaan maupun kurikulumnya. Karena, baik/buruknya pendidikan akan berdampak langsung bagi baik/buruknya suatu negara. Paradigma baru dalam bidang pendidikan tersebut, seperti sebuah gagasan yang mulia. Akan tetapi, dampak yang nampak saat ini adalah privatisasi dan komersialisai pendidikan.
Privatisasi pendidikan tentu saja akan melepaskan negara dari tanggung jawabnya untuk memenuhi kebutuhan dasar warganegaranya akan pendidikan. Dampak yang akan langsung terlihat adalah berkurangnya subsidi pendidikan, sehingga biaya pendidikan akan semakin mahal. Dengan kondisi ini, maka tidak menutup kemungkinan pendidikan (tinggi) hanya akan menjadi sebuah khayalan bagi sebagian besar warganegara negeri ini sebagaimana di jaman kolonial Belanda dulu. Akibatnya, persentase rakyat yang bodoh semakin tinggi.
Konsep subsidi silang dalam dunia pendidikan, yaitu pemberian beasiswa bagi golongan tidak mampu yang diambil dari biaya pendidikan dari golongan kaya, menurut penulis tidak akan efektif. Hal ini karena jumlah golongan tidak mampu lebih banyak daripada golongan mampu. Disamping itu juga harus diperhatikan dampak psikis yang mungkin akan muncul, jika biaya pendidikan golongan tidak mampu menjadi beban bagi golongan mampu. Oleh karena itu, menjadikan pendidikan dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat adalah lebih bijak.
Dampak lain dari privatisasi pendidikan adalah tidak bisa dielakkannya praktik komersialisasi pendidikan. Ilmu pengetahuan layaknya sebuah komoditas perdagangan. Hal ini seperti yang disampaikan Dirjen Dikti dalam makalahnya diatas bahwa “The distinction between knowledge and commodity has narrowed”. Pendapat ini tidak jauh dari tafsiran “jika ingin mendapatkan pendidikan yang berkualitas, maka harus rela membayar mahal”. Akibatnya, konsep ’mengamalkan’ ilmu lebih karena dorongan materi daripada untuk ’ibadah’, yaitu untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan selama kuliah.
Di sisi lain, hubungan peserta didik/mahasiswa dengan guru/dosen yang diibaratkan seperti anak dan orang tua akan luntur. Hal ini karena mereka merasa telah membayar mahal dan harus mendapatkan pelayanan terbaik. Tuntutan lebih diakibatkan karena dorongan materialisme. Sebagaimana dalam dunia perdagangan, konsumen adalah raja. Tidak menutup kemungkinan, kondisi ini akan merubah norma yang selama ini kita yakini, bahwa guru adalah orang tua kedua yang juga harus kita hormati.

SELESAIKAN PELANGGARAN BERAT HAM
Oleh: Yusran Bachtiar
Universitas Muhammadiyah Parepare (UMPAR)
Mayoritas masyarakat kita enggan mempersoalkan penyelesaian pelanggaran berat HAM pada masa lalu. Padahal, pelanggaran berat HAM selama Orde Baru (Orba) berkuasa berlangsung secara sistematis dan masif. Kita akan dinilai sebagai bangsa yang tak beradab, jika mengetahuinya, tetapi mengunci hati nurani, seolah-olah tidak pernah terjadi.kemauan politik

Presiden harus punya kemauan politik untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) masa lalu. Namun, selama ini kemauan politik itu tak terlihat. Sebagai contoh, presiden tidak menanggapi dua surat Ketua Komnas HAM guna membicarakan kondisi dan kasus pelanggaran berat HAM tahun 1997-1998. Kasus penculikan aktivis dibiarkan mengambang. Presiden jarang bicara jelas soal pelanggaran berat HAM dan penyelesaiannya
.
Presiden juga bersikap tidak peduli terhadap Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Panitia seleksi calon KKR telah menyampaikan 42 nama ke presiden, tetapi lebih dari satu tahun presiden tidak mengutiknya untuk memilih 21 nama sesuai perintah Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR. Bahkan sesudahnya Mahkamah Konstitusi membatalkan UU itu. Presiden seolah-olah sengaja membiarkan Mahkamah Konstitusi membantai UU itu.

Penyelesaian pelanggaran berat HAM di luar pengadilan melalui KKR tidak digubris presiden. Penyelesaian melalui Pengadilan HAM Ad Hoc pun tidak dihiraukannya. Akibatnya, kasus Trisakti, Semanggi I dan II, serta kasus Munir tidak menentu arah penyelesaiannya. Apalagi kasus Tragedi 27 Juli 1996, Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, Lampung, Sampang,kasus Tragedi Tahun 1965/1966. Presiden hanya berbasa-basi, sedangkan Kejaksaan Agung dan DPR saling tuding.
Akar permasalahan
Taufik Abdullah seperti dikutip oleh Budiman dalam tulisannya menyatakan, "Masa lalu adalah negeri asing. Siapa tahu di sana, di negeri asing itu, terletak sumber ketidakberesan yang kini atau disini kita rasakan. Kalau perjalanan ke masa lalu, seperti juga ke negeri asing, bisa dilakukan, bukankah sebaiknya unsur-unsur yang menyebabkan ketidakberesan itu diperbaiki di sana agar yang terjadi di sini baik-baik saja."
A Syafi'i Ma'arif pernah mengatakan, bangsa kita berada dalam kerusakan yang hampir sempurna. Sudah tentu keadaan ini melalui proses panjang dalam kurun waktu lama. Kerusakan ini tidak dapat ditimpakan begitu saja pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarnoputri, Abdurrahman Wahid, maupun BJ Habibie.

Kerusakan itu warisan pemerintahan Orba pimpinan Presiden Soeharto selama lebih dari tiga dekade. Kepada Orba-lah kerusakan itu harus ditimpakan. Akan tetapi, pertanggungjawaban Soeharto dan Orde Baru tidak pernah dituntut.Kerusakan mendasarKerusakan yang mendasar adalah dalam jiwa dan karakter bangsa. Karena itu, kini kita tidak bisa lagi membedakan mana yang benar dan salah, baik dan buruk, adil dan tidak adil, halal dan haram, patut dan tidak patut.

Orde Baru membangun kekuasaan, menumbuhkan, berusaha mempertahankan dan melestarikannya dengan menipu, membunuh, dan mencuri secara sistematis dan masif. Terlalu lama kita membiarkan sistem dan budaya destruktif itu merajalela tanpa penolakan, kecuali oleh kelompok kritis tertentu dan generasi muda mahasiswa. Akibatnya, nurani menjadi tumpul, akal sehat menjadi rusak, dan kehendak baik menjadi lumpuh.
Mutu penyelenggaraan negara dan kekuasaan pemerintahan merosot. Peradaban politik tidak ada, diganti politik uang. KKN berlanjut melalui jaringan kolusi para pengusaha dan jajaran birokrasi. Wakil rakyat mulai menipu dan mencuri uang rakyat secara legal melalui rekayasa. Reformasi tidak melakukan tindakan tegas dan berani memutuskan dan meninggalkan sistem dan budaya destruktif warisan Orde Baru. Bahkan melanjutkan dengan pelaku stok Orde Baru yang berkarakter dan bertabiat sama.

Ajakan Taufik Abdullah agar unsur-unsur yang menyebabkan ketidakberesan diperbaiki ternyata tidak dipedulikan. Bahkan, unsur-unsur itu kembali mendominasi penyelenggaraan negara dan kekuasaan pemerintahan."Quo vadis" presiden. Presiden seharusnya mengeliminasi unsur-unsur yang menyebabkan ketidakberesan itu. Langkah tegas dan berani harus diambil.Terkait penyelesaian pelanggaran berat HAM masa lalu, pesan untuk presiden jelas, yaitu selesaikan pelanggaran berat HAM masa lalu sebagai conditio sine qua non guna menyelamatkan masa depan bangsa.

Melalui mekanisme pengadilan (cara hukum), presiden harus segera mendorong dibentuknya Pengadilan. HAM Ad Hoc terhadap berbagai kasus pelanggaran berat HAM masa lalu. Melalui mekanisme di luar pengadilan (cara sosial, politik, dan budaya), yaitu jalan kebenaran menujurekonsiliasi nasional. Presiden dapat segera membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Kendati Mahkamah Konstitusi sudah membatalkan UU No 27/2004, tetapi substansi yang melandasi visi dan misi KKR dapat digunakan. Presiden dapat menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) tentang KKR. Penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM harus menjadi prioritas utama program politik presiden pada tahun 2007. Ini tugas historis guna memulihkan harmoni sosial dan kerukunan nasional. Beban sosial dan beban sejarah bangsa harus dapat dieliminasi. Dalam hal ini dibutuhkan manusia yang memiliki keberanian, kemauan politik, berkarakter, dan bervisikenegarawanan untuk menyelamatkan bangsa.



Syair Sinrilik Makassar
(sebagai implementasi budaya siri napacce)

Oleh: Yusran Bachtiar
Universitas Muhammadiyah Parepare (UMPAR)
Apa yang menjadikan Karaeng Pattingalloang, Perdana Menteri Kerajaan Gowa pada abad XVII menguasai delapan bahasa, matematika, astronomi, pembuatan benteng dan perahu galley, persenjataan dan lain-lain?. Semangat apa yang ada di benak Sultan Hasanuddin yang habis-habisan memimpin perlawanan melawan Belanda. Lantas apa yang menggerakkan Karaeng Bonto Marannu dan Karaeng Galesong menenggelamkan kapal-kapal Belanda yang mereka temui di perairan Jawa sesaat ditandatanganinya perjanjian Bungaya yang merugikan Kerajaan Gowa?. Seorang tukang kebun di awal tahun 80an bernama Saleh membunuh majikannya, seorang bupati di daerah Sulawesi Selatan beserta istrinya karena anak gadis Saleh yang menjadi pembantu rumah tangga di rumah yang sama dihamili oleh sang bupati?. Apa persamaan weltanschauung yang menggerakkan mereka?. Jawabannya adalah Siri’ na Pacce (Siri’ dan Pacce).
A. Zainal Abidin Farid (1983 :2) membagi siri, dalam dua jenis:
1. Siri’ Nipakasiri’, yang terjadi bilamana seseorang dihina atau diperlakukan di luar batas kemanusiaan. Maka ia (atau keluarganya bila ia sendiri tidak mampu) harus menegakkan Siri’nya untuk mengembalikan Dignity yang telah dirampas sebelumnya. Jika tidak ia akan disebut mate siri (mati harkat dan martabatnya sebagai manusia). Shelly Errington (1977 : 43) :
“ Untuk orang bugis makassar, tidak ada tujuan atau alasan hidup yang lebih tinggi daripada menjaga Siri’nya, dan kalau mereka tersinggung atau dipermalukan (Nipakasiri’) mereka lebih senang mati dengan perkelahian untuk memulihkan Siri’nya dari pada hidup tanpa Siri’. Mereka terkenal dimana-mana di Indonesia dengan mudah suka berkelahi kalau merasa dipermalukan yaitu kalau diperlakukan tidak sesuai dengan derajatnya. Meninggal karena Siri’ disebut Mate nigollai, mate nisantangngi artinya mati diberi gula dan santan atau mati secara manis dan gurih atau mati untuk sesuatu yang berguna.
Sebaliknya, hanya memarahi dengan kata-kata seorang lain, bukan karena Siri’ melainkan dengan alasan lain dianggap hina. Begitu pula lebih-lebih dianggap hina melakukan kekerasan terhadap orang lain hanya dengan alasan politik atau ekonomi, atau dengan kata lain semua alasan perkelahian selain daripada Siri’ dianggap semacam kotoran jiwa yang dapat menghilangkan kesaktian.
Tetapi kita harus mengerti bahwa Siri’ itu tidak bersifat menentang saja tetapi juga merupakan perasaan halus dan suci… Seseorang yang tidak mendengarkan orangtuanya kurang Siri’nya. Seorang yang suka mencuri, atau yang tiodak beragama, atau tidak tahu sopan santun semua kurang Siri’nya”.

2. Siri’ Masiri’,
yaitu pandangan hidup yang bermaksud untuk mempertahankan, meningkatkan atau mencapai suatu prestasi yang dilakukan dengan sekuat tenaga dan segala jerih payah demi Siri’ itu sendiri, demi Siri’ keluarga dan kelompok. Ada ungkapan bugis “Narekko sompe’ko, aja’ muancaji ana’guru, ancaji Punggawako” (Kalau kamu pergi merantau janganlah menjadi anak buah, tapi berjuanglah untuk menjadi pemimpin). Nenek moyang almarhum Tun Abdul Razak, Mantan Perdana Menteri Malaysia bernama Karaeng Haji, salah seorang putera Sultan Abdul Jalil Somba Gowa XIX yang di merantau ke Pahang dan dikenal dengan Toh Tuan, meninggalkan Gowa pada abad XVIII karena masalah Siri’, perebutan kekuasaan raja Gowa antar saudara. Ia mengalah dan meninggalkan Gowa hingga berhasil menjadi syahbandar kesultanan Pahang. Daeng Mangalle, saudara seayah Sultan Hasanuddin karena Siri’ pula pergi ke Jawa Timur. Setelah memperoleh dua orang putera dari putri bangsawan Jawa Timur, Angke’ Sapiah, Ia pergi bersama keluarga dan pengikutnya karena dicari-cari Belanda menuju Muangthai. Di kerajaan Siam, karena Siri’nya, ia berhasil menjadi Menteri Keuangan Siam dan bergelar bangsawan tertinggi Oja Pacdi. Sayang, karena pertengkaran Raja Phra Narai dan adiknya, Karaeng Mangalle dituduh bersekongkol dengan adik raja. Dengan pengikut-pengikutnya ia berkelahi hingga titik darah penghabisan melawan kurang lebih 10.000 tentara Siam dan puluhan orang-orang Eropa. Ia gugur karena Siri’ dan ‘mati diberi santan dan gula’. Dua orang putranya, masing-masing 14 dan 12 tahun berhasil diselamatkan oleh seorang Perancis dan mereka dibawa ke Paris. Di Paris, Raja Louis XIV sangat tertarik kepada anak itu dan mengambilnya menjadi anak angkat, suatu penghargaan luar biasa bagi orang asing berkulit sawo matang. Melalui pendidikan militer, Daeng Ruru, yang bernama lengkap Louis Dauphin Daeng Ruru de Macassart, dalam usia 20 tahun dilantik menjadi Kapten Kapal Bendera Angkatan Laut Perancis pada 1 Januari 1692. Adiknya, Louis Pierre Daeng Tulolo de Macassart menjadi Letnan Angkatan Darat Perancis dan pada tahun 1712 beralih menjadi Letnan Angkatan Laut Perancis, karena kakaknya gugur dalam pertempuran melawan armada Inggris di depan Havana pada tahun 1708 (Pelras, 1975 : 64-65 ; Gervaise, 1688). Kalau direnungkan kata A. Zainal Abidin Farid, Bagaimana mungkin 500 orang termasuk perempuan dan anak-anak Makassar dapat melawan lebih kurang 10.000 tentara Siam?. Bagaimana mungkin Daeng Ruru dan Daeng Tulolo dapat menjadi anak angkat Raja Louis XIV, penguasa Eropa sekaligus menjadi perwira Angkatan Laut Perancis?. Jawabnya; Karena Siri’.
Kalau anda mempelajari sejarah, maka akan anda temukan bahwa raja-raja yang ada di daerah melayu, seperti Riau, Johor, Pahang, Aceh, Samarinda, Kutai, Mempawah bahkan Jawa dan Bima mempunyai keterkaitan dengan nenek moyang mereka yang berasal dari Sulawesi Selatan.
Jadi Pacce berarti semacam kecerdasan emosional untuk turut merasakan kepedihan atau sesusahan individu lain dalam komunitas. Laica Marzuki (1995) menyebut dalam disertasinya bahwa pacce sebagai prinsip solidaritas dari individu Bugis Makassar dan menunjuk prinsip getteng, lempu, acca, warani (tegas, lurus, pintar, berani) sebagai empat ciri utama yang menentukan ada tidaknya Siri’.
Dua term ini adalah konsep tunggal yang mesti berjalan bersamaan untuk disebut sebagai manusia. Siri’ tanpa Pacce atau sebaliknya akan menjadikan semacam split personality dalam diri orang bugis makassar.
Tetapi sering kita mendengar ungkapan pepatah Makassar mengatakan : Punna tena Siri’nu pa’niaki paccenu (Kalau sudah tidak memiliki Siri’ lagi, maka perlihatkan paccemu. Ini sebagai sindiran untuk orang yang harkat martabatnya jatuh dan sekaligus juga tidak turut merasa pedih atas keperihan orang lain. Pesan Karaeng Pattingalloang, Perdana Menteri Gowa sekaligus Raja Tallo (1639-1653) yang sarat nilai Siri’ dan Pacce berikut masih sangat relevan untuk kita jadikan pelajaran berbangsa dan bernegara : “Limai pammanjenganna matena butta lompoa. Uru-uruna punna teya nipakainga karaeng ma’gauka; makaruwanna punna taena tumangngasseng ilalang pa’rasangang lompo; makatallunna punna mangngalle soso’ gallarrang mabbicarayya; makaappa’na punna majai gau’ ilalang pa’rasangang malompoa; makalimanna punna tanakamaseang atanna karaeng ma’gauka” ( Ada lima sebab sehingga sebuah negeri rusak ; Pertama, kalau raja yang memerintah tidak mau diperingati; kedua, kalau tidak ada cendekiawan dalam suatu Negara besar;ketiga, kalau para hakim dan pejabat-pejabat kerajaan makan sogok; keempat, kalau terlampau banyak kejadian-kejadian besar dalam suatu Negara; kelima, kalau raja tidak menyayangi rakyatnya). Ah, Jika saja semua orang bugis makassar khususnya dan Indonesia memegang teguh dan menjalankannya dengan penuh pride and dignity.


HAK YANG TERABAIAKAN
Oleh: Yusran Bachtiar
Universitas Muhammadiyah Parepare (UMPAR)
Polisi sipil seyogyanya bermakna sebagai sekelompok orang sipil yang dipersenjatai untuk melindungi masyarakat dalam keadaan damai. sebagai seorang sipil polisi seharusnya sadar betul bahwa yang dihadapi dalam pekerjaannya adalah manusia yang berkehendak untuk diperlakukan sebagai manusia, bukan barang, dan adalah sesuatu yang kontraproduktif dengan jati diri yang sipil tersebut jika kemudian polisi belaku seolah-olah manusia yang dihadapi dalam pekerjaannya adalah barang. Jati diri sipil ini sesungguhnya telah termaktup dalam undang-undang No 2/2002 tentang kepolisian, yang menurut Kapolri Jendral Sutanto sebagai simbol dari reformasi kepolisian. Secara garis besar undang-undang ini ingin menampilkan institusi polisi sebagi the strong hand in society tetapi sekaligus the soft hand of society yaitu satu institusi yang memiliki kemampuan menegakkan hukum secara tegas tetapi tetap menghargai masyarakat sipil dengan semua haknya yang melekat sebagi warga negara.
Namun apa yang terjadi di lapangan sangat bertolak belakang, harapan Undang-Undang No 2/2002 ini sepertinya sangat jauh dari kenyataan. Sebab dari amatan KontraS Sumatera Utara sejumlah tindak kekerasan masih mewarnai tugas kepolisian sehari-hari. Pada periode Januari-Oktober 2007 KontraS Sumatera Utara mencatat ada 80 kasus kekerasan yang melibatkan aparat kepolisian Sumatera Utara. Angka ini naik 48 % jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2006 yakni hanya 61 kasus.
Harapan undang-undang ini terasa semakin jauh ketika kita menyaksikan ternyata pelaku-pelaku kekerasan ini masih bebas berkeliaran menghirup udara segar. Harus diakui memang, bahwa ada sebagian dari pelu kekerasan ini yang diadili, namun sayangnya mereka hanya diadili di tingkat pengadilan kode etik dengan hukuman yang sifatnya administratif, sedangkan yang lainnya bebas tanpa harus mempertanggungjawabkan perbuataannya. Sebut saja misalnya Anggota Brimob yang melakukan penembakan terhadap masyarakat Gebang yang menyebabkan satu orang meninggal dunia, satu orang cacat permanen, dan yang lainnya luka ringan. Demikian juga dengan pelaku penembakan terhadap Syamsir Siregar sampai hari ini belum ada yang diadili, yang kemudian memberikan rasa keadilan pada korban.
Padahal pasal 71 dan 72 undang-undang No 39/1999 tentang HAM, jelas sudah dinyatakan bahwa negara berkewajiban untuk menghormati, menegakan, dan memajukan hak asasi manusia. Kewajiban tersebut meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya. Jika bercermin dari Undang-undang ini, maka negara tidak hanya diwajibkan mengadili pelaku, tetapi juga melakukan pemulihan (reparasi pada korban dan keluarga korban).
Bahkan untuk persolaan reparasi Komisi HAM PBB telah mengisyaratkan negara untuk secara sungguh-sungguh menjalankannya. Dalam Basic principil and guidelines on the right to a remedy an reparation. Pemulihan (reparasi) ini diterjemahkan oleh Komisi HAM PBB sebagai upaya pemulihan kondisi korban pelanggaran HAM ke kondisi sebelum pelanggaran tersebut terjadi pada dirinya, baik menyangkut fisik, psikis, harta benda, dan hak status sosial politik korban yang dirusak dan dirampas. Ada empat bentuk reparasi yang diatur oleh hukum internasional; Restitusi, Kompensasi, Rehabilitasi, dan jaminan bahwa pelanggaran HAM tersebut tidak lagi berulang. Aturan ini juga menegaskan bahwa subjek yang harus bertanggung jawab atas kejadian baik yang dilakukan melalui tindakan (by Commission) atau pembiaran (by omission) adalah negara (state actor).
Berita meninggalnya 16 orang warga akibat terserang diare di Dusun Taipa Obal, Desa Lombok, Kec. Tinombo, Kab. Parigi Moutong, menjadi liputan hangat di media lokal dan nasional dalam dua minggu terakhir ini. Berdasarkan liputan ANTARA News (Diarrhea kills 16 villagers in Central Sulawesi, 07/07/07), lima di antara 16 korban adalah anak-anak berusai 2-10 tahun. Sebelas korban yang lain berumur antara 16-62 tahun.
Serangan epidemi tersebut, seperti dilansir media, berawal dari tanggal 17 Juli 2007. Namun, baru mendapat penangan pada minggu pertama Juli. Interval waktu yang cukup panjang dalam proses jatuhnya 16 korban jiwa, mengesankan ketiadaan upaya serius pemerintah dalam memerangi wabah diare yang tengah mengganas. Seolah dibutuhkan korban yang lebih banyak untuk menarik kepedulian berbagai pihak. Sangat disesalkan bahwa jumlah korban yang cukup fantastis itu ternyata belum juga menggetarkan rasa prihatin pejabat dinas kesehatan provinsi, untuk bertindak serius menyikapi petaka ini. Hal tersebut sempat membuat gusar ketua Komisi IV (Kesra) DPRD Provinsi seperti dilansir di salah satu harian lokal (11/07/07).
Bencana epidemi ini adalah persoalan krusial yang semestinya menjadi perhatian semua pihak, utamanya pemerintah. Sebab, kejadian seperti ini sebenarnya bukan yang pertama kali di Kab. Parimo. Pada bulan Januari lalu juga terungkap bahwa masyarakat Dusun IV dan V desa Bulano kecamatan Bulano Lambunu, telah puluhan tahun menderita berbagai penyakit menular hingga menelan banyak korban jiwa. Bahkan yang lebih fatal, karena tidak mendapat penanganan serius dari pemerintah, jumlah korban mengalami peningkatan dan penyakit yang muncul semakin beragam dalam setiap tahunnya. Hal ini berdasarkan laporan Santigi Institute kepada kantor perwakilan KOMNAS HAM Propinsi Sulawesi Tengah tertanggal 10 Januari 2007. Penyakit menular dimaksud terdiri dari kaki gajah, kusta, TBC, dll. Selain itu, juga terdapat kasus busung lapar yang diderita empat orang anak. Satu orang diantaranya dilaporkan meninggal.
Petaka beruntun ini, menjadi cermin betapa pemerintah telah lalai dalam menjalankan tanggungjawabnya untuk memberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Padahal hak atas kesehatan adalah hak konstitusional. Dalam amandemen UUD 45 pasal 28H ayat (1) dinyatakan "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir bathin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan". Selanjutnya dalam pasal 34 ayat (3) amandemen ke-4 dinyatakan "negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak".
Selain itu, peristiwa ini juga mengingkari komitmen pemerintah sebagai salah satu negara pihak (State Parties) yang menyatakan komitmennya kepada dunia internasional untuk mengikat diri dalam kovenan international yang mengatur masalah hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob) atau International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR). Kovenan ini telah diratifikasi melalui UU No. 11/2005 pada tanggal 28 Oktober 2005. Dalam Pasal 12 kovenan tersebut diatur secara tegas bahwa "Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental."
Namun, deretan aturan perundangan diatas, ternyata masih sebatas aturan tekstual yang entah kapan dapat terealisir secara faktual. Sebab, kesenjangan antara teks dan konteks masih terlalu jauh. Pelanggaran hak-hak Ekosob terus saja terjadi, baik melalui kebijakan (by commission) atapun pembiaran (by omission). Kasus yang baru saja terjadi di Parimo adalah salah satu contoh kongkrit dari pelanggaran itu. Padahal Kab. Parimo hanya berjarak lebih kurang 100 km dari Kota Palu sebagai ibukota provinsi Sulawesi tengah. Namun, dalam beberapa pemberitaan media, hal yang dikeluhkan pemerintah sehingga lamban dalam merespon krisis di Dusun Taipa Obal adalah jarak lokasi yang katanya sulit dijangkau. Sementara, banyak pemukiman lain di Sulawesi Tengah yang masih lebih jauh dan lebih berat medannya dari itu. Sehingga, jika Dusun Taipa Obal dikeluhkan sangat jauh, bagaimana pelayanan kesehatan kepada masyarakat lain yang bermukim di lokasi dan medan yang lebih jauh dan lebih berat?
Dilema Penegakan Hak Ekosob vis-à-vis Neoliberal Program Seperti diketahui dua kovenan utama Deklarasi Umum Hak Azasi Manusia (DUHAM) atau Universal Declaration of Human Rights adalah Hak Ekosob dan Hak Sipil dan Politik (Sipol) atau International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)
Kedua kovenan ini telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dalam waktu bersamaan pada tanggal 28, Oktober 2005. Jika hak Ekosob, seperti disinggung diatas, diratifikasi melalui UU No. 11/2005, maka hak Sipol diratifikasi dengan UU No.12/2005. Namun, setelah hampir dua tahun, ke dua kovenan dimaksud terkesan masih tertambat diatas kertas. Atau meminjam istilah Amartya Sen dalam Elements of a Theory of Human Rights, kovenan tersebut masih sebatas "bawling upon paper" atau teriakan di atas kertas, terlebih hak Ekosob yang dalam sejarahnya, memang seringkali dinomor duakan dalam proses pemenuhannnya. Sulitnya merealisasikan komitmen pemerintah dalam pemenuhan hak Ekosob, umunya disebabkan beberapa alasan. Pertama, masalah ini terkait erat dengan kondisi sosial politik di republik ini yang baru saja lepas dari cengkraman kekuasaan otoriter rejim ORBA. Secara historis, hak Ekosob memang selalu 'terkucil' dari perjuangan aktivis HAM (human rights defenders) dan masyarakat dalam sebuah negara otoriter. Ini menjadi fenomena umum yang juga terjadi di negara-negara lain, yang berada dibawah sistem otoriter. Sebab, perjuangan HAM, seringkali lebih terfokus pada hak-hak Sipol seperti hak atas hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan, hak atas kebebasan berfikir dll.
Hak Sipol adalah problem keseharian yang paling mencolok dalam negara yang tidak demokratis. Namun, itu tidak berarti bahwa hak Ekosob telah terpenuhi dalam negara otoriter. Kita mungkin masih ingat bagaimana ORBA dulu mempopulerkan jargon yang lebih kurang berbunyi "politic no, economy yes". Seolah hak ekonomi atau kesejahteraan masyarakat telah dipenuhi dengan baik oleh Negara. Padahal, jargon itu hanyalah kamuflase yang digunakan sebagai topeng untuk melegitimasi tindakan brutal negara terhadap hak-hak Sipol rakyat.

DISKRIMINASI NEGARA PADA HAK EKOSOB
OLEH: JUANDA HME FT UNM
Berbagai bentuk pelanggaran yang terjadi pada negara ini merupakan indakasi yang sangat jelas dan merupakan pengabaian akan hak-hak rakyat atas klaiman yang terjadi selama,yang terjadi adalah pelanggaran terhadap hak-hak Ekosob tidak terungkap karena tidak adanya ruang untuk mempublikasikan penistaan Negara terhap hak-hak itu. Sebab, kebebasan pers adalah kemewahan yang tak terbeli dalam negara yang dikontrol oleh pemerintahan despotik. Karenanya, pengungkapan tragedi kelaparan, kematian akibat epidemic, dll menjadi aib yang selalu ditutupi oleh penguasa diktator. Jadi, dalam kalimat sederhana mungkin bisa dikatakan 'jangankan menuntut hak atas pelayanan kesehatan, hak berbicara saja masih belum terpenuhi'.

Hal tersebut menjadi penting untuk diungkap kembali, karena akhir-akhir ini kita seringkali mendengar 'gugatan' bahwa kesejahteraan ekonomi lebih terpenuhi ketika orde baru disbanding sekarang. Reformasi dianggap hanya mempersulit peningkatan kesejahteraan rayat. Padahal tudingan itu melupakan berbagai problem krusial terkait kesejahteraan dimasa orde baru, yang tidak terungkap karena tidak adanya kebebasan media di masa itu. Bukan karena hidup rakyat yang lebih sejahtera. Selain itu juga harus dipahami bahwa kondisi hidup rakyat yang semakin terpuruk saat ini adalah bagian dari problem masa lalu. Hal inilah yang mengakibatkan perjuangan atas hak-hak ekosob seringkali baru menjadi agenda prioritas setelah penguasa otoriter tumbang, seperti situasi tengah kita alami sekarang.
Kedua, dalam penegakan ke dua kovenan tersebut, terdapat dua strategi yang berbeda, yang dalam skema perekonomian global saat ini, justru semakin menjauhkan komitmen negara dalam pemenuhan Hak Ekosob. Sebab, kovenan yang mengatur masalah hak-hak Sipol, bertendensi membatas intevensi Negara dalam pemenuhannnya, sehingga lasim dikenal dengan istilah hak-hak negative (negative rights). Sementara upaya Pemenuhan hak-hak ekosob justru sebaliknya. Negara malah akan melakukan pelanggaran jika tidak aktif berperan dalam pemenuhan hak-hak ini.
Sehingga, hak Ekosob juga lasim dikenal sebagai hak-hak positif (positive rights). Namun, yang jadi perkara -terkait pemenuhan hak Ekosob – adalah kebijakan ekonomi sejak krisis mendera di tahun 1997 secara gambling diabdikan pada kepentingan pasar. Konsekwensinya, peran negara dalam aktivitas pemenuhan kesejahteraan rakyat dikurangi. Program pelayanan umum makin ditinggalkan oleh pemerintah, karena pendukung neoliberal meyakini bahwa pasar punya mekanisme sendiri untuk mengatur itu.
Peran negara dipangkas sedimikian rupa, menjadi hanya sebatas fasilitator bagi berkembangnya pasar. Hal ini tercermin dari alokasi APBN untuk bidang sosial yang terus dikebiri. Beban hutang yang luar biasa telah memaksa pemerintah untuk memperketat dan melakukan efisiensi dalam APBN. Sehingga, berbagai subsidi dikurangi, bahkan dicabut. Faktanya bisa diamati dari gencarnya IMF mendesak agar sektor-sektor pelayanan dasar segera diliberalisasi dan penghapusan berbagai subsidi di bidang yang terkati dengan hajat hidup orang banyak seperti tanah, air,dss.
Semua arah kebijakan tersebut hadir sebagai 'kutukan' dan malapetaka bagi rakyat, yang sudah termarjinalkan selama puluhan tahun. Sebab, policy itu memicu melonjaknya harga-harga barang, ditengah pendapatan rakyat yang semakin menurun. Hal tersebut, tentu saja semakin melemahkan daya beli masyarakat, yang diperburuk oleh ambisi pemerintah untuk terus menggenjot pendapatan dari sektor pajak.
Hasilnya adalah kesejahteraan rakyat semakin tergerus. Sebab, rakyat ditinggal sendirian menghadapi serangan program neoliberal yang hadir untuk merampas semua pelayanan dasar negara terhadap mereka. Kebijakan yang mengandung unsur subsidi negara, oleh IMF dianggap tidak produktif karena bertentangan dengan logika pasar. Oleh karena itu, kebijakan dimaksud, hanya akan semakin mempersempit akses masyarakat terhadap pemenuhan hak Ekosob, termasuk hak atas kesehatan karena biaya berobat yang semakin tak terjangkau. Contoh yang lebih telanjang adalah pengingkaran negara terhadap hak rakyat atas pendidikan, yang juga menjadi hak dasar yang diatur dalam kovenan Ekosob. Setiap tahun kita bisa meilihat betapa pemerintah melakukan pelanggaran terhadap amanat konstitusi, karena tidak pernah merealisasikan anggaran pendidikan yang telah diatur sebesar20%
Kebijakan pemulihaan ekonomi yang takluk buta dibawah komando program neo liberal seperti dipraktekan saat ini, akan semakin memperburuk realisasai komitmen pemerintah pada pemenuhan hak-hak Ekosob. Sebab, kebijakan tersebut pastinya tidak diarahkan untuk membangun ribuan ruang kelas yang ambruk yang secara nyata menafikan hak rakyat atas pendidikan. Selain itu kebijakan neoliberal tentu tidak akan peduli terhadap upaya peningkatan upah buruh, pelayanan kesehatan bagi masyarakat di daerah-daerah terpencil dan terisolir serta hak dasar lain yang terangkum dalam kovenan Ekosob. Karena, pembiayaan untuk sektor semacam ini, sekali lagi, hanya akan dianggap pemborosan.
Sehingga, secara kritis dapat dikatakan bahwa strategi pemulihan ekonomi yang tempuh saat ini lebih terlihat sebagai upaya untuk meladeni kepentingan neoliberal dan untuk melunasi hutang yang konon sulit terbayarkan bahkan untuk beberapa generasi kedepan.
Dalam situasi ketika negara seperti lepas tangan dari tanggung jawab sosialnya, nasib warga akan sangat ditentukan oleh aktivitas ekonomi mereka sendiri. Orang-orang yang tidak memiliki keahlian dan sumber
Daya ekonomi yang cukup akan termajinalisasi. Benar bahwa pemerintah mencoba melakukan upaya pemenuhan hak Ekosob melalui program-program seperti pembagian beras miskin (raskin), pemberian kartu berobat murah, pembagian Bantuan Langsung Tunai (BTL), bantuan operasional sekolah, dll. Namun, rangkaian program 'charity' tersebut, lebih terlihat sebagai pelipur lara atas dinaikkannya harga BBM.
Karenanya, perlindungan serupa itu hanya bersifat artificial, bukan jawaban terhadap penderitaan panjang yang mendera rakyat selama bertahun-tahun. Sebab, kebijakan yang diambil bukan merupakan program jangka panjang yang didukung langkah-langkah komprehensif untuk pencapain target-target yang terukur dalam rentang waktu tertentu.
Kondisi ini menjadi penjelas bahwa hak-hak Ekosob belum menjadi prioritas pemerintah dan secara gamlang menafikan konstitusi (UUD 1945) yang dalam pembukaannya telah secara tegas mengatur bahwa "tujuan bernegara adalah menciptakan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". (Analisi Mingguan LP2D, 2007) Disisi lain, economic recovery memang telah menunjukkan sinyal perbaikan, yang ditandai oleh nilai kurs Rupiah yang cenderung stabil. Namun, hal tersebut belum secara langsung dapat dinikmati oleh masyarakat secara umum.
Apalagi, seperti dilansir berbagai media, perbaikan kurs rupiah saat ini lebih dipengaruhi oleh banyaknya besaran investasi portofolio yang ditanamkan di pasar modal atau bursa saham. Bukan investasi asing langsung (foreign direct investment) yang datang untuk mengembangkan usaha di Indonesia. Seperti diketahui, investasi portfolio adalah jenis investasi yang dapat bergerak dalam hitungan detik, perpindahannya dari satu negara ke negara lain terjadi dalam satu kedipan mata. Sehingga para pelaku investasi model ini lebih tepat disebut spekulan ketimbang investor, yang jika melarikan modalnya ke luar negri bisa mengancam krisis ekonomi seperti yang terjadi di awal 1997.
Hal inilah yang menyebabkan kenapa perbaikan ekonomi saat ini tidak berbanding lurus dengan jumlah angka kemiskinan yang malah cenderung naik, serta angka pengangguran, angka anak putus sekolah dan berbagai wabah penyakit seperti, demam berdarah, flu burung, diare, dll, yang tidak pernah tertangani secara tuntas dan menjadi ancaman pembunuhan yang terus menghantui warga dalam setiap musim tertentu. Situasi ini tentu menjadi sebuah ironi ditengah gencarnya pemerintah mengkampanyekan perbaikan kondisi hak asasi manusia sebagai agenda utamanya.


Didalam menyongsong masa depan pada umumnya orang sependapat bahwa tidak ada sesuatu yang pasti. Para ahli dapat saja membuat berbagai ramalan atau prediksi namun akurasi dari ramalan atau prediksi tersebut tidak dijamin. Dalam keadaan yang sedemikian, sesuatu yang pasti adalah perubahan atau change itu sendiri. Perubahan terjadi secara terus-menerus dalam skala dan intensitas yang semakin meningkat. Khususnya dalam dua tiga dekade terakhir ini, perubahan tersebut telah terjadi dalam skala dan intensitas yang sangat tinggi. Pendorong utama dari perubahan ini adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan yang sangat pesat dalam pemahaman kita tentang dunia diterapkan dan dikembangkan secara cepat dan meluas dalam berbagai bidang seperti industri, pertanian, kedokteran dan jasa. Berbeda dengan masa sebelumnya, tingkat kecepatan yang membawa perubahan ini, menembus batas-batas nasional (footloose). Dengan demikian, ilmu pengetahuan, teknologi dan pengetahuan manajerial cepat menyebar sehingga menambah jumlah bangsa yang memiliki kemampuan teknis untuk produksi dan rekayasa. Hal ini lebih dimungkinkan lagi oleh kemampuan teknis untuk produksi dan rekayasa. Hal ini lebih dimungkinkan lagi oleh atelit dan jaringan komputer. Oleh karena itu, cakupan dari berbagai kegiatan produksi termasuk penelitian, rekayasa, produksi dan pemasaran dalam banyak sektor industri telah berkembang menjadi global. Dengan demikian, kemampuan teknologi jauh lebih menyebar di kalangan negara-negara industri maupun di negara-negara yang sedang mengalami proses industrialisasi. Hal ini sekaligus mengakhiri peranan tunggal Amerika Serikat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Keunggulan teknologi dan industri Amerika Serikat sampai dengan permulaan dekade 1970-an menyebabkan arus teknologi berlangsung satu arah yakni dari Amerika Serikat ke negara lain di dunia. Akan tetapi sejak pertengahan dekade 1970-an pola tersebut telah berubah menjadi pola multi arah.
Sejalan dengan hal tersebut, telah terjadi pula perubahan pesat di bidang sosial budaya masyarakat. Kriteria mengenai pembangunan sosial yang sebelumnya bersifat lokal berkembang menjadi kriteria yang bersifat global. Pendidikan merupakan faktor utama yang menggerakkan perubahan yang terjadi tersebut. Dan dalam bidang pendidikan ukuran mengenai perkembangannya mengikuti standar internasional. Kecenderungan yang serupa terjadi pada bidang apresiasi budaya di mana terlihat kebangkitan kembali kesadaran akan seni dari berbagai anggota masyarakat di dunia (the art boom). Telah merupakan pembicaraan umum bahwa apa yang diuraikan di atas merupakan sebagian dari karakteristik era yang akan dihadapi di dalam abad mendatang yaitu era globalisasi. Dalam makalah ini, akan ditelaah mengenai kompleksitas era globalisassi ini dan peranan pendidikan didalamnya.

Perubahan yang terjadi dan melanda dunia setelah masa Pencerahan (Aufklarung) lazim disebut modernisasi. Banyak definisi diberikan mengenai modernisasi ini. Sejak pertengahan abad ini, berbagai ahli telah mengartikan modernisasi sebagaimana terlihat dalam definisi berikut:
Pada dasarnya definisi tersebut di atas menghubungkan modernisasi dengan suatu periode waktu dan dengan suatu lokasi geografis, dimana karakteristik utama dari proses ini tidak terungkap. Pada mulanya, terminologi ini muncul sebagai akibat upaya sekelompok ahli pembangunan di Amerika Serikat untuk mengembangkan suatu alternatif terhadap pendekatan Marxis mengenai pembangunan sosial. Dari sudut pandang sosiologi, teori modernisasi menjelaskan modernisasi dengan merujuk pada awal mula dari proses yang disebutkan Talcott Parsons sebagai differensiasi struktural. Ini adalah proses yang dapat didorong oleh berbagai cara, namun yang sangat mungkin disebabkan oleh perkembangan teknologi atau nilai-nilai. Sebagai akibat dari proses ini, lembaga/institusi berlipat ganda, struktur yang sederhana dari masyarakat tradisional ditransformasikan ke dalam struktur yang kompleks dari masyarakat modern, dan nilai-nilai berkembang menyerupai apa yang terdapat di Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Dalam alur berpikir ini, maka modernisasi dapat dilihat baik sebagai proses maupun suatu keadaan. Dan lazimnya keadaan modern dilihat sebagai lawan dari keadaan tradisional. Pendekatan ini banyak mempengaruhi pendekatan pembangunan yang diterapkan oleh banyak negara, khususnya negara yang sedang berkembang seperti Indonesia dengan pendekatan tinggal landasnya. Kalau kita mencermati karakteristik masyarakat modern, maka nyatalah bahwa terdapat pula karakteristik tradisional di dalamnya, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian referensi waktu dan tempat tidaklah tepat untuk membedakan tradisional dan modern; yang sesuai ialah pemahaman secara kontekstual. Seperti disebutkan oleh Giddens (1996) bahwa setiap phase perubahan itu mempunyai hakikat yang khusus (intrinsic nature). Dalam alur pikir ini pulalah sehingga dalam perkembangan selanjutnya, khususnya menjelang akhir abad ke-20, muncul pendapat dari sekelompok ahli yang berbicara mengenai era pasca modernisasi atau Post-modernity (Jean-Francois Lyotard, 1985).
Nampaknya, masalah utama yang menyebabkan berbagai perbedaan pendapat tentang perubahan sosial yang terjadi ini ialah karena kita peristiwa-peristiwa yang kita sendiri tidak sepenuhnya memahaminya. Dengan demikian, untuk memahami hal-hal ini tidak cukup dengan sekedar menciptakan terminologi baru seperti pasca modernisasi dan sebagainya, akan tetapi lebih tepat kalau kita menelaah kembali hakikat dari modernisasi itu sendiri.

Demikianlah dengan perubahan dalam kehidupan masyarakat yang berkembang dengan sangat pesat, maka muncullah pendapat bahwa era yang akan kita hadapi dalam abad mendatang adalah era globalisasi. Intinya adalah bahwa segala kegiatan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat berlangsung secara global. Dalam hubungan ini Robertson (1992) merumuskan globalization sebagai "... the compression of the world and the intensification of consciousness of the world as a whole". (Robertson, R., 1992, p.8).

Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa globalisasi menyangkut munculnya sistem budaya global. Budaya global ini dibawa oleh berbagai perkembangan sosial, budaya dan teknologi (misalnya kehadiran sistem informasi melalui satelit dunia), kehadiran pola global mengenai konsumsi dan konsumerisme, pengembangan gaya hidup kosmopolitan, munculnya olahraga global (seperti olimpiade, kompetisi sepakbola dunia dan lain-lain), penyebaran wisata dunia, menurunnya kedaulatan negara bangsa (nation state), perkembangan sistem militer global, pengenalan tentang krisis ekologi berskala dunia, perkembangan masalah gangguan kesehatan berskala dunia (seperti AIDS), berperannya sistem politik dunia seperti PBB, gerakan politik dunia seperti Marxisme dan Kapitalisme, peningkatan kesadaran akan HAM, serta semakin intensifnya antar agama dunia. Intinya, globalisasi menyangkut kesadaran baru bahwa dunia adalah satu tempat tinggal. Globalisasi disebutkan pula sebagai "the concrete structuration of the world as a whole", yakni kesadaran yang berkembang pada tingkat global bahwa dunia adalah sebuah lingkungan yang dibangun secara berkelanjutan. Dengan demikian, globalisasi lebih dari sekedar sosiologi hubungan international. Juga berbeda dari teori sistem dunia (world system theory) yang menganalisis perkembangan dari kesaling tergantungan ekonomi global dan yang mengklaim bahwa budaya globalisme adalah sekedar konsekuensi dari globalisasi ekonomi. Juga perlu dihindari pemahaman globalisasi dari thesis awalnya yang mengatakan bahwa globalisasi adalah "convergence of nation states towards a unified and coherent form of industrial society". Teori yang mutakhir mengatakan globalisasi terdiri dari dua proses yang bertentangan yakni homogenisasi dan diferensiasi dan bahwa terdapat interaksi yang kompleks diantara lokalisme dan globalisme, dan bahwa terdapat gerakan yang kuat melawan proses globalisme. Argumentasi tersebut di atas penting untuk sosiologi tradisional yang terus memfokuskan diri pada nation state dibandingkan dengan fokus terhadap dunia sebagai suatu sistem masyarakat.
GLOBALISASI DAN PEMBAHARUAN PENDIDIKAN INDONESIA
Pembaharuan dalam bidang pendidikan merupakan suatu karakter dunia modern. Hal tersebut pada dasarnya berkisar pada persepsi bahwa pendidikan merupakan menara gading dan bahkan pelopor pembaharuan. Segi kognitif pendidikan tetap mendapatkan prioritas yang tinggi dalam proses pendidikan, namun masalah integrasi proses dan hasil belajar dengan kehidupan yang nyata dan dengan masa depan semakin meminta penekanan-penekanan baru. Khususnya kurikulum pendidikan, seyogyanya dirancang untuk memberikan pengalaman-pengalaman yang merangsang peningkatan kreativitas, intelektualitas, dan daya analisis. Kurikulum harus menyajikan hal-hal yang praktis dan disesuaikan dengan latar belakang kehidupan yang bervariasi, tujuan hidup yang berbeda, serta daya pemahaman terhadap persoalan yang berbeda pula. Pendidikan harus dapat menyajikan kesempatan-kesempatan untuk berbuat dan bertindak berdasarkan apa yang dipahami seseorang maupun kesempatan untuk berteori tentang solusi yang ideal dari berbagai masalah. Dengan singkat, kurikulum harus dapat diperkenalkan kepada anak didik dengan berbagai cara belajar maupun berbagai jenis pengetahuan. Pada gilirannya hal-hal ini mampu mempersiapkan anak didik untuk merencanakan masa depannya dan masyarakatnya, serta berperan aktif dalam merealisasikannya.
Revolusi dalam bidang pendidikan mencakup segi kuantitas dan kualitas. Sejalan dengan pertumbuhan dalam bidang ekonomi yang berubah secara pesat, revolusi pendidikan pada akhirnya diarahkan untuk kesejahteraan umat manusia. Dengan demikian, maka segi pemerataan dalam bidang pendidikan memegang kunci yang penting.

Dari segi kuantitas, pemerataan pendidikan ini telah berlangsung secara mengesankan didalam dua dekade terakhir ini. Di banyak negara, dari segi ratio pendidikan untuk anak didik pada tingkat pertama, terlihat bahwa pada periode tersebut ratio tadi telah mencapai sekitar 100%. Khususnya untuk sebagian besar negara-negara Pasifik, sejak tahun 1984 laju pendaftaran pada tingkat pertama pendidikan telah melebihi 90%. Bagi Indonesia, Nicaragua, Thailand dan Honduras, laju tersebut telah meningkat dari 80% menjadi 100% antara tahun 1975 dan tahun 1984. Untuk jenjang kedua pendidikan, kecenderungan peningkatan terjadi pula di negara-negara Pasifik. Peningkatan yang menonjol adalah peningkatan yang terjadi di Korea, Hongkong dan Meksiko. Sedangkan di negara-negara industri maju, laju pendaftaran pada tahun 1984 telah melebihi 80%, kecuali di Kanada, Amerika Serikat, Jepang dan Korea yang telah melebihi 90%. Pada tingkat pendidikan tinggi kecenderungan yang sama terjadi di banyak negara-negara Pasifik, di Thailand, Korea, dan Philipina. Di negara-negara industri maju, laju pendaftaran mahasiswa untuk pendidikan tinggi berkisar pada satu dari dua sampai empat orang. Laju pendaftaran yang tertinggi terjadi di Amerika Serikat dan Kanada dengan ration 1 : 2 diikuti oleh Ekuador dan Philipina dengan perbandingan 1 : 3.

Dari segi kualitas pendidikan, pada dasarnya ditandai dengan meningkatnya pelaksanaan penelitian-penelitian khususnya penelitian dasar (basic research). Hasil penelitian-penelitian tersebut telah terpadu dalam perkembangan teknologi yang merupakan kekuatan pendorong utama dari perubahan-perubahan yang terjadi didalam masyarakat. Skala dan percepatan perkembangan teknologi ini merupakan kekhususan dibandingkan dengan periode sebelumnya. Skala perubahannya melampaui batas-batas konvensional, seperti batas nasional negara dan sebagainya, serta percepatannya mengikuti deret ukur. Peningkatan penelitian terlihat dari jumlah dana yang disediakan oleh negara-negara industri maju untuk penelitian. Jerman Barat misalnya, pada tahun 1971 mengalokasikan anggaran penelitian sebesar 2% dari GNP dan pada tahun 1987 meningkat menjadi 3%. Dana penelitian Jepang pada periode yang sama mengalami kenaikan sebanyak 1% pula. Pola yang sama berlaku di dalam peningkatan jumlah peneliti dan ilmuwan. Antara tahun 1965 sampai dengan tahun 1987, telah terjadi peningkatan jumlah peneliti dan ilmuwan (dilihat dari jumlah total tenaga kerja). Di banyak negara, Jepang misalnya, pada tahun 1965 memiliki 25 ahli dari sepuluh ribu tenaga kerja dan pada tahun 1980 telah meningkat menjadi 70 ahli dari sepuluh ribu tenaga kerja. Perancis, Inggris dan Jerman Barat juga mengalami peningkatan meskipun dalam skala yang lebih kecil. Amerika Serikat secara konsisten pada periode yang sama memiliki 65 - 70 orang peneliti dan ilmuwan per sepuluh ribu tenaga kerja.

Keadaan tersebut di atas telah membawa iklim baru dalam hubungan antara pendidikan dengan perusahaan. Kecenderungan keterlibatan perusahaan didalam proses pendidikan semakin menonjol. Keterlibatan ini tidak terlepas dari ketidaksesuaian yang terjadi diantara dunia pendidikan dan dunia kerja. Apa yang disiapkan oleh pendidikan dan apa yang dibutuhkan oleh dunia kerja tidak sepenuhnya sesuai. Begitu besar ketidaksesuaian tersebut sehingga dunia usaha merasa terpaksa harus memasuki arena pendidikan secara besar-besaran. Tamatan perguruan tinggi sekarang yang tidak siap merupakan beban perusahaan di masa yang akan datang. Untuk itu perusahaan-perusahaan menyelenggarakan pendidikan tambahan sebagai perbaikan terhadap kekurangan tersebut. Disamping itu, pengusaha-pengusaha ikut terlibat sebagai tenaga pengajar di dalam lembaga pendidikan serta memberikan donasi dalam bentuk uang atau peralatan pendidikan.

Lebih daripada itu, perusahaan-perusahaan telah pula mempelopori lembaga pendidikannya sendiri. Tercatat lebih dari 25 perusahaan di Amerika melaksanakan pendidikan yang memberikan gelar. Perusahaan Wang, North trop, Arthur Andersen dan Humana memberikan gelar Master, dan Rand Coorporations memberikan gelar Ph.D., bukan hanya untuk karyawannya tetapi juga untuk umum. Tercatat lebih dari 400 kampus dan banyak gedung yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan seperti Xerox, IBM, Pizer dan Control Data. IBM, sebuah raksasa pendidikan, menghabiskan sekitar US $700.000.000 setahun untuk pendidikan karyawannya. Meskipun nampaknya perusahaan-perusahaan cenderung untuk bertindak sebagai saingan di bidang pendidikan, namun hubungan diantara perguruan tinggi dengan perusahaan menjadi semakin kuat.

Perguruan tinggi, pada pihak yang lain, cenderung untuk beroperasi sebagai perusahaan. Beberapa faktor di dalam pengelolaan perguruan tinggi telah mendorong hal ini. Misalnya, biaya pengelolaan perguruan tinggi yang semakin tinggi, bantuan pemerintah yang semakin mengecil, dan kompetisi memperoleh mahasiswa yang semakin meningkat. Oleh karena itu, para pengelola perguruan tinggi harus berpikir ekonomis dengan meningkatkan spesialisasi, pemasaran, dan perencanaan strategisnya. Dalam rangka spesialisasi ini perguruan tinggi akan memusatkan perhatian pada bidang-bidang ilmu yang mempunyai keuntungan komperatif (comperatif advantage). Hal ini dapat berarti menghilangkan program pendidikan untuk bidang ilmu yang kurang laris. Pertanda yang lain mengenai kecenderungan perguruan tinggi sebagai perusahaan adalah kecenderungan mengambil atau memilih rektor/presiden universitas yang mempunyai latar belakang sebagai usahawan. Trinity University di San Antonio Amerika Serikat (satu universitas yang tidak terkenal sebelumnya) merupakan contoh bagaimana peranan presiden universitas tersebut meningkatkan popularitas universitasnya untuk termasuk 10 besar dalam hal mahasiswa-mahasiswa yang berprestasi nasional (national merit). Sebagai bekas pengusaha, presiden universitas tersebut menyediakan beasiswa sebesar US $ 5000 setahun bagi mahasiswa berprestasi dan meningkatkan gaji dosennya sekitar 60%

Kecenderungan lainnya ialah perguruan tinggi telah berupaya pula mengembangkan usaha-usaha yang menghasilkan uang untuk pengelolaan perguruan tinggi tersebut. Usaha-usaha tersebut dapat berupa penyewaan ruangan bagi perusahaan-perusahaan untuk mengadakan pertemuan, melakukan jasa-jasa lain yang menghasilkan pendapatan, dan sebagainya. Secara singkat, sifat kewiraswastaan semakin berkembang di kalangan pengelola perguruan tinggi.
KECENDERUNGAN PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA
. Dibandingkan dengan negara tetangganya, pengalaman Indonesia dalam pendidikan tinggi termasuk yang paling singkat. Kedua perguruan tinggi induk di Indonesia yakni Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gajah Mada (UGM) baru dibentuk secara resmi pada tahun 1950. Akan tetapi dalam waktu yang relatif singkat perkembangan pendidikan tinggi dan lingkungannya telah cukup mengesankan.

Dari segi kualitas, upaya meningkatkan mutu pendidikan tinggi terus dilakukan. Terobosan utama sehubungan dengan ini ialah peralihan sistem pendidikan tinggi dari sistem paket (tradisi eropa kontinental) menjadi sistem kredit (tradisi Amerika) yang dimulai sejak permulaan dekade 1980. Efektivitas peralihan sistem ini masih akan terus diuji oleh pengalaman mengingat tradisi pendidikan Indonesia sejak tingkatan sekolah dasar yang berorientasi pada sistem pendidikan Belanda. Namun mengingat pendidikan tinggi di Indonesia yang singkat tersebut, maka harapan untuk keberhasilan dalam meningkatkan mutu pendidikan selalu ada.

Ditinjau dari latar belakang mahasiswa yang masuk ke perguruan tinggi, kecenderungan pemerataan telah mulai nampak. Pemuda-pemuda dari latar belakang sosial ekonomi rendah dan dari daerah-daerah berhasil memasuki perguruan-perguruan tinggi negeri pembina seperti Universitas Hasanuddin (UNHAS), dan Universitas Negeri Makassar (UNM). Perguruan tinggi mulai menampakkan keterbukaan dan lebih mementingkan prestasi. Ujian saringan masuk perguruan tinggi negeri seperti SNMPTN dan PMDK yang telah dipraktekan selama beberapa tahun merupakan indikator mengenai hal ini. Di kalangan tenaga pengajar upaya meningkatkan prestasi atau mutu cenderung meningkat. Hal itu terutama disebabkan oleh persaingan menjadi tenaga pengajar mulai ketat. Selain itu semakin banyaknya dosen muda yang melanjutkan pelajaran mendapatkan S2 dan S3 di dalam negeri maupun luar negeri yang merupakan insentif bagi tenaga dosen senior untuk meningkatkan pengetahuannya dan mutu materi kuliahnya.

Penataan bidang ilmu yang diajarkan di perguruan tinggi mulai dilakukan oleh departemen pendidikan dan kebudayaan. Bidang ilmu sosial yang paling "laris" dan menampung jumlah mahasiswa yang sangat banyak mulai ditertibkan. Untuk membuka suatu perguruan tinggi yang baru sekarang ini dibutuhkan minimum 2 fakultas dalam bidang ilmu eksakta. Pembukaan politeknik diberikan peluang yang besar.

Dalam pengelolaan perguruan tinggi, kecenderungan untuk semakin meningkatkan usaha wiraswasta semakin menonjol. Hal ini khususnya terlihat pada perguruan tinggi negeri yang selama ini didukung pembiayaannya melalui anggaran pemerintah. Sedikit demi sedikit terlihat pelepasan tanggung jawab pengelolaan dari pemerintah kepada masing-masing perguruan tinggi. Dalam hubungan itu keterkaitan perguruan tinggi dengan usaha swasta mulai menampakkan dirinya. Kontrak di bidang penelitian dan pendidikan antara usaha swasta dan perguruan tinggi mulai dilaksanakan. Pada sisi lainnya, pendidikan tinggi telah dimanfaatkan sebagai lembaga usaha dagang. Oleh karena angka partisipasi perguruan tinggi yang masih rendah dan pembangunan yang berkembang semakin pesat, kemungkinan untuk menarik mahasiswa ke dalam lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang sedemikian cukup besar. Dari pengalaman terlihat bahwa usaha sedemikian memberikan hasil yang memuaskan meskipun dalam jangka waktu panjang. Dengan perkataan lain, masalah mutu pendidikan masih tetap merupakan masalah yang perlu terus ditingkatkan.

kemampuan dan kecepatan komunikasi misalnya dalam bidang transportasi, satelit dan jaringan komputer. Oleh karena itu, cakupan dari berbagai kegiatan produksi termasuk penelitian, rekayasa, produksi dan pemasaran dalam banyak sektor industri telah berkembang menjadi global. Dengan demikian, kemampuan teknologi jauh lebih menyebar di kalangan negara-negara industri maupun di negara-negara yang sedang mengalami proses industrialisasi. Hal ini sekaligus mengakhiri peranan tunggal Amerika Serikat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Keunggulan teknologi dan industri Amerika Serikat sampai dengan permulaan dekade 1970-an menyebabkan arus teknologi berlangsung satu arah yakni dari Amerika Serikat ke negara lain di dunia. Akan tetapi sejak pertengahan dekade 1970-an pola tersebut telah berubah menjadi pola multi arah.
Sejalan dengan hal tersebut, telah terjadi pula perubahan pesat di bidang sosial budaya masyarakat. Kriteria mengenai pembangunan sosial yang sebelumnya bersifat lokal berkembang menjadi kriteria yang bersifat global. Pendidikan merupakan faktor utama yang menggerakkan perubahan yang terjadi tersebut. Dan dalam bidang pendidikan ukuran mengenai perkembangannya mengikuti standar internasional. Kecenderungan yang serupa terjadi pada bidang apresiasi budaya di mana terlihat kebangkitan kembali kesadaran akan seni dari berbagai anggota masyarakat di dunia (the art boom). Telah merupakan pembicaraan umum bahwa apa yang diuraikan di atas merupakan sebagian dari karakteristik era yang akan dihadapi di dalam abad mendatang yaitu era globalisasi. Dalam makalah ini, akan ditelaah mengenai kompleksitas era globalisassi ini dan peranan pendidikan didalamnya.

Perubahan yang terjadi dan melanda dunia setelah masa Pencerahan (Aufklarung) lazim disebut modernisasi. Banyak definisi diberikan mengenai modernisasi ini. Sejak pertengahan abad ini, berbagai ahli telah mengartikan modernisasi sebagaimana terlihat dalam definisi berikut:
Pada dasarnya definisi tersebut di atas menghubungkan modernisasi dengan suatu periode waktu dan dengan suatu lokasi geografis, dimana karakteristik utama dari proses ini tidak terungkap. Pada mulanya, terminologi ini muncul sebagai akibat upaya sekelompok ahli pembangunan di Amerika Serikat untuk mengembangkan suatu alternatif terhadap pendekatan Marxis mengenai pembangunan sosial. Dari sudut pandang sosiologi, teori modernisasi menjelaskan modernisasi dengan merujuk pada awal mula dari proses yang disebutkan Talcott Parsons sebagai differensiasi struktural. Ini adalah proses yang dapat didorong oleh berbagai cara, namun yang sangat mungkin disebabkan oleh perkembangan teknologi atau nilai-nilai. Sebagai akibat dari proses ini, lembaga/institusi berlipat ganda, struktur yang sederhana dari masyarakat tradisional ditransformasikan ke dalam struktur yang kompleks dari masyarakat modern, dan nilai-nilai berkembang menyerupai apa yang terdapat di Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Dalam alur berpikir ini, maka modernisasi dapat dilihat baik sebagai proses maupun suatu keadaan. Dan lazimnya keadaan modern dilihat sebagai lawan dari keadaan tradisional. Pendekatan ini banyak mempengaruhi pendekatan pembangunan yang diterapkan oleh banyak negara, khususnya negara yang sedang berkembang seperti Indonesia dengan pendekatan tinggal landasnya. Kalau kita mencermati karakteristik masyarakat modern, maka nyatalah bahwa terdapat pula karakteristik tradisional di dalamnya, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian referensi waktu dan tempat tidaklah tepat untuk membedakan tradisional dan modern; yang sesuai ialah pemahaman secara kontekstual. Seperti disebutkan oleh Giddens (1996) bahwa setiap phase perubahan itu mempunyai hakikat yang khusus (intrinsic nature). Dalam alur pikir ini pulalah sehingga dalam perkembangan selanjutnya, khususnya menjelang akhir abad ke-20, muncul pendapat dari sekelompok ahli yang berbicara mengenai era pasca modernisasi atau Post-modernity (Jean-Francois Lyotard, 1985).
Nampaknya, masalah utama yang menyebabkan berbagai perbedaan pendapat tentang perubahan sosial yang terjadi ini ialah karena kita peristiwa-peristiwa yang kita sendiri tidak sepenuhnya memahaminya. Dengan demikian, untuk memahami hal-hal ini tidak cukup dengan sekedar menciptakan terminologi baru seperti pasca modernisasi dan sebagainya, akan tetapi lebih tepat kalau kita menelaah kembali hakikat dari modernisasi itu sendiri.

Demikianlah dengan perubahan dalam kehidupan masyarakat yang berkembang dengan sangat pesat, maka muncullah pendapat bahwa era yang akan kita hadapi dalam abad mendatang adalah era globalisasi. Intinya adalah bahwa segala kegiatan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat berlangsung secara global. Dalam hubungan ini Robertson (1992) merumuskan globalization sebagai "... the compression of the world and the intensification of consciousness of the world as a whole". (Robertson, R., 1992, p.8).

Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa globalisasi menyangkut munculnya sistem budaya global. Budaya global ini dibawa oleh berbagai perkembangan sosial, budaya dan teknologi (misalnya kehadiran sistem informasi melalui satelit dunia), kehadiran pola global mengenai konsumsi dan konsumerisme, pengembangan gaya hidup kosmopolitan, munculnya olahraga global (seperti olimpiade, kompetisi sepakbola dunia dan lain-lain), penyebaran wisata dunia, menurunnya kedaulatan negara bangsa (nation state), perkembangan sistem militer global, pengenalan tentang krisis ekologi berskala dunia, perkembangan masalah gangguan kesehatan berskala dunia (seperti AIDS), berperannya sistem politik dunia seperti PBB, gerakan politik dunia seperti Marxisme dan Kapitalisme, peningkatan kesadaran akan HAM, serta semakin intensifnya antar agama dunia. Intinya, globalisasi menyangkut kesadaran baru bahwa dunia adalah satu tempat tinggal. Globalisasi disebutkan pula sebagai "the concrete structuration of the world as a whole", yakni kesadaran yang berkembang pada tingkat global bahwa dunia adalah sebuah lingkungan yang dibangun secara berkelanjutan. Dengan demikian, globalisasi lebih dari sekedar sosiologi hubungan international. Juga berbeda dari teori sistem dunia (world system theory) yang menganalisis perkembangan dari kesaling tergantungan ekonomi global dan yang mengklaim bahwa budaya globalisme adalah sekedar konsekuensi dari globalisasi ekonomi. Juga perlu dihindari pemahaman globalisasi dari thesis awalnya yang mengatakan bahwa globalisasi adalah "convergence of nation states towards a unified and coherent form of industrial society". Teori yang mutakhir mengatakan globalisasi terdiri dari dua proses yang bertentangan yakni homogenisasi dan diferensiasi dan bahwa terdapat interaksi yang kompleks diantara lokalisme dan globalisme, dan bahwa terdapat gerakan yang kuat melawan proses globalisme. Argumentasi tersebut di atas penting untuk sosiologi tradisional yang terus memfokuskan diri pada nation state dibandingkan dengan fokus terhadap dunia sebagai suatu sistem masyarakat.
GLOBALISASI DAN PEMBAHARUAN PENDIDIKAN INDONESIA
Pembaharuan dalam bidang pendidikan merupakan suatu karakter dunia modern. Hal tersebut pada dasarnya berkisar pada persepsi bahwa pendidikan merupakan menara gading dan bahkan pelopor pembaharuan. Segi kognitif pendidikan tetap mendapatkan prioritas yang tinggi dalam proses pendidikan, namun masalah integrasi proses dan hasil belajar dengan kehidupan yang nyata dan dengan masa depan semakin meminta penekanan-penekanan baru. Khususnya kurikulum pendidikan, seyogyanya dirancang untuk memberikan pengalaman-pengalaman yang merangsang peningkatan kreativitas, intelektualitas, dan daya analisis. Kurikulum harus menyajikan hal-hal yang praktis dan disesuaikan dengan latar belakang kehidupan yang bervariasi, tujuan hidup yang berbeda, serta daya pemahaman terhadap persoalan yang berbeda pula. Pendidikan harus dapat menyajikan kesempatan-kesempatan untuk berbuat dan bertindak berdasarkan apa yang dipahami seseorang maupun kesempatan untuk berteori tentang solusi yang ideal dari berbagai masalah. Dengan singkat, kurikulum harus dapat diperkenalkan kepada anak didik dengan berbagai cara belajar maupun berbagai jenis pengetahuan. Pada gilirannya hal-hal ini mampu mempersiapkan anak didik untuk merencanakan masa depannya dan masyarakatnya, serta berperan aktif dalam merealisasikannya.
Revolusi dalam bidang pendidikan mencakup segi kuantitas dan kualitas. Sejalan dengan pertumbuhan dalam bidang ekonomi yang berubah secara pesat, revolusi pendidikan pada akhirnya diarahkan untuk kesejahteraan umat manusia. Dengan demikian, maka segi pemerataan dalam bidang pendidikan memegang kunci yang penting.

Dari segi kuantitas, pemerataan pendidikan ini telah berlangsung secara mengesankan didalam dua dekade terakhir ini. Di banyak negara, dari segi ratio pendidikan untuk anak didik pada tingkat pertama, terlihat bahwa pada periode tersebut ratio tadi telah mencapai sekitar 100%. Khususnya untuk sebagian besar negara-negara Pasifik, sejak tahun 1984 laju pendaftaran pada tingkat pertama pendidikan telah melebihi 90%. Bagi Indonesia, Nicaragua, Thailand dan Honduras, laju tersebut telah meningkat dari 80% menjadi 100% antara tahun 1975 dan tahun 1984. Untuk jenjang kedua pendidikan, kecenderungan peningkatan terjadi pula di negara-negara Pasifik. Peningkatan yang menonjol adalah peningkatan yang terjadi di Korea, Hongkong dan Meksiko. Sedangkan di negara-negara industri maju, laju pendaftaran pada tahun 1984 telah melebihi 80%, kecuali di Kanada, Amerika Serikat, Jepang dan Korea yang telah melebihi 90%. Pada tingkat pendidikan tinggi kecenderungan yang sama terjadi di banyak negara-negara Pasifik, di Thailand, Korea, dan Philipina. Di negara-negara industri maju, laju pendaftaran mahasiswa untuk pendidikan tinggi berkisar pada satu dari dua sampai empat orang. Laju pendaftaran yang tertinggi terjadi di Amerika Serikat dan Kanada dengan ration 1 : 2 diikuti oleh Ekuador dan Philipina dengan perbandingan 1 : 3.

Dari segi kualitas pendidikan, pada dasarnya ditandai dengan meningkatnya pelaksanaan penelitian-penelitian khususnya penelitian dasar (basic research). Hasil penelitian-penelitian tersebut telah terpadu dalam perkembangan teknologi yang merupakan kekuatan pendorong utama dari perubahan-perubahan yang terjadi didalam masyarakat. Skala dan percepatan perkembangan teknologi ini merupakan kekhususan dibandingkan dengan periode sebelumnya. Skala perubahannya melampaui batas-batas konvensional, seperti batas nasional negara dan sebagainya, serta percepatannya mengikuti deret ukur. Peningkatan penelitian terlihat dari jumlah dana yang disediakan oleh negara-negara industri maju untuk penelitian. Jerman Barat misalnya, pada tahun 1971 mengalokasikan anggaran penelitian sebesar 2% dari GNP dan pada tahun 1987 meningkat menjadi 3%. Dana penelitian Jepang pada periode yang sama mengalami kenaikan sebanyak 1% pula. Pola yang sama berlaku di dalam peningkatan jumlah peneliti dan ilmuwan. Antara tahun 1965 sampai dengan tahun 1987, telah terjadi peningkatan jumlah peneliti dan ilmuwan (dilihat dari jumlah total tenaga kerja). Di banyak negara, Jepang misalnya, pada tahun 1965 memiliki 25 ahli dari sepuluh ribu tenaga kerja dan pada tahun 1980 telah meningkat menjadi 70 ahli dari sepuluh ribu tenaga kerja. Perancis, Inggris dan Jerman Barat juga mengalami peningkatan meskipun dalam skala yang lebih kecil. Amerika Serikat secara konsisten pada periode yang sama memiliki 65 - 70 orang peneliti dan ilmuwan per sepuluh ribu tenaga kerja.

Keadaan tersebut di atas telah membawa iklim baru dalam hubungan antara pendidikan dengan perusahaan. Kecenderungan keterlibatan perusahaan didalam proses pendidikan semakin menonjol. Keterlibatan ini tidak terlepas dari ketidaksesuaian yang terjadi diantara dunia pendidikan dan dunia kerja. Apa yang disiapkan oleh pendidikan dan apa yang dibutuhkan oleh dunia kerja tidak sepenuhnya sesuai. Begitu besar ketidaksesuaian tersebut sehingga dunia usaha merasa terpaksa harus memasuki arena pendidikan secara besar-besaran. Tamatan perguruan tinggi sekarang yang tidak siap merupakan beban perusahaan di masa yang akan datang. Untuk itu perusahaan-perusahaan menyelenggarakan pendidikan tambahan sebagai perbaikan terhadap kekurangan tersebut. Disamping itu, pengusaha-pengusaha ikut terlibat sebagai tenaga pengajar di dalam lembaga pendidikan serta memberikan donasi dalam bentuk uang atau peralatan pendidikan.

Lebih daripada itu, perusahaan-perusahaan telah pula mempelopori lembaga pendidikannya sendiri. Tercatat lebih dari 25 perusahaan di Amerika melaksanakan pendidikan yang memberikan gelar. Perusahaan Wang, North trop, Arthur Andersen dan Humana memberikan gelar Master, dan Rand Coorporations memberikan gelar Ph.D., bukan hanya untuk karyawannya tetapi juga untuk umum. Tercatat lebih dari 400 kampus dan banyak gedung yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan seperti Xerox, IBM, Pizer dan Control Data. IBM, sebuah raksasa pendidikan, menghabiskan sekitar US $700.000.000 setahun untuk pendidikan karyawannya. Meskipun nampaknya perusahaan-perusahaan cenderung untuk bertindak sebagai saingan di bidang pendidikan, namun hubungan diantara perguruan tinggi dengan perusahaan menjadi semakin kuat.

Perguruan tinggi, pada pihak yang lain, cenderung untuk beroperasi sebagai perusahaan. Beberapa faktor di dalam pengelolaan perguruan tinggi telah mendorong hal ini. Misalnya, biaya pengelolaan perguruan tinggi yang semakin tinggi, bantuan pemerintah yang semakin mengecil, dan kompetisi memperoleh mahasiswa yang semakin meningkat. Oleh karena itu, para pengelola perguruan tinggi harus berpikir ekonomis dengan meningkatkan spesialisasi, pemasaran, dan perencanaan strategisnya. Dalam rangka spesialisasi ini perguruan tinggi akan memusatkan perhatian pada bidang-bidang ilmu yang mempunyai keuntungan komperatif (comperatif advantage). Hal ini dapat berarti menghilangkan program pendidikan untuk bidang ilmu yang kurang laris. Pertanda yang lain mengenai kecenderungan perguruan tinggi sebagai perusahaan adalah kecenderungan mengambil atau memilih rektor/presiden universitas yang mempunyai latar belakang sebagai usahawan. Trinity University di San Antonio Amerika Serikat (satu universitas yang tidak terkenal sebelumnya) merupakan contoh bagaimana peranan presiden universitas tersebut meningkatkan popularitas universitasnya untuk termasuk 10 besar dalam hal mahasiswa-mahasiswa yang berprestasi nasional (national merit). Sebagai bekas pengusaha, presiden universitas tersebut menyediakan beasiswa sebesar US $ 5000 setahun bagi mahasiswa berprestasi dan meningkatkan gaji dosennya sekitar 60%

Kecenderungan lainnya ialah perguruan tinggi telah berupaya pula mengembangkan usaha-usaha yang menghasilkan uang untuk pengelolaan perguruan tinggi tersebut. Usaha-usaha tersebut dapat berupa penyewaan ruangan bagi perusahaan-perusahaan untuk mengadakan pertemuan, melakukan jasa-jasa lain yang menghasilkan pendapatan, dan sebagainya. Secara singkat, sifat kewiraswastaan semakin berkembang di kalangan pengelola perguruan tinggi.
KECENDERUNGAN PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA
. Dibandingkan dengan negara tetangganya, pengalaman Indonesia dalam pendidikan tinggi termasuk yang paling singkat. Kedua perguruan tinggi induk di Indonesia yakni Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gajah Mada (UGM) baru dibentuk secara resmi pada tahun 1950. Akan tetapi dalam waktu yang relatif singkat perkembangan pendidikan tinggi dan lingkungannya telah cukup mengesankan.

Dari segi kualitas, upaya meningkatkan mutu pendidikan tinggi terus dilakukan. Terobosan utama sehubungan dengan ini ialah peralihan sistem pendidikan tinggi dari sistem paket (tradisi eropa kontinental) menjadi sistem kredit (tradisi Amerika) yang dimulai sejak permulaan dekade 1980. Efektivitas peralihan sistem ini masih akan terus diuji oleh pengalaman mengingat tradisi pendidikan Indonesia sejak tingkatan sekolah dasar yang berorientasi pada sistem pendidikan Belanda. Namun mengingat pendidikan tinggi di Indonesia yang singkat tersebut, maka harapan untuk keberhasilan dalam meningkatkan mutu pendidikan selalu ada.

Ditinjau dari latar belakang mahasiswa yang masuk ke perguruan tinggi, kecenderungan pemerataan telah mulai nampak. Pemuda-pemuda dari latar belakang sosial ekonomi rendah dan dari daerah-daerah berhasil memasuki perguruan-perguruan tinggi negeri pembina seperti Universitas Hasanuddin (UNHAS), dan Universitas Negeri Makassar (UNM). Perguruan tinggi mulai menampakkan keterbukaan dan lebih mementingkan prestasi. Ujian saringan masuk perguruan tinggi negeri seperti SNMPTN dan PMDK yang telah dipraktekan selama beberapa tahun merupakan indikator mengenai hal ini. Di kalangan tenaga pengajar upaya meningkatkan prestasi atau mutu cenderung meningkat. Hal itu terutama disebabkan oleh persaingan menjadi tenaga pengajar mulai ketat. Selain itu semakin banyaknya dosen muda yang melanjutkan pelajaran mendapatkan S2 dan S3 di dalam negeri maupun luar negeri yang merupakan insentif bagi tenaga dosen senior untuk meningkatkan pengetahuannya dan mutu materi kuliahnya.

Penataan bidang ilmu yang diajarkan di perguruan tinggi mulai dilakukan oleh departemen pendidikan dan kebudayaan. Bidang ilmu sosial yang paling "laris" dan menampung jumlah mahasiswa yang sangat banyak mulai ditertibkan. Untuk membuka suatu perguruan tinggi yang baru sekarang ini dibutuhkan minimum 2 fakultas dalam bidang ilmu eksakta. Pembukaan politeknik diberikan peluang yang besar.

Dalam pengelolaan perguruan tinggi, kecenderungan untuk semakin meningkatkan usaha wiraswasta semakin menonjol. Hal ini khususnya terlihat pada perguruan tinggi negeri yang selama ini didukung pembiayaannya melalui anggaran pemerintah. Sedikit demi sedikit terlihat pelepasan tanggung jawab pengelolaan dari pemerintah kepada masing-masing perguruan tinggi. Dalam hubungan itu keterkaitan perguruan tinggi dengan usaha swasta mulai menampakkan dirinya. Kontrak di bidang penelitian dan pendidikan antara usaha swasta dan perguruan tinggi mulai dilaksanakan. Pada sisi lainnya, pendidikan tinggi telah dimanfaatkan sebagai lembaga usaha dagang. Oleh karena angka partisipasi perguruan tinggi yang masih rendah dan pembangunan yang berkembang semakin pesat, kemungkinan untuk menarik mahasiswa ke dalam lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang sedemikian cukup besar. Dari pengalaman terlihat bahwa usaha sedemikian memberikan hasil yang memuaskan meskipun dalam jangka waktu panjang. Dengan perkataan lain, masalah mutu pendidikan masih tetap merupakan masalah yang perlu terus ditingkatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar